Konsep pariwisata Likupang berubah dari KEK yang penuh investasi infrastruktur menjadi wisata berkelanjutan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK Likupang, Sulawesi Utara, disorot pemerintah pusat karena perkembangannya yang stagnan. Kondisi ini sekaligus menjadi bahan evaluasi pemerintah terhadap status KEK di sejumlah daerah.
Likupang dipandang perlu mencari investor utama untuk mengembangkan kawasan. Sejak 2019, realisasi investasi KEK Likupang baru Rp 488 miliar dengan serapan 564 tenaga kerja. Padahal, target pada 2040 ada investasi Rp 5 triliun untuk mempekerjakan 33.262 orang (Kompas.id, 6/11/2023).
Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana, Bali, I Gede Pitana menilai, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan pariwisata Likupang. Persoalan infrastruktur, pemasaran, dan komponen lain bisa menjadi pertimbangan.
Apabila seseorang ingin berinvestasi, pemerintah semestinya menyadari bahwa infrastruktur jadi daya tarik utama investor. Selain itu, perlu dilihat juga sejauh mana pemasaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempromosikan Likupang sebagai destinasi yang layak dikunjungi menarik minat investor.
”Sudahkah target-target yang dipasang itu rasional atau tidak terlalu bombastis? Maka, target pun perlu direvisi. Nah, ketika Likupang mau dievaluasi, (stakeholder) harus sangat setuju, tetapi evaluasinya menyeluruh, termasuk revisi target,” ujar Gede saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno membenarkan Likupang termasuk KEK yang akan dievaluasi. Konsep pariwisata Likupang berubah dari KEK yang penuh investasi infrastruktur menjadi wisata berkelanjutan (regenerative tourism).
Jadi, jangan hanya dihitung mengenai berapa investasinya, tetapi berapa penurunan karbon emisinya (Sandiaga Uno).
Konsep wisata regeneratif menekankan pada penghijauan, penanaman tumbuhan, serta penelitian keanekaragaman flora dan fauna. Destinasi Likupang diharapkan mewujudkan wisata pada garis Wallace, pemisahan fauna dan flora Asiatis dan peralihan, baik atas maupun bawah laut.
”Jadi, jangan hanya dihitung mengenai berapa investasinya, tetapi berapa penurunan karbon emisinya,” ujar Sandi di Gedung Kemenparekraf, Jakarta, Senin (13/11/2023).
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Dewan Nasional KEK Susiwijono Moegiarso mengatakan, saat ini pemerintah tengah menerima banyak usulan baru sekaligus evaluasi atas KEK yang ada. Daerah yang stagnan terancam dicabut status kekhususannya.
”Sekarang kami akan evaluasi. Kalau sampai pertengahan tahun depan nanti ada yang tidak signifikan, kami harus cabut. Cabut KEK bukan berarti tutup industrinya, tetapi status KEK-nya. Nanti bisa jadi (statusnya menjadi) proyek strategis nasional atau kawasan lain,” tutur Susiwijono.
Sejauh ini, lanjut Susiwijono, investasi-investasi di KEK memang bertambah, tetapi beberapa di antaranya tak memenuhi target. Hal ini yang perlu ditinjau ulang oleh pemerintah. Harapannya, akhir tahun ini hasil evaluasi akan keluar.
Saat ini, baru dua indikator penilaian KEK yang berjalan. Pertama, realisasi investasi yang menghitung seluruh nilai pembangunan di sana, antara lain nilai bangunan. Kedua, serapan tenaga kerja yang bisa diciptakan dari pembangunan dan investasi di daerah.
Pemerintah sedang bekerja sama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia untuk mengevaluasi indikator pencapaian KEK. Susiwijono mengatakan, sebenarnya tak mudah menyematkan status KEK pada suatu daerah. Sebab, satu KEK memiliki satu peraturan pemerintah khusus yang menetapkan KEK dan satu keputusan presiden yang menetapkan dewan kawasan. Ia pun menyayangkan jika ada daerah KEK dicabut statusnya.
Gede berpendapat, ketika status KEK dicabut, dampaknya besar bagi citra Indonesia. Investor dapat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, terutama mereka yang telah dan akan membangun di KEK.
”Jangan sampai mencabut (status KEK). Justru sebaliknya, target-target itu yang harus diturunkan agar kita bisa (terus) membangun. (Hal) terpenting, jangan diam (tanpa pembangunan),” ujarnya.
Gede mengatakan, pariwisata merupakan investasi jangka panjang. Produknya tak bisa langsung diujicobakan pada konsumen. Strategi untuk meyakinkan serta membangun kepercayaan bagi calon investor dan calon wisatawan perlu digarap sungguh-sungguh.
Evaluasi pariwisata setidaknya dapat mencakup beberapa aspek. Aspek itu adalah atraksi, aksesibilitas, amenitas (fasilitas pendukung), ancillary (organisasi kepariwisataan), akomodasi, dan aktivitas.
”Jangan sampai ketika kita evaluasi, kita saling menyalahkan, apalagi sampai lempar tanggung jawab. (Itu) enggak produktif. Jadi, betul-betul evaluasi harus komprehensif,” kata Gede.