Saham Industri Tekstil Makin Tertekan Geopolitik dan Produk Impor Ilegal
Industri poliester terus menghadapi ketidakpastian dan volatilitas karena ketegangan geopolitik yang berkepanjangan, perang Rusia dan Ukraina, perlambatan pertumbuhan ekonomi global, inflasi, dan kenaikan biaya bunga.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa perusahaan tekstil dalam negeri yang terdaftar di pasar modal Indonesia tengah kritis. Kondisi keuangan membuat mereka harus tersegel, bahkan nyaris didepak dari daftar perusahaan terbuka. Fundamental industri tekstil tertekan ketidakpastian hingga banjirnya produk impor ilegal.
Jelang akhir 2023, beberapa perusahaan tekstil tercatat masuk dalam papan pemantauan khusus. Salah satunya efek SRIL milik PT Sri Rejeki Isman Tbk yang masuk dalam kategori ekuitas negatif dan likuiditas rendah. Efek SRIL itu sudah disuspensi atau tidak diperdagangkan selama 30 bulan sejak 18 Mei 2021. Artinya, suspensi sudah melebihi batas waktu 24 bulan.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna, dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis (23/11/2023), mengatakan, dalam melakukan pemantauan atas perusahaan tercatat, bursa melakukan beberapa upaya perlindungan investor ritel, salah satunya melalui pengenaan notasi khusus dan penempatan pada papan pemantauan khusus. ”Hal ini diharapkan bisa menjadi awareness awal bagi investor atas potensi adanya permasalahan pada perusahaan tercatat,” katanya.
Sementara itu, dalam laporan keuangan SRIL periode sembilan bulan 2023, Selasa (21/11/2023), penjualan neto perusahaan merosot 47,6 persen dibandingkan penjualan per September 2022, dari angka 474,17 juta dollar AS menjadi 248,50 juta dollar AS. Perusahaan itu menanggung kerugian operasional 105,14 juta dollar AS. Kerugian itu menurun 27,39 persen dibandingkan kerugian pada tahun lalu yang mencapai 144,80 juta dollar.
PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk, emiten berkode SBAT juga masuk pemantauan khusus karena tidak ada pendapatan usaha dalam laporan keuangan terakhir. Efek SBAT tidak lagi ditransaksikan sejak pertengahan 2021. Melihat laporan keuangan terakhir mereka di semester I-2023, keuntungan anjlok 82,25 persen secara tahunan menjadi Rp 11,09 miliar.
Penurunan kinerja juga dialami emiten PT Asia Pacific Fibers Tbk berkode POLY yang kini dipantau khusus karena laporan keuangan terakhir yang menunjukkan ekuitas negatif.
Dikutip dari laporan keuangan mereka sampai 30 September 2023, pendapatan POLY turun 27,72 persen secara tahunan ke angka 228,49 juta dollar AS dibandingkan 316,14 juta dollar AS pada tahun lalu. Mereka juga mengalami kerugian komprehensif tahun berjalan sebesar 16,05 juta dollar AS dan defisiensi modal 960,49 juta dollar AS.
”Industri poliester terus menghadapi ketidakpastian dan volatilitas selama bulan Januari hingga 23 September karena ketegangan geopolitik yang berkepanjangan, perang Rusia dan Ukraina, perlambatan pertumbuhan ekonomi global, inflasi yang tinggi, dan kenaikan biaya bunga,” kata perusahaan dalam laporan keuangannya.
Seluruh rantai poliester berada di bawah tekanan berat dengan permintaan yang lesu dan tantangan pasokan yang berlebihan. Banyak produsen yang mengurangi produksinya dan beberapa di antaranya tutup karena tren penurunan ini. Perusahaan mempertimbangkan pendapat pakar dan analis industri yang mengaitkan perlambatan ini terutama dengan jenuhnya fundamental permintaan, yang mengakibatkan banyaknya persediaan benang di pabrik.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta saat dihubungi mengatakan, industri tekstil sempat mengalami pemulihan pascapandemi Covid-19 pada semester pertama 2022. Sayangnya, pertumbuhan positif tahun lalu kembali turun pada triwulan ketiga dan keempat.
