Diversifikasi Energi Dinilai Jadi Strategi Realistis
Teknologi pencampuran batubara dengan biomassa atau ”co-firing” pada PLTU menjadi salah satu upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang perlu dilanjutkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sepakat untuk menerapkan strategi pengurangan bertahap penggunaan batubara atau coal phase down ketimbang pengakhiran bertahap atau coal phase out. Pengamat menilai hal itu menjadi strategi realistis. Namun, perencanaan matang untuk beralih dari energi fosil tetap diperlukan.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/11/2023), Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu menuturkan, pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dilakukan hanya jika pendanaannya tersedia.
Saat opsi itu belum bisa diwujudkan, yang akan dilakukan adalah pengurangan bertahap batubara sampai perjanjian pembelian energi (power purchase agreement/PPA) pada PLTU-PLTU itu berakhir. Setelah itu, di sisa usia operasi PLTU, ada penambahan teknologi (retrofit), seperti biomassa, hidrogen hijau, amonia hijau, dan penangkapan dan penyimpanan karbon (carbone capture and storage/CCS).
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, yang dihubungi pada Minggu (19/11/2023), mengatakan, pengakhiran dini operasi PLTU batubara merupakan rencana yang telah digaungkan pemerintah. Namun, nyatanya hingga saat ini hal itu sulit dilaksanakan.
”Faktanya (hal itu) terhambat oleh pendanaan dan juga teknologi. Komitmen pendanaan dari Just Energy Transition Partnership (JETP) juga belum bisa direalisasikan sampai saat ini. Berharap pada investor juga tak bisa. Oleh karena itu, penguatan diversifikasi menjadi strategi yang realistis dan achievable (dapat dicapai) saat ini,” ujar Fahmy.
Kendati porsinya belum besar, teknologi pencampuran batubara dengan biomassa atau co-firing pada PLTU yang telah dilakukan PLN menjadi salah satu upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang perlu dilanjutkan. Begitu juga pengembangan sejumlah energi terbarukan lain yang mesti terus dipacu.
Upaya diversifikasi energi, imbuh Fahmy, tepat sebelum dilakukan pensiun dini PLTU. Namun, ke depan, perencanaan pengakhiran dini operasi PLTU tetap mesti disiapkan dengan lebih matang. Itu dalam rangka peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan atau energi yang memiliki emisi lebih rendah.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Mamit Setiawan menuturkan, penerapan coal phase down ialah ranah kebijakan pemerintah. Namun, pihaknya sebagai penyedia energi primer bagi pembangkit-pembangkit PLN ataupun produsen listrik swasta (IPP) tetap berupaya memasok berapa pun kebutuhan energi pimer, termasuk batubara.
”Kami akan tetap menjaga dan mengupayakan pasokan energi primer dalam menjaga keamanan suplai, berapa pun (banyaknya) yang dibutuhkan pembangkit. Itu untuk menjaga ketahanan energi, terutama menyediakan listrik bagi masyarakat,” kata Mamit.
Meski merupakan energi fosil, emisi yang dihasilkan gas lebih rendah ketimbang jenis energi fosil lainnya.
Ia menambahkan, saat coal phase down sudah diterapkan, kebutuhan batubara bagi pembangkit akan berkurang dan diganti oleh energi primer lain. Gas, misalnya, yang diyakini akan menjadi energi penjembatan ke arah energi bersih. Sebab, meski merupakan energi fosil, emisi yang dihasilkan gas lebih rendah ketimbang jenis energi fosil lainnya.
Selain itu, penerapan co-firing pada PLTU batubara juga terus diupayakan PLN. Menurut data PLN per September 2023, co-firing telah diimplementasikan di 41 lokasi PLTU dengan pemakaian 668.869 ton biomassa. Implementasi itu menghasilkan energi hijau sebesar 718.458 megawatt-jam (MWh) serta menurunkan 717.616 ton karbondioksida (CO2).
Pencampuran batubara
Sementara itu, dalam memastikan pasokan batubara serta diikuti peningkatan efisiensi, PLN EPI dan PT Krakatau Bandar Samudera mengembangkan fasilitas pencampuran batubara atau coal blending facility (CBF). Fasilitas itu mencampur batubara kalori rendah dan kalori tinggi sehingga menghasilkan spesifikasi yang dibutuhkan PLTU Jawa 7 di Banten.
”Ini menjadi salah satu solusi dalam penyediaan batubara. Sebab, saat ini ketersediaan batubara dengan nilai GAR (gross as received) 4.800-5.000 sulit. Oleh karena itu, kami mencampur batubara kalori rendah, GAR 3.800, dengan kalori tinggi, GAR 5.800. Hasil laboratorium menunjukkan hasilnya baik. Itu meningkatkan efisiensi dalam suplai batubara untuk pembangkit,” ujarnya.
Ia menambahkan, CBF untuk PLTU Jawa 7 telah melalui masa uji coba dan akan diluncurkan pada akhir 2023. Pihaknya juga menjalin komunikasi dengan sejumlah PLTU lain, termasuk IPP, dalam pengembangan CBF. ”Beberapa yang kami jajaki adalah PLTU di beberapa wilayah di Kalimantan. Ada potensi besar di sana,” kata Mamit.