Perkembangan sektor jasa lebih cepat sehingga serapan tenaga kerjanya juga lebih banyak ketimbang industri pengolahan. Artinya, peran industri pengolahan dalam struktur perekonomian Indonesia menurun dibanding jasa.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi serapan tenaga kerja dari sektor industri pengolahan pada Agustus 2023 menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal jumlah penduduk bekerja meningkat. Artinya, kecepatan serapan tenaga kerja industri pengolahan lebih lambat ketimbang sektor ekonomi lainnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi serapan tenaga kerja industri pengolahan pada Agustus 2023 mencapai 13,83 persen dari total jumlah penduduk bekerja. Angka ini menurun dibandingkan dengan Agustus 2022 yang sebesar 14,17 persen. Pada Agustus 2023 jumlah penduduk bekerja mencapai 139,85 juta orang. Adapun pada Agustus 2022 jumlahnya mencapai 135,30 juta orang.
Sejatinya jumlah tenaga kerja industri pengolahan pada Agustus 2023 tetap bertambah, yakni sekitar 180.000 orang dibandingkan dengan Agustus 2022. Namun, porsi serapan tenaga kerja industri pengolahan itu menurun.
Head of Center of Industry, Trade, Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, data ini menunjukkan, kecepatan serapan tenaga kerja pada industri pengolahan lebih lambat ketimbang sektor ekonomi yang lainnya.
”Jumlah serapan tenaga kerja bertambah, tapi secara keseluruhan porsi kontribusi malah menurun. Berarti laju serapan tenaga kerja sektor industri pengolahan ini kalah cepat dibandingkan dengan sektor lain,” ujar Andry, saat dihubungi, Senin (13/11/2023).
Ia menambahkan, jika dilihat lebih detail, porsi serapan tenaga kerja melaju lebih cepat di berbagai sektor jasa. Sektor akomodasi dan makan minum pada Agustus 2023 berkontribusi menyerap tenaga kerja sebesar 7,71 persen. Angka itu meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 7,10 persen.
Selama setahun itu, sektor akomodasi dan makanan minuman jadi sektor dengan serapan tambahan tenaga kerja terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya, yakni 1,18 juta orang.
Peningkatan porsi serapan tenaga kerja juga dicatat oleh sektor pengangkutan dan pergudangan. Pada Agustus 2023 sektor ini berkontribusi terhadap serapan tenaga kerja mencapai 4,40 persen meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,29 persen. Selama setahun itu, sektor ini mencatat penambahan tenaga kerja 340.000 orang.
Deindustrialisasi
Andry menjelaskan, bila dilihat dengan perspektif yang lebih luas lagi, ini merupakan gejala deindustrialisasi yang masih terus berlangsung. Memang betul, kontribusi industri pengolahan pada triwulan ketiga 2023 bertumbuh menjadi 18,75 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusinya pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 17,97 persen. Kinerja ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan kedua 2023 yang mencapai 18,25 persen.
Namun, perkembangan sektor jasa lebih cepat sehingga serapan tenaga kerjanya juga lebih banyak ketimbang industri pengolahan. Artinya, peran industri pengolahan dalam struktur perekonomian Indonesia menurun dibandingkan dengan jasa.
Peran industri pengolahan dan dalam struktur perekonomian Indonesia menurun dibandingkan dengan jasa.
Menurut Andry, serapan tenaga kerja di sektor jasa seperti akomodasi makan minum serta pengangkutan dan pergudangan ini tidak membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja industri pengolahan.
Pertumbuhan industri pengolahan juga banyak ditopang investasi di industri padat modal dan padat teknologi. Hilirisasi, misalnya, itu lebih banyak menyerap tenaga kerja yang keterampilannya lebih tinggi untuk mengoperasikan mesin teknologi tinggi dan mahal. Ini tidak banyak menyerap tenaga kerja atau padat modal.
”Indonesia masih membutuhkan industrialisasi yang terus bertumbuh yang bisa banyak menyerap tenaga kerja,” ujar Andry.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, industri pengolahan atau manufaktur sudah sejak 20-30 tahun terakhir selalu menjadi kontributor besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Berkaca dari hal itu, industri pengolahan ini harus dijaga keberlangsungannya dan pertumbuhannya agar tidak merosot.
Namun, masalahnya, sudah terjadi deindustrialisasi sejak 2002 dan bahkan makin cepat sejak 2008. Sebagai perbandingan, pada 2008 porsi industri manufaktur terhadap PDB nasional masih 27,8 persen. Pada 2010 kontribusinya mulai turun ke 22 persen. Saat pandemi Covid-19, peran sektor pengolahan semakin mengecil ke 19,8 persen pada 2020, turun lagi menjadi 19,25 persen pada 2021, 18,34 persen pada 2022, dan terakhir 18,25 persen pada triwulan II tahun 2023.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasantai menjelaskan, pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan ketiga 2023 yang mencapai 5,20 persen lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 4,94 persen.