Jika Pasal 4 Ayat 1 huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017 jadi dicabut, pihak yang paling dirugikan secara konstitusi adalah awak kapal perikanan migran dan pelaut dalam negeri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
TIM INVESTIGASI KOMPAS
Muhammad Syafi’i (32) sedang diobati Dinda, istrinya, di rumahnya di Desa Selorejo, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, Rabu (26/7/2023). Syafi'i menderita kerusakan saraf pada bagian tubuhnya imbas dari kecelakaan kerja yang dia alami ketika menjadi anak buah kapal migran di kapal China pada pertengahan 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi serikat pekerja dan masyarakat sipil meminta pemerintah mempertahankan regulasi perlindungan hukum pelaut migran Indonesia yang ada dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Ketiadaan regulasi ini dikhawatirkan akan menimbulkan pengabaian hak pekerja selama penempatan di kapal berbendera asing.
Saat ini terdapat sejumlah organisasi pekerja dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI). Mereka adalah Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), SAKTI Sulawesi Utara, Pelaut Borneo Indonesia, Serikat Pelaut Bulukumba, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Greenpeace Indonesia, dan Indonesia Ocean Justive Initiative (IOJI). TAPMI secara khusus memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar diterima sebagai pihak terkait langsung dalam judicial review penghapusan frasa ”pelaut awak kapal dan pelaut perikanan” di Pasal 4 Ayat 1 huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Permohonan ini baru saja dimasukkan.
Sebelumnya dikabarkan, pada Oktober 2023, MK sudah mulai menjalankan sidang gugatan Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia yang meminta penghapusan frasa ”pelaut awak kapal dan pelaut perikanan” di Pasal 4 Ayat 1 huruf c. Sebab, keberadaan frase itu dinilai akan merugikan secara konstitusi kepentingan keagenan awak kapal.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno, Senin (20/11/2023), di kompleks MK, Jakarta, berpendapat, pelaut dalam dan luar negeri seharusnya memiliki hak perlindungan yang setara mulai dari hukum, ekonomi, hingga sosial. Pengakuan hak yang setara ini penting. Karena itulah, dalam UU No 18/2017 disebutkan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan masuk dalam kategori pekerja migran.
Sesuai UU No 18/2017, perusahaan penempatan pekerja migran wajib memenuhi syarat memiliki deposit minimal Rp 1,5 miliar untuk mengurus izin. Artinya, penempatan pekerja migran, termasuk pelaut migran, tidak bisa main-main.
Kemudian, dalam peraturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, terdapat 11 isu krusial pelaut migran yang harus terakomodasi. Di antaranya adalah isu mengenai perjanjian kerja, jaminan sosial, dan asuransi.
”Seandainya Pasal 4 Ayat 1 huruf c UU No 18/2017 jadi dicabut, pihak yang paling dirugikan secara konstitusi adalah awak kapal perikanan migran dan pelaut dalam negeri,” ujar Hariyanto.
UU No 18/2017 telah mengamanatkan perbaikan tata kelola dan pelindungan pekerja migran dari pemerintah pusat sampai ke tingkat desa. Dengan kata lain, pemerintah daerah semestinya ikut membuat peraturan daerah yang melindungi pekerja migran.
Selama UU No 18/2017 berlaku, praktik pengabaian hak pelaut migran beberapa kali masih terjadi. Sebagai gambaran, dalam laporan pada Oktober 2022, Greenpeace, misalnya, mengungkap hampir 11.000 warga Indonesia dalam kondisi mendekati kerja paksa di kapal ikan Taiwan. Tim peneliti Greenpeace, antara lain, menemukan pekerja di kapal yang hasil tangkapannya diekspor ke Amerika Serikat.
Greenpeace memakai ukuran dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk menentukan ada kerja paksa atau tidak. Dalam penelitian itu ditemukan penahanan dokumen, jam kerja lebih dari 12 jam sehari, hingga lembur tanpa bayaran (Kompas.id, 7 Maret 2023).
INDONESIA OCEAN JUSTICE INITIATIVE (IOJI)
Pemetaan jumlah dan kasus anak buah kapal Indonesia yang dipekerjakan di kapal ikan asing dari berbagai sumber yang diolah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pernah merilis data resmi awak kapal perikanan migran asal Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri dan jumlahnya sekitar 250.000 orang. Sementara menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat sekitar 61.000 orang warga negara Indonesia yang sedang bekerja pada kapal penangkap ikan berbendera Korea Selatan atau Taiwan yang beroperasi di perairan Selandia Baru.
Berdasarkan keterangan yang diterbitkan resmi oleh BP2MI, ada 389 pengaduan kasus terkait awak kapal perikanan yang muncul selama periode 2018–2020. Namun, merujuk pada data yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri, per 2020 sudah ada laporan 1.451 kasus.
Ketua Umum Pelaut Borneo Bersatu Adnan Tianotak berpendapat, ketidaksetaraan perlindungan pelaut dalam negeri dan migran merupakan suatu kemunduran. Jika ada perselisihan hubungan industrial antara awak kapal migran dan perekrut, misalnya, penyelesaiannya tetap butuh acuan hukum yang jelas.
Program Manajer Indonesia Ocean Justive Initiative (IOJI) Jeremia Humolong Prasetya mengatakan, kebijakan laut yang adil berarti pekerja di dalamnya juga harus diperlakukan secara adil. IOJI mendukung pemerintah memperbaiki tata kelola penempatan pelaut migran.
Direktur Bina Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Rendra Setiawan belum memberikan jawaban konfirmasi mengenai fenomena itu saat dihubungi.
Sebelumnya, pada Oktober 2023, Kemenaker menyambut positif Pemerintah Austria dalam mengembangkan balai latihan kerja (BLK) maritim di tiga lokasi, yakni Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) Medan, BBPVP Serang, dan BBPVP Makassar. Menaker Ida Fauziyah, dalam siaran pers, mengatakan, pihaknya telah memiliki strategi ”6R” untuk mentransformasikan BLK. Keenam strategi itu adalah rebranding, reformasi kelembagaan, redesign pelatihan, revitalisasi fasilitas, sarana, dan prasarana, reorientasi sumber daya manusia, serta relationship.