Pangsa Pasar Menjanjikan, Pemerintah Garap Wisata Medis dan Kebugaran
Pemerintah tengah menggarap wisata medis dan kebugaran di Indonesia. Upaya ini guna meningkatkan pamor dan daya saing fasilitas kesehatan agar masyarakat tak berobat ke luar negeri. Sebab, prospek ekonominya tinggi.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Pemerintah mulai mengembangkan wisata kesehatan Indonesia. Diharapkan masyarakat tak berobat ke luar negeri untuk penyembuhan, bahkan sebaliknya dapat menarik wisatawan mancanegara memeriksakan kesehatannya di Tanah Air.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Laksono Trisnantoro mengemukakan, regulasi wisata kesehatan di Indonesia ditargetkan pada dua kelompok, yakni orang sakit dan orang sehat. Pasien dapat memanfaatkan medical tourism (wisata medis), sedangkan wisatawan sehat dapat masuk dalam kelompok wisata medis dan wellness tourism (wisata kebugaran).
”Wellness (kebugaran) tak hanya fisik, ya, tapi juga mental, lingkungan, sosial, dan emosional,” ujarnya secara daring dalam webinar ”Potensi dan Peluang Pengembangan Medical Wellness Tourism di Indonesia” pada Rabu (15/11/2023).
Dalam skala yang lebih luas, ekonomi kesehatan secara global mencapai 5,6 triliun dollar AS atau Rp 86.822,4 triliun pada 2022. Tingkat pertumbuhan tahunan sektor tersebut (CAGR) sebesar 12,1 persen pada periode 2020-2022. Pasar ini terus bertumbuh dari waktu ke waktu di berbagai wilayah, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.
Sistem tarif wisata medis akan langsung dikendalikan rumah sakit. Sebab, sektor itu berkaitan erat dengan akses dan sistem kesehatan. Sebaliknya, sistem tarif wisata kebugaran diatur industri pariwisata.
Untuk wisata kebugaran, Indonesia mempunyai potensi yang besar. Kekayaan alam Indonesia menjadi nilai tambah untuk menggarap sektor ini. Masyarakat yang berminat untuk merawat diri (kecantikan dan kesehatan secara umum) dapat menjadi penggerak ekonomi wisata kebugaran.
Menurut Ketua Tim Kerja Wisata Minat Khusus 2 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Arya Galih Anindita, wisata kesehatan Indonesia terdiri atas beragam bentuk. Mereka adalah wisata medis berbasis layanan unggulan; wisata kebugaran, herbal, dan tradisional; wisata olahraga berbasis acara; serta wisata ilmiah berpedoman pada pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE).
Konsep wisata ini tengah dikembangkan karena potensi pasar dalam negeri yang besar. Setidaknya 2 juta masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri untuk mendapat layanan kesehatan.
Selain itu, data Asuransi Jagawisata (2022) menunjukkan, Indonesia juga berkontribusi besar dalam kunjungan berobat ke luar negeri dengan pengeluaran tahunan mencapai 11,5 miliar dollar AS. Angka itu setara dengan Rp 178,3 triliun dengan kurs Rp 15.504 per dollar AS.
”Wisata kebugaran merupakan bagian dari ekosistem wellness economy dengan perawatan pribadi dan kecantikan sebagai kontributor terbesar. Pertumbuhan wellness tourism diproyeksikan terus mengalami peningkatan yang stabil dan signifikan,” ujar Arya.
Kemenparekraf serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama mengembangkan konsep wisata kesehatan Indonesia. Hal itu tertuang dalam sejumlah kebijakan, antara lain, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 64/2014 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepariwisataan. Regulasi lain juga tertulis dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kesehatan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Wisata Kesehatan Indonesia.
Dalam webinar itu, dua pembicara lain hadir membahas persoalan yang sama. Mereka adalah Direktur Tata Kelola Kesehatan Masyarakat Kemenkes Then Suyanti serta tenaga ahli Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Tarcicius Yoyok.
Tantangan wisata medis
Selama ini, wisata medis dan kebugaran masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Sebagian masyarakat, umumnya kelas menengah atas, mencari perawatan di luar negeri.
Menurut Then, masyarakat Indonesia banyak berminat ke luar negeri, terutama negara-negara tetangga. Alasannya, metode perawatan dapat diterima, biaya terjangkau, ketersediaan jenis perawatan, serta kemudahan mendapat perawatan.
Guna menyelaraskan konsep wisata medis ini, sejumlah tantangan masih ditemui, baik sektor kesehatan maupun di luar kesehatan. Dari sektor kesehatan, penyediaan serta perbaikan fasilitas pelayanan masih perlu diperbaiki. Selain itu, kompetensi sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan diikuti kelembagaan wisata kesehatan.
Sektor di luar kesehatan, tantangannya pun beragam. Beberapa di antaranya berupa regulasi tarif tindakan medis serta pajak peralatan kesehatan yang perlu diatur, kerja sama dengan asuransi kesehatan internasional, regulasi investasi dan pemasaran pariwisata kesehatan, serta digitalisasi data, informasi, dan komunikasi.
Laksono berpendapat, Indonesia dapat berkaca dari sejumlah rumah sakit di Asia Tenggara untuk menerapkan wisata medis. Di Malaysia dan Thailand, misalnya, rumah sakit swasta tak melayani pasien dengan asuransi kesehatan pemerintah. Alhasil, pangsa pasar mereka bukan pasien yang memanfaatkan asuransi pemerintah atau ”Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)” Thailand dan Malaysia.
”Mereka leluasa bikin proses, mendatangkan pasien, menangani pasien yang hospitality-nya tinggi sekali. Di Indonesia, hampir semua rumah sakit (melayani) BPJS. Akibatnya, kita tak terbiasa menangani dengan hospitality bagus. Kita kekurangan tenaga spesialis,” tutur Laksono.
Sementara Indonesia harus bersaing dengan negara lain karena masyarakat bepergian ke luar negeri untuk medical check-up/MCU (memeriksakan kesehatan menyeluruh). Salah satu upaya yang telah diimplementasikan, masyarakat dapat melakukan MCU di salah satu mal di Surabaya. Hal ini dinilai dapat menggaet masyarakat untuk memeriksakan dirinya tanpa harus ke rumah sakit.
”Jadi harus lebih berani untuk menghadapi tantangan dari luar negeri. Kalau enggak, kita akan ketinggalan terus,” kata Laksono.
Pada waktu bersamaan, pemerintah sedang mengembangkan kawasan ekonomi khusus di Sanur, Bali. Beberapa rumah sakit di Jawa juga berupaya menyediakan perawatan kesehatan khusus bagi orang-orang luar negeri.