Kinerja Ekspor Nonmigas RI Terus Turun Sejak Akhir 2022
Perlambatan perdagangan global dan kawasan membayangi kinerja ekspor Indonesia yang terus turun sejak akhir 2022. Konflik geopolitik yang terjadi saat ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perdagangan RI.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kinerja ekspor nonmigas Indonesia terus turun sejak akhir 2022. Penurunan kinerja itu lebih dipengaruhi turunnya nilai ekspor ketimbang volume. Hal itu tidak terlepas dari tren penurunan harga komoditas ekspor unggulan RI, terutama batubara dan minyak sawit mentah.
Kendati begitu, Indonesia tetap perlu terus menjaga kinerja ekspor di tengah perlambatan pertumbuhan perdagangan yang diperkirakan bakal terjadi hingga akhir tahun ini. Organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyebutkan inflasi, konflik geopolitik, perubahan iklim, dan restriksi dagang masih menjadi penghambat pertumbuhan perdagangan kawasan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini, Rabu (15/11/2023), mengatakan, sejumlah lembaga dan organisasi internasional memprediksi tren penurunan ekspor barang dan jasa bakal terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini sudah tergambar di Indonesia.
Salah satu indikasinya adalah tren penurunan ekspor barang nonmigas Indonesia yang terjadi sejak akhir 2022. Pada Januari-Oktober 2023, total ekspor nonmigas Indonesia senilai 201,25 miliar dollar AS atau turun 12,74 persen dibandingkan periode sama 2022. Komoditas penyumbang penurunan ekspor tersebut adalah bahan bakar mineral, terutama batubara, serta lemak dan minyak hewani/nabati, terutama minyak sawit.
“Penurunan kinerja itu lebih dipengaruhi turunnya nilai ekspor ketimbang volume. Nilai ekspor tersebut turun terutama disebabkan penurunan harga batubara dan minyak sawit mentah,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Penurunan kinerja itu lebih dipengaruhi turunnya nilai ekspor ketimbang volume.
Pudji menjelaskan, pada Januari-Oktober 2023, nilai ekspor bahan bakar mineral, serta lemak dan minyak hewani/nabati masing-masing turun sebesar 20,03 persen dan 19,52 persen daripada periode sama 2022. Adapun dalam periode perbandingan yang sama, volume ekspor bahan bakar mineral, serta lemak dan minyak hewani/nabati masing-masing naik 10,4 persen dan 10,83 persen.
Kendati begitu, RI masih mencatatkan surplus neraca perdagangan nonmigas pada Januari-Oktober 2023, yakni sebesar 47,02 miliar dollar AS. Surplus tersebut turun cukup signifikan dibandingkan surplus neraca perdagangan nonmigas pada Januari-Oktober 2023 yang mencapai 66,41 miliar dollar AS.
Sementara itu, Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) mengingatkan inflasi dan restriksi dagang masih akan menghambat pertumbuhan perdagangan kawasan hingga akhir tahun ini. Kendati tingkat inflasi turun, perdagangan di kawasan APEC diperkirakan masih tumbuh lambat.
Berdasarkan Laporan Analisis Tren Regional APEC yang dirilis 12 November 2023, tingkat inflasi kawasan pada September 2023 sebesar 3,4 persen. Tingkat inflasi itu telah turun cukup signifikan dibandingkan September 2022 yang mencapai 6,6 persen.
Namun, inflasi masih berpotensi naik atau bertahan tinggi karena ketegangan geopolitik semakin marak ditambah dengan gangguan iklim. Inflasi dapat memperburuk perekonomian kawasan, terutama karena pembatasan ekspor, serta gangguan rantai pasokan pupuk dan kondisi cuaca mempengaruhi beberapa produk pertanian.
Selain itu, inflasi tidak hanya berdampak pada kenaikan biaya hidup, suku bunga acuan, dan utang, tetapi juga biaya perdagangan. Hal itu terjadi lantaran harga komoditas atau bahan baku masih cukup tinggi, nilai tukar mata uang melemah, dan biaya transportasi terpengaruh kenaikan harga energi.
