Aksi Boikot Israel Mulai Memukul Ritel Domestik
Dampak masifnya gerakan boikot telah berimbas pada sektor ritel. Jika aksi boikot berlangsung lama, pelaku usaha ritel khawatir imbasnya akan turut dirasakan produsen di sektor hulu hingga investor dari luar negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja di sektor ritel mulai terdampak oleh gerakan masyarakat memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Pelaku di sektor ritel khawatir jika aksi boikot berlanjut, dampaknya tidak hanya akan memengaruhi sektor ritel, tetapi juga bisa menggerus konsumsi dalam negeri dan mengaburkan investasi.
Seruan boikot dari konsumen dalam negeri terhadap produk-produk yang diduga berkaitan dengan Israel mengemuka sejak eskalasi konflik antara Hamas dan Israel di wilayah Gaza menjelma menjadi tragedi kemanusiaan.
Sebagai bentuk simpati, banyak warga Indonesia turut menjalani gerakan sosial global bernama Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) yang bermakna boikot, divestasi, dan sanksi. Gerakan ini didukung juga oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 8 November lalu mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina, dengan rekomendasi agar umat menghindari transaksi produk terafiliasi Israel.
Dampak masifnya gerakan boikot telah berimbas pada sektor ritel. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, berdasarkan laporan yang ia terima dari anggota asosiasi, dalam waktu sebulan terjadi penurunan penjualan produk kebutuhan harian mencapai 15 persen-20 persen.
”Sejumlah perusahaan ritel telah mengalami penurunan omzet untuk penjualan produk-produk kebutuhan harian. Ini karena beredar informasi di media sosial kalau banyak produk kebutuhan harian yang terafiliasi dengan Israel,” ujarnya saat dihubungi pada Minggu (26/11/2023).
Berdasarkan prinsip Pareto, sebaran produk yang dijual sektor ritel terbagi antara 80 persen produk harian dan 20 persen produk kebutuhan bahan pokok. Meski hanya 20 persen, pendapatan dari penjualan kebutuhan bahan pokok memenuhi 80 persen dari total pendapatan toko ritel. Sebaliknya, produk harian yang porsinya mencapai 80 persen hanya memenuhi 20 persen pendapatan toko ritel.
Kendati tidak menyebut nama perusahaannya, Roy mengatakan sedikitnya terdapat 10 perusahaan ritel yang melapor telah mengalami penurunan omzet penjualan produk harian. Adanya penjualan yang merosot akibat aksi boikot membuat proyeksi pertumbuhan kinerja ritel triwulan IV-2023 menjadi lebih rendah dari target sebelumnya.
Baca juga: Boikot Produk Israel: Antara Solidaritas Kemanusiaan dan Dampak Ekonomi Lokal
Di awal tahun, asosiasi memasang target tinggi kinerja ritel pada triwulan IV-2023 dapat tumbuh di atas 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, disebabkan adanya penurunan konsumsi masyarakat sejak triwulan III-2023, kemudian ditambah aksi boikot terhadap produk-produk harian, target tersebut direvisi ke kisaran 3,5 persen-4 persen.
Menurunnya penjualan ritel pada triwulan III-2023 dan triwulan IV-2023 membuat Aprindo mengalkulasi pertumbuhan penjualan ritel nasional sepanjang 2023 akan berada di bawah 3,5 persen. Angka ini berada di bawah pertumbuhan penjualan ritel di tahun 2022 sebesar 3,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Konsumsi terdampak
Lebih lanjut, Roy menilai aksi boikot yang berkepanjangan dapat berimbas terhadap kinerja konsumsi di dalam negeri. Pasalnya dengan adanya boikot terhadap produk yang diduga berafiliasi dengan Israel, secara otomatis masyarakat diharuskan mencari produk penggantinya.
Penurunan permintaan di sektor hilir dapat berpengaruh terhadap kinerja produksi dari perusahaan produsen di sektor hulu. Menurut Roy, jika penurunan permintaan produk berlangsung lama, bukan tidak mungkin produsen akan memangkas biaya produksi salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan mereka.
”PHK dapat sangat memengaruhi penurunan daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi dalam negeri. Padahal, kontribusi konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri sangat tinggi,” ujarnya.
Pemerintah seharusnya tidak hanya berdiam diri melihat dari jauh bahkan mendukung aksi boikot tanpa mempertimbangkan keberlangsungan tenaga kerja dan pelaku usaha.
Pemerintah, lanjut Roy, perlu turun tangan meluruskan kabar yang beredar soal produk-produk yang dikabarkan di media sosial terafiliasi dengan Israel. Di sisi lain, terdampaknya iklim usaha dari sektor hulu hingga hilir akibat aksi boikot yang berkepanjangan juga akan berdampak buruk bagi iklim investasi di Indonesia.
