Operator Telekomunikasi Seluler Vs Raksasa Bisnis Digital
Operator telekomunikasi seluler di sejumlah negara, termasuk Indonesia, berharap pemerintah menciptakan regulasi yang setara antara operator dan para pemain aplikasi internet atau OTT.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys, di Jakarta, Senin (13/11/2023), menyatakan, rata-rata peningkatan pendapatan industri operator telekomunikasi seluler per tahun selama periode 2013-2022 adalah 5,69 persen. Pencapaian ini dinilai jauh lebih kecil dibandingkan tren peningkatan biaya hak penggunaan frekuensi yang mencapai 12,1 persen sehingga membebani keuangan operator.
Sementara itu, pertumbuhan lalu lintas konsumsi data seluler sebesar 80,7 persen pada periode 2013-2022 tidak berkontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan operator. Ini karena harga lalu lintas data per gigabit (GB) telah mengalami penururan signifikan sebesar -32 persen. Akibatnya, rerata belanja layanan atau ARPU seluler saat ini masih sangat rendah, yaitu di kisaran Rp 38.000 per orang per bulan.
”Operator telekomunikasi seluler jika tidak mau mati harus mendigitalkan bisnis, jangan hanya berjualan layanan infrastruktur telekomunikasi. Kalau semua operator seluler beralih berbisnis digital, bisnis infrastruktur ditinggalkan, maka ini yang bahaya,” ujar Merza pada diskusi bertajuk, ”Lelang Spektrum 700 MHz dan 26 GHz, Upaya Mendorong Penetrasi 5G”, di Jakarta, Senin (13/11/2023).
Kalau semua operator seluler beralih berbisnis digital, bisnis infrastruktur ditinggalkan, maka ini yang bahaya.
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sarwoto Atmosutarno, Selasa (14/11/2023), di Jakarta, mengatakan, industri telekomunikasi seluler berevolusi menghadapi pemain bisnis digital atau over-the-top (OTT) dan pemerintah yang memiliki layanan pemerintahan berbasis elektronik.
OTT yang dia maksud mencakup OTT raksasa dari luar negeri yang memiliki produk mirip dengan layanan telekomunikasi seluler. Dan, inilah yang turut mendisrupsi bisnis operator telekomunikasi seluler.
”Pendapatan layanan voice (telepon) terus turun hingga sekarang mencapai kurang dari 50 persen terhadap total bisnis,” ujarnya.
Perang harga
Senada dengan Merza, pendapatan operator telekomunikasi seluler dari berjualan data seluler tidak sebanding dengan kenaikan konsumsi data seluler. Salah satu penyebabnya, di kalangan operator telekomunikasi seluler juga saling bersaing menawarkan harga yang rendah.
Ini memengaruhi sehat atau tidaknya industri. Sejauh ini, kapitalisasi pasar bagi perusahaan telekomunikasi seluler yang berstatus perusahaan terbuka hanya tumbuh 3 persen. Pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi atau EBITDA perusahaan telekomunikasi seluler cenderung stagnan.
CEO PT Alita Praya Mitra Teguh Prasetya berpendapat, ke depan, akan semakin berat buat operator telekomunikasi seluler kalau masih mengandalkan data sebagai pendapatan utama. Inovasi yang dibuat oleh OTT semakin cepat dan canggih. OTT itu misalnya Whatsapp.
Pendapatan operator telekomunikasi seluler dari berjualan data seluler tidak sebanding dengan kenaikan konsumsi data seluler.
Whatsapp menggunakan koneksi data dibandingkan pesan SMS dari operator seluler, yang sering kali memerlukan biaya. Mengutip The New York Times, Mark Zuckerberg telah membangun Whatsapp menjadi layanan perpesanan dan bisnis yang lebih lengkap. Whatsapp telah menambahkan lebih banyak fitur, mulai dari reaksi emoji sederhana dan penerusan pesan hingga menghilangkan pesan dan mendukung aplikasi di perangkat lain.
