Industri tekstil dan produk tekstil punya peran strategis membantu Indonesia maju, karena menyerap banyak tenaga kerja.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Bicara industrialisasi hari ini, perhatian publik akan mengarah pada hilirisasi sumber daya alam mineral dan logam. Secara teknis, memang tidak keliru dan sudah tepat untuk mengolah SDA agar mendapatkan nilai tambah yang berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, jangan lupakan pula ada industri besar lainnya yang tak kalah penting kontribusinya terhadap perekonomian yang sayangnya kini jauh dari sorotan. Inilah industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Industri ini pernah begitu berjaya karena menjadi salah satu kontributor terbesar ekspor Indonesia dan mampu menyerap tenaga kerja jutaan orang. Hanya saja, kini industri TPT terus merosot dan tertekan. TPT ibarat raksasa yang tersungkur dan kelimpungan.
Pada dekade 80-an dan 90-an, industri tekstil Tanah Air sedang jaya-jayanya. Ekspor TPT Tanah Air melalang buana ke seluruh dunia. Saking melimpahnya omzet, bahkan salah satu sentra TPT, yakni Majalaya, Kabupaten Bandung, dijuluki sebagai ”kota dollar”.
Kini, industri TPT tengah terpuruk. Berita pabrik tekstil tutup dan merumahkan karyawannya silih berganti mewarnai media masa. Pudar sudah kejayaan kota dollar.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja industri tekstil dan pakaian jadi menurut harga konstan 2010 pada satu triwulan III-2023 sebesar Rp 33,9 triliun, turun 2,69 persen dari periode sama pada 2022. Kontribusi industri ini terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada triwulan III-2023 sebesar 1,08 persen, menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 1,17 persen.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan jumlah serapan tenaga kerja di industri ini terus menurun. Saat ini jumlahnya mendekati 3 juta orang, menurun dibandingkan 2019 yang pernah menyerap hingga 3,5 juta orang.
Melambatnya industri ini juga tecermin dari kinerja perusahaan tekstil yang juga tengah tertekan. Salah satu raksasa perusahaan TPT, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau biasa dikenal Sritex, tengah tertekan. Pada sembilan bulan 2023, penjualan neto perusahaan merosot 47,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akhirnya perusahaan menanggung kerugian operasional 105,14 juta dollar AS.
Emiten berkode saham SRIL itu bahkan masuk dalam papan pemantauan khusus lantaran berkategori ekuitas negatif dan likuiditas rendah. Efek SRIL itu sudah disuspensi atau tidak diperdagangkan selama 30 bulan sejak 18 Mei 2021 (Kompas 24/11/2023).
Hal serupa juga dialami emiten tekstil lainnya, yaitu PT Asia Pacific Fibers Tbk. Emiten berkode saham POLY ini kini dipantau khusus karena laporan keuangan terakhir yang menunjukkan ekuitas negatif.
Dikutip dari laporan keuangan mereka sampai 30 September 2023, pendapatan POLY turun 27,72 persen secara tahunan ke angka 228,49 juta dollar AS dibandingkan 316,14 juta dollar AS pada tahun lalu. Mereka juga mengalami kerugian komprehensif tahun berjalan sebesar 16,05 juta dollar AS dan defisiensi modal 960,49 juta dollar AS. (Kompas 24/11/2023)
Industri ini memang tengah tertekan dari berbagai arah. Pelemahan ekonomi global membuat permintaan ekspor melesu. Ketegangan geopolitik meningkatkan ketidakpastian sehingga mengganggu rantai pasok dunia.
Berjualan di dalam negeri pun sulit, lantaran pasar lokal ini justru dibanjiri oleh produk impor, baik legal maupun ilegal dengan harga yang lebih rendah. Padahal, ongkos produksi terus meningkat dan sulit ditekan, mulai kenaikan upah hingga kenaikan harga bahan baku karena depresiasi dollar AS.
Sejatinya, industri TPT ini sangat strategis dan punya potensi yang sangat besar. Di tengah cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045, industrialisasi harus bisa bertumbuh dan menyerap banyak tenaga kerja. Inilah peran yang bisa dimainkan oleh industri TPT yang memang memiliki karakter padat karya sehingga menyerap secara luas tenaga kerja.
Untuk mendongkrak industri ini, banyak yang perlu dibenahi. Mengingat industri ini padat karya, setiap kenaikan upah sangat memengaruhi ongkos produksi. Pelaku TPT membutuhkan kepastian formula pengupahan. Ini agar ongkos produksi bisa dihitung dan direncanakan.
Selain itu, pemerintah perlu melindungi pasar dalam negeri dari gempuran impor. Pelaku industri mendambakan adanya proteksi pasar dengan pagar tarif bea masuk impor. Tak hanya itu, aparatur juga perlu memperketat pengawasan pelabuhan-pelabuhan tikus dari penyelundupan produk tekstil ilegal.
Pemerintah juga perlu aktif membuka pasar baru tujuan ekspor. Ini supaya ada alternatif negara tujuan ekspor ketika permintaan dari negara mitra dagang tradisional tengah melambat.
Indonesia tidak perlu malu dan mencontoh kebijakan dari negara lain yang kian maju industri tekstilnya. Di China, pemerintahnya terus memberikan subsidi dan bantuan agar industrinya kian kompetitif. Negara lain, seperti India dan Pakistan, bahkan memiliki kementerian tekstil karena sadar betapa besarnya industri ini.
Di tengah berbagai tantangan dan kesulitan, pelaku industri TPT masih optimistis industri ini bisa kembali bangkit. Ini lantaran pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Sejak dilahirkan ke dunia hingga meninggal, manusia selalu membutuhkan produk tekstil. Peluang ini ada tinggal bagaimana dibangkitkan dan dimaksimalkan.
Sudah saatnya industri TPT ini direvitalisasi. Mari kita sembuhkan dan bangkitkan raksasa yang tengah tertidur ini.