”Jika supplier tergerus, investasi bisa lari dari Indonesia. Dampak ini bisa jadi kontradiktif dengan upaya pemerintah selama ini menggaet investor menanamkan modal di Indonesia,” ujar Roy.
Baca juga: Perkara Boikot dan Dukungan untuk Palestina
Untuk itu, pemerintah perlu dengan cepat memberi pernyataan resmi untuk mengatasi polemik boikot. Menurut Roy, negara harus hadir meluruskan informasi bahwa mayoritas produk yang diboikot diproduksi di Indonesia, menyerap tenaga kerja lokal, dan membayar pajak kepada negara.
”Pemerintah seharusnya tidak hanya berdiam diri melihat dari jauh, bahkan mendukung aksi boikot tanpa mempertimbangkan keberlangsungan tenaga kerja dan pelaku usaha,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Uswati Leman Sudi mengatakan, langkah memboikot produk-produk yang disinyalir terafiliasi dengan Israel akan membawa dampak negatif secara jangka panjang ke industri ritel dalam negeri.
”Hulu ke hilir (perdagangan) dengan adanya isu yang sedang beredar itu pasti terganggu, hulunya ada di kami dan hilirnya di ritel. Jadi, industri maupun distribusinya (akan terganggu),” kata Uswati.
Jika dianalisis menggunakan prinsip Pareto, lanjut Uswati, apabila aksi boikot berlangsung secara berkepanjangangan, penjualan di sektor ritel dapat berkurang hingga 50 persen. ”Kalau begitu, target pertumbuhan ekonomi pemerintah bisa terganggu jika ini tidak segera ada langkah konkret,” ujarnya.
Baca juga: Dukungan untuk Palestina, dari Mobilisasi Dana hingga Gerakan Boikot
Di sisi lain, ekonom dan peneliti industri, perdagangan, dan investasi Institute for Development and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai, masyarakat yang melakukan aksi boikot percaya bahwa tindakan mereka dapat memutus atau setidaknya menghambat pendapatan perusahaan sehingga berimbas pada sokongan dana terhadap Israel.
Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, aliran dana yang jauh lebih besar didapat oleh Israel dari pinjaman luar negeri, penjualan migas, hingga transaksi perangkat lunak untuk gawai.
Heri pun menjelaskan bahwa kebanyakan dari perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar boikot di dalam negeri sebenarnya memiliki lisensi domestik serta sudah menyerap tenaga kerja dan sumber daya lokal.
”Artinya, kalau ada aksi boikot nanti yang terkena dampak adalah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut yang adalah tenaga kerja lokal,” ujar Heri.
Hubungan kemitraan
Dalam konteks hubungan dagang dengan Israel secara langsung, pasar Indonesia menyerap produk teknologi dan perkakas yang diproduksi atau dikirim dari Israel.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor produk Israel yang masuk ke Indonesia selama Januari hingga Oktober 2023 mencapai 16,97 juta dollar AS atau kira-kira Rp 264,34 miliar. Komoditas impor didominasi oleh mesin dan pesawat mekanik, peralatan listrik, serta perkakas dan perangkat potong.
Dibandingkan nilai impor, nilai ekspor Indonesia ke Israel pada periode yang sama jauh lebih tinggi atau mencapai 140,57 juta dollar AS (Rp 2,18 triliun). Komoditas yang paling banyak diekspor Indonesia ke Israel pada periode ini adalah minyak hewan atau nabati, alas kaki, serta perlengkapan elektrik dan bagiannya.
Berdasarkan nilainya, Heri menyimpulkan bahwa hubungan dagang Indonesia dan Israel tidak signifikan dalam mengangkat perekonomian kedua negara. Nilai surplus perdagangan Indonesia ke Israel hanya mencapai 3 persen dari surplus neraca perdagangan pada Oktober 2023 sebesar 3,48 miliar dollar AS.
Lebih jauh, Heri menjelaskan bahwa aktivitas dagang yang dilakukan antara Indonesia dan Israel bukanlah sebuah kemitraan yang terikat. Seandainya boikot dilakukan pada produk-produk impor yang memang secara langsung didatangkan dari Israel, negara tersebut akan dengan mudah mencari negara substitusi untuk menyerap ekspor mereka.
”Artinya kalaupun nilai perdagangan antara Indonesia-Israel menjadi nol sekalipun, itu tidak akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan kedua negara,” kata ujarnya.
Jika hubungan perdagangan antara Indonesia dan Israel merenggang, pasar Indonesia dapat dengan mudah mencari produk substitusi dari komoditas impor dari Israel, baik itu diproduksi dari dalam negeri maupun mencari penggantinya dari negara lain, seperti China.
Adapun di sisi ekspor, Indonesia dapat menggarap potensi pasar di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dengan mencari negara substitusi tujuan ekspor dari komoditas yang selama ini biasa terserap di pasar konsumen Israel.
Baca juga: Aksi Solidaritas untuk Palestina di Pusaran Kontak Dagang Indonesia-Israel