Whatsapp juga menawarkan aplikasi khusus untuk bisnis yang ingin menggunakan platform tersebut untuk berkomunikasi dengan konsumen. Pada 2017, Whatsapp memperkenalkan iklan ”klik untuk mengirim pesan”, yang merupakan format iklan yang dapat dibeli oleh bisnis untuk ditempatkan di dalam feed Facebook.
Wakil Presiden Manajemen Produk Meta, Nikila Srinivasan, mengatakan, perusahaan membangun infrastruktur pembayaran dan bekerja sama dengan perusahaan di India, Brasil, dan Singapura untuk memungkinkan orang membayar pembelian langsung di dalam Whatsapp.
Country Director Meta di Indonesia, Pieter Lydian, di acara Whatsapp Business Summit, di Jakarta, Rabu (1/11/2023), mengatakan, sejak 2022, percakapan sehari-hari antara individu dan bisnis di Whatsapp di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat. ”Dan kami bertekad untuk terus mendukung perkembangan ekosistem digital di Indonesia,” katanya.
Menurut Merza, pemerintah semestinya jangan cuma mengurus infrastruktur telekomunikasi, tetapi juga bisnis digital yang sekarang sedang berkembang, terutama yang ditawarkan oleh para OTT. Perusahaan OTT memang membayar pajak, tetapi mereka tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti operator telekomunikasi seluler.
Padahal, di antara para perusahaan OTT itu memiliki layanan yang mirip dengan layanan yang ditawarkan oleh operator telekomunikasi seluler, di antaranya video call dan kirim pesan pendek. Layanan milik OTT itu berjalan di atas infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh operator telekomunikasi seluler.
”Maka, pemerintah perlu bantu kami agar tumbuh dengan sehat. Pemerintah harus menerima pendapatan yang bukan hanya dari kami para operator telekomunikasi seluler, tetapi juga dari perusahaan OTT,” imbuhnya.
Sarwoto, yang juga menjadi Staf Khusus Menkominfo, mengatakan, kesehatan industri telekomunikasi seluler bukan hanya berkaitan dengan pemberlakuan pengurangan kewajiban PNBP frekuensi. Pemerintah akan meninjau juga sejauh mana gambaran hubungan operator telekomunikasi seluler dengan OTT. ”Harus ada sharing pain dan sharing gain di antara mereka,” kata Sarwoto.
Dosen Institut Teknologi Bandung, Kelompok Keahlian Telekomunikasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB (STEI-ITB), Ridwan Effendi, menyampaikan, ke depan, pemerintah semestinya membuat regulasi untuk mengakses layanan OTT yang seperti pseudo telekomunikasi seluler.
Sebagai contoh, pengguna yang ingin mengakses layanan OTT dikenai tarif. Hasilnya bisa dipakai oleh operator telekomunikasi seluler mengembangkan infrastruktur jaringan telekomunikasi.
Selama ini, OTT tunduk pada Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ridwan mengusulkan agar pungutan tarif akses premium ke OTT diatur dalam perubahan regulasi tarif jasa telekomuikasi.
Sementara itu, Teguh menyarankan agar pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan operator telekomunikasi seluler dan OTT berbagi pendapatan yang transparan, terutama untuk aplikasi yang berhubungan dengan telepon. Operator telekomunikasi juga harus mengembangkan aneka bisnis berbasis transaksi, iklan, dan perilaku konsumen.
Keluhan pelaku industri telekomunikasi di Indonesia sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain. Di India, mengutip indiantimes.com, Asosiasi Operator Seluler India (COAI) menuduh raksasa teknologi seperti Amazon dan Microsoft melewati jalur telekomunikasi legal dengan menggunakan Whatsapp dan platform lain yang tidak diatur untuk mengirim pesan perusahaan kepada pelanggan.
COAI berpendapat bahwa praktik ini melanggar norma perizinan dan keamanan. Praktik ini menyebabkan hilangnya pendapatan untuk pemerintah dan perusahaan telekomunikasi. Sementara itu, di Eropa, Whatsapp mungkin terpaksa berintegrasi dengan layanan pesan pesaing sebagai bagian dari persyaratan berdasarkan regulasi terbaru, yaitu Undang-Undang Pasar Digital.