Wisata Petualangan, Bonus Geografi Nusantara yang Belum Optimal
Indonesia memiliki kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan untuk wisata petualangan. ”Bonus geografi” itu belum optimal digarap.
Pariwisata merupakan sektor menjanjikan dengan pangsa pasar yang diprediksi terus meningkat dari waktu ke waktu. Variannya pun beragam dengan segmentasi berbeda-beda pula.
Dari sejumlah jenis turisme, wisata petualangan (adventure tourism) kian populer di kalangan anak muda, khususnya generasi Z dan milenial. Mereka bahkan tak segan merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati pengalaman wisata petualangan.
Mereka bahkan tak segan merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati pengalaman wisata petualangan.
Adventure Travel Trade Associationdalam laporan Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) mendefinisikan wisata petualangan sebagai perjalanan yang memenuhi sedikitnya dua unsur dari tiga elemen. Elemen yang dimaksud meliputi aktivitas fisik, lingkungan alam, serta pendekatan budaya (cultural immersion).
Meski demikian, pengelola perjalanan wisata biasanya mengombinasikan seluruh elemen tersebut. Tujuannya agar turis dapat optimal merasakan pengalaman wisata petualangan sehingga puas. Dengan harapan, turis akan datang kembali dan merekomendasikan kepada jejaring mereka.
Pasar terus tumbuh
Data Konsultan Next Move Strategy dalam laman Statista menunjukkan, pangsa pasar wisata petualangan global meningkat perlahan dari tahun ke tahun, setidaknya hingga 2030. Pada tahun ini, diperkirakan nilai pasarnya mencapai 483,3 miliar dollar AS atau Rp 7.854,4 triliun dengan kurs Rp 15.693 per dollar AS.
Nilainya masih akan naik bertahap dari waktu ke waktu. Pada 2030, nilai industri pariwisata petualangan ini diperkirakan mencapai 2.824,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 44.323,3 triliun.
Pada tahun ini, diperkirakan nilai pasarnya mencapai 483,3 miliar dollar AS atau Rp 7.854,4 triliun dengan kurs Rp 15.693 per dollar AS.
Wisata petualangan dapat dilakukan seluruh turis domestik dan internasional. Menginap merupakan karakteristik yang harus dipenuhi, lamanya tak lebih dari setahun.
”Adventure tourism ini bukan wisata masal, kemudian penuh tantangan. Bisa dikatakan, wisata ini merupakan wisata alternatif dari wisata masal yang dikenal selama ini, seperti pergi ke pantai atau taman rekreasi,” tutur Chusmeru, pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (11/11/2023).
Kocek lebih dalam
Jenis wisata petualangan menjadi suatu terobosan yang menawarkan paket berbeda. Seperti namanya yang mengandung kata ”petualangan”, beragam kegiatan yang memacu adrenalin pun disuguhkan. Beberapa di antaranya berkemah, menyusuri gua, mendaki gunung, berburu, dan arung jeram (rafting).
Wisata petulangan ini menyasar generasi muda, meski tak tertutup untuk kelompok dewasa, bahkan kelompok lanjut usia untuk menikmatinya. Perjalanannya yang menantang membuatnya menjadi wisata spefisik alias tak cocok untuk semua orang.
Besarnya biaya yang perlu dikeluarkan pun bukan jadi penghalang untuk menikmati wisata ini.
Apalagi, melansir laporan UNWTO, para wisatawan biasanya harus merogoh kocek lebih dalam untuk menikati wisata petualangan dibanding jenis wisata arus utama. Sebab, mereka harus membelanjakan uangnya untuk membeli atau menyewa peralatan khusus.
Menurut Chusmeru, para wisatawan mencari pengalaman yang memicu semangat (excitement). Sensasi menghadapi tantangan, menaklukkan risiko di hutan, sungai, atau laut, itu yang dicari. Besarnya biaya yang perlu dikeluarkan pun bukan jadi penghalang untuk menikmati wisata ini.
Chusmeru menilai, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk jenis wisata petualangan. Negeri ini memiliki banyak gunung, tebing, sungai, air terjun, dan gua.
Namun, promosinya belum semasif wisata konvensional. Sebab, selama ini pemerintah cenderung mengejar kuantitas wisatawan.
Informasi seputar wisata petualangan biasanya menyebar antarkomunitas.
Informasi seputar wisata petualangan biasanya menyebar antarkomunitas. Baru beberapa pengelola wisata yang melakukan promosi.
Namun, belakangan, sejumlah pelaku wisata mulai melihat potensi pasar wisata petualangan pada wisata air dan darat. Promosi pun lebih gencar berseliweran di media sosial.
Tawaran paket
Rafting Adventure Bogor, misalnya, menyediakan layanan wisata petualangan dalam beberapa bentuk paket. Di antaranya adalah arung jeram (rafting) serta berkendara di medan alam bebas atau offroad. Harganya bervariasi. Arung jeram dipatok Rp 202.000 per orang, sedangkan offroad sebesar Rp 385.000 per orang.
Ada pula Jejak Baduy, tur perjalanan yang menawarkan pengalaman alam sekaligus pengenalan budaya suku Baduy. Wisatawan perlu berjalan 9-10 kilometer (km) selama sekitar 4-5 jam untuk berjalandari Terminal Ciboleger, Lebak, Banten.
Dalam perjalanan, wisatawan akan melewati sembilan perkampungan Baduy Luar menuju Baduy Dalam di Desa Kanekes yang meliputi tiga kampung. Ada dua jenis perjalanan, perjalanan terbuka (open trip) dan perjalanan privat (private trip).
