Pertamina Matangkan Kerja Sama Terkait Injeksi Karbon
Pertamina mematangkan kerja sama dengan dua perusahaan migas global, yakni Chevron dan ExxonMobil, terkait CCS/CCUS.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero), secara terpisah, menjalin kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas bumi global, yakni Chevron dan ExxonMobil, dalam mengembangkan teknologi penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau CCS/CCUS. Hal itu guna mendukung capaian emisi nol bersih atau NZE Indonesia pada 2060.
Carbon capture and storage (CCS) ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tak terlepas ke atmosfer. Karbon dioksida (CO2) dari industri migas atau lainnya ditangkap untuk disuntikkan ke reservoir ataupun saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi) sehingga CO2 larut atau tersimpan permanen. Sementara pada carbon capture, utilization, and storage (CCUS), karbon juga dimanfaatkan untuk peningkatan produksi migas.
Kerja sama Pertamina dengan Chevron berupa joint study agreement untuk mengkaji kelayakan CCS/CCUS di Kalimantan Timur, Indonesia. Kedua belah pihak akan berbagi informasi, seperti data geologi, geofisika, peta-peta, model-model, hingga informasi komersial. Penandatanganan dilakukan di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (13/11/2023) waktu setempat.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya berkomitmen penuh dalam pengembangan bisnis rendah karbon melalui proyek CCS/CCUS mengingat hal itu menjadi salah satu kunci percepatan dekarbonisasi. CCS/CCUS sangat strategis mengingat Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon yang besar.
Pertamina berkolaborasi dengan Chevron dalam pengembangan proyek CCS Hub di Kaltim yang mengintegrasikan area penghasil emisi di Kluster Industri Balikpapan dan Bontang. ”Penggunaan energi fosil di Indonesia masih dominan. Artinya, kita masih menghasilkan emisi yang besar sehingga penting untuk serius pada teknologi CCS/CCUS,” kata Nicke melalui siaran pers, Selasa (14/11/2023).
Sementara dengan ExxonMobil, Pertamina bersepakat menindaklanjuti kerja sama untuk evaluasi CCS Hub di bagian barat Laut Jawa, tepatnya di Cekungan Asri dan Cekungan Sunda. CCS Hub di lokasi ini diharapkan menawarkan penyimpanan geologis dengan volume yang signifikan. CO2 dari industri dalam negeri dan regional diharapkan bisa diinjeksikan di sana.
Penandatanganan kesepakatan dilaksanakan pada Senin (13/11/2023) waktu setempat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ad interim, Erick Thohir, menuturkan, perjanjian itu menandakan langkah penting perjalanan Indonesia sebagai negara yang memimpin proyek pengurangan emisi gas rumah kaca.
”Teknologi mutakhir di balik CCS Hub tidak hanya akan mengurangi emisi dan mendorong industri rendah karbon, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi,” kata Erick dalam keterangannya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenkomarves Jodi Mahardi mengatakan, kerja sama itu bagian dari upaya membangun ekosistem CCS. Pemerintah telah siap memanfaatkan potensi CCS Indonesia untuk kemajuan industri rendah karbon, peningkatan investasi, dan pembukaan lapangan kerja baru untuk masyarakat.
Senior Vice President ExxonMobil Corporation Jack P Williams mengemukakan, kerja sama itu meningkatkan peluang untuk mengurangi emisi secara bersama-sama. Juga, mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan kawasan.
ExxonMobil menginvestasikan 17 miliar dollar AS dalam inisiatif penurunan emisi pada 2022-2027. ExxonMobil akan fokus pada upaya penangkapan dan penyimpanan karbon pada emisi titik sumber, yaitu proses menangkap CO2 dari aktivitas industri yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer. Setelah ditangkap, CO2 diinjeksi ke dalam formasi geologi bawah tanah dengan penyimpanan yang aman, terjamin, dan permanen.
Tiga gigaton
Menurut Nicke, proyek CCS di bagian barat Laut Jawa strategis karena dekat dengan lokasi berbagai industri. CCS Hub ini akan menyediakan akses terhadap penyimpanan geologi di saline aquifer, yang dapat menampung setidaknya 3 gigaton CO2 dari industri padat karbon dalam negeri maupun kawasan.
”Proyek ini akan memungkinkan Indonesia menjadi pemimpin dalam dekarbonisasi industri karena ada potensi penyimpanan karbon yang sangat besar. Harapannya di masa depan Indonesia menjadi pusat CCS di Asia Tenggara,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, di sela-sela Enlit Asia 2023, di Tangerang, Banten, Selasa (14/11/2023), mengatakan, jika Indonesia ingin terus menggunakan energi fosil, ada dua alternatif yang mesti ditempuh oleh perusahaan. Pertama, dengan membayar pajak karbon. Kedua, dengan menerapkan teknologi CCS/CCUS.
Apabila hal itu tidak dilakukan, target-target pengurangan emisi bisa tak tercapai. ”Sementara kita masih butuh listrik (yang masih dominan dihasilkan dari pembakaran batubara) dan energi terbarukan juga masih belum sesuai harapan,” katanya.
Proyek CCS/CCUS, kata Djoko, memang memerlukan investasi yang mahal. Maka, di samping teknologi tersebut, hal lain yang dilakukan ialah bagaimana meningkatkan porsi energi terbarukan, seperti co-firing (pencampuran batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Itu penting agar NZE 2060 tercapai.