Tidak hanya itu, restriksi dagang dan tindakan pengamanan perdagangan (trade remidies) di kawasan APEC juga meningkat pesat. Dalam periode 2012-Oktober 2023, restriksi dagang meningkat dari 176 tindakan menjadi 480 tindakan, sedangkan trade remidies dari 278 kasus menjadi 933 kasus.
Peneliti Unit Pendukung Kebijakan APEC Glacer Nino A Vasquez menuturkan, hal itu menyebabkan perdagangan kawasan terkontraksi. Pada paruh pertama 2023, volume dan nilai ekspor masing-masing menurun hingga -3,5 persen dan -7,1 persen.
“Hingga akhir tahun ini, volume ekspor dan impor perdagangan barang (di kawasan APEC) diperkirakan akan tumbuh sedikit masing-masing 0,1 persen dan 0,3 persen. Kemudian pada 2024, volume ekspor dan impor diproyeksikan tumbuh lebih baik, yakni masing-masing 4,3 persen dan 3,5 persen," tuturnya melalui siaran pers.
Untuk itu, kerja sama multilateral tetap penting untuk mengatasi proteksionisme perdagangan dan gangguan rantai pasokan. Kerja sama tersebut juga dibutuhkan untuk menghadapi tantangan peningkatan utang, perubahan iklim, dan transisi ekonomi hijau.
Hingga akhir tahun ini, volume ekspor dan impor perdagangan barang (di kawasan APEC) diperkirakan akan tumbuh sedikit masing-masing 0,1 persen dan 0,3 persen.
Terkait dengan perang Israel-Hamas di Gaza, Palestina, BPS menyatakan, konflik tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Andil ekspor dan impor Indonesia ke dan dari kedua negara tersebut sangat kecil sekali.
Menurut Pudji, ekspor nonmigas RI ke Palestina pada Januari-Oktober 2023 senilai 2,37 juta dollar AS atau 0,0011 persen terhadap total ekspor nonmigas RI pada periode yang sama. Begitu juga dengan impor Indonesia dari Palestina yang sebesar 1,57 juta dollar AS atau 0,0000 persen terhadap total impor nonmigas RI.
“Lantaran sangat kecil sekali andil impor tersebut terhadap total impor RI, sampai dengan empat digit desimal, kami juga belum bisa menunjukkan besarannya,” ujarnya.
Sementara itu, ekspor nonmigas RI ke Israel pada Januari-Oktober 2023 senilai 140,57 juta dollar AS atau 0,07 persen terhadap total ekspor nonmigas RI. Untuk impornya senilai 16,97 juta dollar AS atau 0,011 persen dari total impor nonmigas RI.
“Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kondisi politik di kedua negara tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perdagangan internasional Indonesia,” kata Pudji.
Kondisi politik di kedua negara tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Berdasarkan data BPS, komoditas ekspor Indonesia ke Palestina berupa makanan olahan; olahan sayuran, buah, dan kacang; olahan tepung; bahan kimia organik; serta kayu dan barang dari kayu. Untuk impornya berupa buah-buahan, lemak dan minyak hewani/nabati, karya seni, karpet dan tekstil, serta plastik dan produk plastik.
Adapun ke Israel, RI mengekspor lemak dan minyak hewani/nabati, alas kaki, mesin/perlengakapan elektronik, serat stapel buatan, serta ampas dan sisa industri makanan. Dari Israel, Indonesia mengimpor mesin dan peralatan mekanis; perkakas dan peralatan dari logam; instrumen optik, fotografi, sinematografi, dan medis; serta bahan kimia anorganik.
Selain itu, Pudji juga menyatakan, konflik Rusia-Ukraina juga tidak berpengaruh signifikan terharap kinerja perdagangan internasional Indonesia. Hal itu lantaran Indonesia telah memiliki pasar alternatif komoditas utama yang diimpor dari dua negara tersebut, yakni serealia, terutama gandum. Pasar alternatif Indonesia untuk mendapatkan komoditas itu adalah Australia dan Argentina.