Era suku bunga tinggi memaksa industri perbankan lebih selektif dalam menyalurkan kredit agar kualitasnya tetap terjaga. Di sisi lain, pertumbuhan sektor riil akan berdampak bagi sektor keuangan dari segi pembiayaan.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
BANDUNG BARAT, KOMPAS — Di tengah era suku bunga tinggi, industri perbankan cenderung akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit agar kualitasnya terjaga. Ke depan, reindustrialisasi sektor manufaktur diperkirakan mampu menjadi motor baru penggerak laju pertumbuhan industri perbankan.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuannya 6 persen seiring dengan keputusan Bank Sentral AS atau Federal Reverse (The Fed) yang cenderung masih menunjukkan sikap agresif (hawkish). Sepanjang 2023, BI sempat mempertahankan tingkat suku bunga acuan selama delapan bulan berturut-turut hingga pada Oktober lalu suku bunga acuan naik sebesar 25 basis poin.
Komisaris Bank Jago, Anika Faisal, berpendapat, kenaikan suku bunga tersebut merupakan keniscayaan dan harus dipatuhi industri perbankan. Lebih dari pada itu, tingginya tingkat suku bunga acuan ini menciptakan tantangan baru yang memaksa industri perbankan untuk lebih selektif agar kualitas kredit terjaga.
”Bagi masyarakat yang memiliki kemampuan finansial mencukupi, kenaikan suku bunga ini disambut dengan antusias. Sebaliknya, mereka yang memiliki pinjaman bebannya akan bertambah sehingga berpotensi macet. Tentu saja, masing-masing bank memiliki preferensi tersendiri, tergantung dari cost of fund (biaya bunga) dan margin keuntungannya dalam mengambil risiko kredit,” katanya di sela-sela kegiatan Media Gathering Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (24/11/2023).
Oleh karena itu, ketersediaan data nasabah yang merekam berbagai transaksi secara historis menjadi instrumen penting bagi industri perbankan dalam menjaga kualitas kredit. Data tersebut tidak hanya memuat penghasilan nasabah dan berbagai variabelnya, tetapi juga termasuk perilaku (behavior) setiap nasabah dalam bertransaksi.
Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) Yuddy Renaldi menambahkan, tekanan suku bunga tinggi terhadap bank pembangunan daerah (BPD) begitu terasa selama periode 2023. Kendati demikian, pihaknya optimistis BPD memiliki peluang pemulihan yang lebih besar pada 2024.
”Ini karena sebagian besar segmentasi kami adalah bisnis konsumer. Berbeda dengan bank-bank lain yang tidak perlu menyesuaikan secara gradual karena basis segmentasi konsumernya tidak secara langsung,” katanya.
Intinya, kenaikan suku bunga mulai berhenti, akan stabil, dan tinggal menunggu waktunya.
Selain itu, BPD juga turut menghadapi tantangan lain berupa pembiayaan dari dana-dana mahal. Walakin, lanjut Yuddy, likuiditas seluruh BPD akan tetap memadai hingga akhir tahun 2023 ditopang oleh soliditas BPD.
Data BI menunjukkan, kredit perbankan per Oktober 2023 tumbuh 8,99 persen secara tahunan seiring permintaan pembiayaan korporasi dan konsumsi rumah tangga yang meningkat. Secara sektoral, pertumbuhan kredit utamanya ditopang oleh sektor jasa sosial, jasa dunia usaha, dan pertambangan.
Pertumbuhan kredit tersebut sedikit menguat dibandingkan dengan September 2023 yang tercatat 8,96 persen secara tahunan. Lebih lanjut, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio kredit macet (non performing loan/NPL) neto 0,77 persen dan NPL gros 2,43 persen. Kedua rasio tersebut tumbuh positif atau turun dibandingkan dengan periode Agustus 2023, yakni NPL net 0,79 persen dan NPL gros 4,85 persen.
Menurut Chief Economist PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Winang Budoyo, era suku bunga tinggi sudah mencapai titik puncaknya sebagaimana ekspektasi global yang memperkirakan suku bunga acuan The Fed akan turun pada Mei 2024. Dari sisi domestik, sentimen tahun politik 2024 dan dukungan kebijakan likuiditas makropudensial BI juga akan berdampak positif bagi sektor keuangan.
”Intinya, kenaikan suku bunga mulai berhenti, akan stabil, dan tinggal menunggu waktunya. Lalu, sepanjang tahun pemilu tentu peredaran uang akan meningkat dan juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) sebesar 0,23 persen. Ditambah lagi, BI menurunkan giro wajib minimum yang mulai berlaku Oktober 2023, tentu saja akan memberikan kelonggaran likuiditas pada tahun depan,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian tersebut, sektor industri manufaktur dapat menjadi opsi untuk mendorong penyaluran kredit perbankan sekaligus memicu pertumbuhan ekonomi melalui serapan tenaga kerja. Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perbankan Perbanas Aviliani menjelaskan, reindustrialisasi sektor manufaktur akan berdampak positif bagi perekonomian, sekaligus memicu pertumbuhan sektor pembiayaan.
Menurut Aviliani, pengembangan sektor riil secara otomatis akan menjadi penggerak penyaluran kredit perbankan. Hal ini mengingat sifat perbankan yang cenderung akan mengikuti perkembangan tren bisnis (follow the trend).
“Jadi, jangan bicara soal supply side-nya(penawaran kreditnya), melainkan dari demand side-nya (permintaan kredit) terlebih dahulu. Kalau demand itu sudah tercipta, otomatis supply akan ikut dengan sendirinya,” katanya.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan skema kebijakan yang mendorong laju pertumbuhan sektor manufaktur. Dia berharap siapa pun pemimpin yang nantinya akan terpilih pada Pemilu 2024 dapat berpihak kepada industri yang bersifat padat karya mengingat selama ini permintaan pembiayaan lebih banyak ke sektor padat modal.
Berdasarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit menurut jenisnya per Agustus 2023 terdiri dari kredit investasi 11,25 persen secara tahunan, kredit modal kerja 7,64 persen, dan kredit konsumsi 9,34 persen.
Dari data tersebut, pertumbuhan kredit lapangan usaha industri manufaktur dalam beberapa tahun terakhir terakselerasi, tetapi kembali melambat pada tahun 2023. Sempat tercatat negatif 4,09 persen, pertumbuhan kredit industri pengolahan meningkat menjadi 6,43 persen pada 2021 dan 12,19 persen pada 2022.
Namun, sepanjang tahun 2023, penyaluran kredit tersebut melambat hingga per Agustus 2023 tercatat 3,35 persen. Lebih lanjut, rasio pinjaman bermasalah atau non performing loan (NPL) kredit industri manufaktur tercatat 3,51 persen atau tertinggi kelima setelah perikanan, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, serta penyediaan akomodasi makan minum.