”Setelah perang Ukraina dan Rusia, mulai ada penurunan di ekspor. Ketika ekspor menurun karena geopolitik, kita punya pasar dalam negeri yang dipenuhi barang impor ilegal dari China. Alhasil, jualan susah, baik ekspor maupun lokal,” katanya.
Ketika ekspor menurun karena geopolitik, kita punya pasar dalam negeri yang dipenuhi barang impor ilegal dari China. Alhasil, jualan susah, baik ekspor maupun lokal.
Penurunan ini, menurut dia, hampir dirasakan pada semua lini penjualan produk tekstil dan turunan, baik di hulu maupun hilir. Penurunan rata-rata 50 persen secara nasional. Penurunan ini bahkan tidak terbantu permintaan jelang Pemilihan Umum 2024 yang biasanya meningkatkan produksi tekstil.
”Pemilu tidak lagi membantu karena, pertama, ini sudah era digital. Jadi, kita perkirakan demand tekstil enggak seperti pemilu sebelumnya. Kedua, dilihat dari situasi yang ada sekarang, kebutuhan ini (tekstil) juga condong menggunakan produk-produk impor. Yang lokal ada, tapi enggak signifikan,” lanjutnya.
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan perlindungan pelaku usaha di dalam negeri dan mencegah persaingan usaha yang kurang adil pun dipertanyakan. Hal ini sempat ditegaskan seusai keluarnyaPeraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 yang merevisi Permendag No 50/2020 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Peraturan itu keluar tidak lama setelah pemerintah menutup platform Tiktok Shop yang ditengarai banyak memperdagangkan produk impor ilegal.
Menyusul kemudian, rencana pemerintah mengeluarkan revisi Permendag No 25/2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Pemerintah akan mengubah pengaturan tata niaga impor dari post border menjadi border untuk delapan komoditas, yakni tas, elektronik, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, mainan anak, alas kaki, dan pakaian jadi.
Redma mengatakan, kebijakan saja tidak cukup untuk membendung hal itu. ”Produk (impor ilegal) itu masih banyak dan tidak dibendung. Ini bukan hanya keluhan industri, tapi juga pedagang di Tanah Abang dan sentra-sentra UKM lainnya. Pengendalian barang impor ilegal dalam hal ini yang diperlukan adalah implementasinya, bukan hanya kebijakan,” kata Redma.
Direktur EksekutifInstitute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad sepakat, pemerintah perlu memperketat implementasi pembatasan impor daripada fokus memperbarui kebijakan. Ia khawatir pemerintah mengulang kesalahan yang sama terkait pembatasan baju bekas impor.
”Produk impor ilegal ini menurut saya pasti ada, tapi besarannya kita tidak tahu. Kemarin sempat ada pelarangan produk tekstil bekas, dan yang masih punya stok dibolehkan menghabiskan. Tapi, sekarang kalau ke Pasar Senen masih banyak dan ramai terus. Pasti ini terjadi di lokasi lain juga,” ungkapnya.
Di luar produk ilegal, masalah importasi produk tekstil juga perlu diatur agar produk jadi tidak membanjiri pasar dalam negeri.
Terkait faktor global, ia menyebut, kenaikan inflasi di banyak negara saat ini memang masih menjadi masalah terbesar penurunan penjualan. Menurut data, permintaan global akan produk tekstil turun 10-15 persen pada semester I-2023.
”Kebutuhan produk impor beberapa negara diprediksi semakin turun tahun depan dibandingkan 2023, seperti China, Jepang, dan Korea. Tapi, ada beberapa negara yang cenderung akan mengalami peningkatan atau pemulihan dengan penurunan inflasi, seperti Malaysia, Filipina, dan India,” kata Tauhid.