Menteri ESDM mendorong adanya kerja sama jaringan transmisi dengan menyewa transmisi PLN. Skema itu dinilai bisa memacu capaian energi terbarukan Indonesia. Namun, ada kekhawatiran hal itu akan menaikkan harga listrik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pekerja berada di ketinggian dalam pemindahan jalur saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) di atas Tol Becakayu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka potensi kerja sama jaringan atau sistem sewa transmisi milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) demi memacu capaian energi terbarukan. Namun, masih ada pro kontra jika skema itu dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan karena dianggap sebagai praktik liberisasi transmisi kelistrikan.
Skema penggunaan bersama jaringan transmisi itu juga disebutpower wheeling. Dengan skema itu, transfer listrik bisa langsung dari produsen energi terbarukan ke perusahaan/industri yang menggunakannya. Namun, tetap memakai jaringan transmisi PLN. Nantinya, akan ada pembayaran biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan transmisi.
Pada awal 2023, pemerintah bersepakat untuk tidak memasukkan skema itu dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang dikembalikan ke DPR untuk dibahas bersama dalam panitia kerja. Power wheeling dianggap dapat membebani keuangan negara dan PLN.
Namun, belakangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali membuka opsi power wheeling. Itu agar produsen energi terbarukan bisa bertransaksi langsung dengan industri penyerap yang memang membutuhkan pasokan energi bersih. Skema itu menjadi cara untuk mengakselerasi energi terbarukan yang saat ini belum sesuai harapan.
Dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/11/2023), Arifin mengatakan, skema itu masuk dalam ketentuan pemenuhan pasokan energi terbarukan pada Pasal 29A dan Pasal 47A. Apabila pemegang wilayah usaha tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumen, pasokan listrik bisa melalui power wheeling.
”Untuk melaksanakan usaha transmisi atau distribusi itu wajib dibuka open access, penyaluran listrik dari sumber energi baru terbarukan, dengan mengenakan biaya yang diatur pemerintah. (Itu) dengan syarat tetap menjaga dan memperhatikan keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, dan keekonomian dari pemegang izin usaha transmisi serta distribusi tenaga listrik,” ujar Arifin.
Power wheeling, imbuh Arifin, sebenarnya telah termaktub dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja. Disebutkan bahwa pemanfaatan bersama jaringan transisi dilakukan melalui sewa jaringan. Menurut dia, pemerintah akan mengawasi agar pelaksanaan skema itu berjalan tanpa memberi beban tambahan bagi pemerintah.
”Tanpa ada open access ini, kemungkinan akan sulit bagi kita untuk mempercepat bauran energi terbarukan dalam sistem. Tidak bisa semuanya disediakan oleh satu pihak. Jadi, memang perlu kerja sama dengan seluruh pihak yang ingin berinvestasi dengan menyediakan energi bersih di Indonesia,” ucap Arifin.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menuturkan, implementasi energi terbarukan mesti terjangkau dan adil bagi masyarakat, terutama mengenai harga energi yang mesti dikelola. Dalam keuangan negara, sudah ada mekanisme bagaimana caranya beban harga energi tak berampak ke masyarakat. Keuangan negara harus dijaga.
Ia juga mengapresiasi prinsip-prinsip kehati-hatian yang dijelaskan Menteri ESDM dalam rapat tersebut. ”Bagaimana prinsip-prinsip kehati-hatian dalam dampak terhadap keuangan negara kita jaga bersama. Prinsip adil dan terjangkau selalu kami lakukan dalam panitia kerja (panja) dan dan rapat kerja (raker),” katanya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Bentang panel surya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal di perkampungan nelayan Malahing, Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Sabtu (10/6/2023).
Mesti dikuasai negara
Kendati skema power wheeling dianggap mampu memacu capaian energi, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, berpendapat power wheeling bisa menyebabkan liberisasi dalam ketenagalistrikan. Dengan dibuka kepada swasta, ia khawatir skema itu membuat harga listrik naik dan membebani masyarakat.
Ia berharap RUU Energi terbarukan dapat disahkan tanpa ada uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. ”Umumnya, RUU ini bersifat teknis, kecuali satu hal, power wheeling. Jika dimaknai sekadar distribusi transmisi listrik, oke saja. Yang jadi masalah ketika menyerahkan transmisi, yang dikuasai negara atau PLN, dibuka. Swasta masuk dan menjadi di luar kendali. Ini menjadi permasalahan,” katanya.
Mulyanto mengaku setuju dengan upaya-upaya peningkatan energi terbarukan, seperti dengan membangun banyak transmisi, termasuk jaringan super (super grid) dan jaringan cerdas (smart grid). Namun, semuanya harus dikendalikan dan dikuasai oleh negara. ”Kalau tidak, sektor transmisi ini diliberalisasi, di luar kontrol kita. Kami keberatan,” katanya.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, berpendapat, implementasi power wheeling tidak tepat. Ia memperkirakan, penerapan skema itu dapat membebani APBN yang dapat berujung dirugikannya konsumen PLN.
”Selama ini, saat harga terlalu tinggi, pemerintah memberi subsidi. Namun, dengan penerapan tarif ke mekanisme pasar, itu tak bisa dilakukan lagi. Saya juga tak terlalu yakin power wheeling akan menarik bagi investor energi terbarukan karena bagi mereka yang utama ialah profit. Selama ini, IPP (produsen listrik swasta) menjual listrik ke PLN, dengan tarif yang ditetapkan pemerintah. Namun, dengan power wheeling, harus mencari konsumen sendiri," ucap Fahmy, saat dihubungi.
Selain tentang power wheeling, penyampaian pandangan pemerintah terkait RUU EBET, pada Senin, juga tentang mekanisme nilai ekonomi karbon, substansi amonia sebagai salah satu sumber energi baru, dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada energi terbarukan. Selain itu, urgensi pembentukan badan khusus energi terbarukan serta penggunaan dana energi baru dan energi terbarukan.
Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasdem Sugeng Suparwoto mengemukakan, para anggota Komisi memahami penjelasan dari perwakilan pemerintah terkait dengan RUU EBET. ”Semuanya akan dibawa ke panja,” katanya saat membacakan kesimpulan rapat.