Arung jeram dipatok Rp 202.000 per orang, sedangkan offroad sebesar Rp 385.000 per orang.
Untuk perjalanan terbuka, tarifnya Rp 260.000 per orang. Sementara perjalanan privat tarifnya bervariasi, mulai dari Rp 320.000 per orang hingga Rp 1,6 juta per orang, bergantung jumlah orang dalam rombongan.
”Kami selalu ingatkan tamu, di sana (perkampungan Baduy) enggak ada obyek wisatanya, tapi untuk silaturahmi, mengenal budaya masyarakatnya,” ujar pendiri Jejak Baduy, Taufik Hidayat.
Dalam wisata ke Baduy, wistawan dapat mengenal kebudayaan, adat istiadat, serta kehidupan sehari-hari suku Baduy di tempat tinggal asli mereka. Saat berkunjung ke Baduy Dalam, alat dokumentasi tak bisa digunakan. Wisatawan didorong untuk mengenal tradisi suku Baduy.
Meski rute yang dilewati naik-turun bukit, pangsa pasarnya cukup luas. Taufik mengatakan, tamunya berusia 24-60 tahun. Mayoritas berasal dari kalangan pekerja. Pelanggannya didominasi dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun, pihaknya pernah melayani wisatawan asing asal Jepang, Italia, Jerman, serta Belanda.
Hal serupa diutarakan wisatawan yang pernah berkunjung ke sana, Ari Murdoko (59). Ia bersama rombongan seusianya sempat khawatir mengalami kram kaki saat perjalanan karena medan yang dilewati cukup menantang. Beruntung, kekhawatirannya tak sampai terjadi.
Pelanggannya didominasi dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Melihat keseharian suku Baduy memberi pengalaman yang unik karena dapat bersinggungan langsung dengan mereka selama dua hari dan satu malam. Masyarakat setempat masih menjunjung tinggi adat.
”Itu yang membuat berkeinginan besar, untuk tahu kondisi di sana karena terkenal menolak teknologi. Mereka dikelilingi dunai modern, masih ada daerah yang menjunjung tinggi budaya, hidup sederhana,” kata Ari.
Bisa Kontraproduktif
Di sisi lain, wisata petualangan membawa risiko bagi alam dan masyarakat adat. Tanpa kesadaran dari pengelola dan pelancong, wisata ini bisa mengeksploitasi alam dan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pengelolaannya harus disiplin pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan penghormatan kepada budaya.
Chusmeru mengatakan, masyarakat sekitar perlu dilibatkan mengelola tiap destinasi wisata. Masyarakat, misalnya, bisa dilibatkan untuk mengelola restoran serta menjadi pemandu wisata. Hal-hal seperti ini belum sepenuhnya menjadi perhatian dari pengelola wisata petualangan.
”Kecenderungan mengabaikan masyarakat juga yang sering kali membuat suatu destinasi adventure tourism ini justru merusak alam. Tumbuhan dan satwa di destinasi itu kemudian rusak,” ujarnya.
Tanpa kesadaran dari pengelola dan pelancong, wisata ini bisa mengeksploitasi alam dan masyarakat setempat.
Investasi pada sektor wisata petualangan, menurut Chusmeru, jangan hanya mengucur pada pengelola. Namun, investasi tersebut juga semestinya mengalir ke masyarakat setempat. Apalagi, nilai ekonomi jenis wisata ini lebih tinggi dibanding wisata masal.
Konsep wisata petualangan harus digarap hati-hati. Wisata ini berisiko terhadap keseimbangan konservasi alam. Apabila penanganannya tak tepat, berisiko menuai penolakan karena berkaitan juga dengan unsur keberlanjutan.
”Wisata berkelanjutan tak merusak ekosistem. Sementara, petualangan sangat potensial merusak ekosistem, sehingga tantangannya membuat wisata ini tak bertentangan dengan ekowisata,” katanya.
Membawa ancaman
Senada dengan Chusmeru, sebagai pelaku usaha, Taufik menyadari bahwa mempertemukan wisatawan dengan suku Baduy memberi ancaman pada suku Baduy. Sebab, wisatawan pasti akan menghasilkan sampah-sampah selama berdinamika di sana.
”Kami membawa ancaman ke sana (lokasi suku Baduy), apalagi tamu banyak. Namun, kami berupaya meminimalisasi ancaman itu agar tetap seimbang. Tamu tetap leluasa, masyarakat di sana juga menerima pemasukan,” katanya.
Ia berharap, pemerintah setempat yang mulai memperhatikan desa adat dapat ikut andil menangani masalah sampah plastik di tempat tinggal suku Baduy. Dibutuhkan beberapa titik pembuangan sampah yang disangga beberapa desa, terutama pintu utama Terminal Ciboleger menuju Bojong Menteng, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.
Negeri ini bak mendapat ”bonus” karena kondisi geografisnya yang menguntungkan untuk dimanfaatkan.
Salah satu karakteristik wisata petualangan biasanya menginap lebih lama ketimbang wisata massal. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari menilai, kualitas wisatawan perlu diutamakan ketimbang kuantitasnya. Sebab, durasi menginap yang lebih lama akan berpengaruh pada uang yang dibelanjakan di suatu tempat. Hal ini justru berkontribusi terhadap sektor pariwisata.
Wisata petualangan jadi jenis wisata yang menjanjikan bagi Indonesia. Negeri ini bak mendapat ”bonus” karena kondisi geografisnya yang menguntungkan untuk dimanfaatkan. Namun, keberhasilan pemanfaatannya bergantung pada kerja sama dan upaya setiap pihak mengelola keindahan alam yang ada.