Pemerintah kesulitan meredam kenaikan harga gula di dalam negeri. Realisasi impor gula 16 perusahaan gula konsumsi yang mendapatkan penugasan pemerintah masih minim. Relaksasi harga acuan penjualan gula dilakukan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI menilai langkah pemerintah mengendalikan harga gula pasir atau konsumsi di tingkat ritel modern sudah tepat. Namun ke depan, pemerintah harus memiliki cadangan gula untuk mengantisipasi kenaikan harga gula jika sewaktu-waktu terjadi lagi.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen menyatakan hal itu ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (10/11/2023). Pernyataan itu terkait dengan kebijakan relaksasi atau fleksibilitas harga acuan penjualan (HAP) gula konsumsi di tingkat konsumen yang dijual di ritel modern.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menetapkan HAP gula konsumsi itu bisa dijual ke konsumen Rp 16.000 per kilogram (kg). Khusus wilayah Maluku, Papua, serta daerah tertinggal, terluar, terpencil, dan pedalaman (3TP), fleksibikitas HAP tersebut dipatok Rp 17.000 per kg.
Sebelumnya, HAP gula konsumsi di tingkat konsumen Rp 14.500 per kg. Khusus wilayah Maluku, Papua, dan daerah 3TP, HAP-nya sebesar Rp 15.500 per kg. HAP itu ditetapkan Bapanas dan mulai berlaku sejak 24 Juli 2023.
Menurut Soemitro, kebijakan relaksasi harga gula konsumsi di tingkat ritel memang diperlukan. Kebijakan itu akan membuat pabrik-pabrik gula swasta dan milik negara yang mendapatkan penugasan impor gula mentah dan konsumsi mau memasarkan gula konsumsi ke pasar ritel.
Dengan harga gula mentah dan konsumsi di tingkat internasional yang saat ini cukup tinggi, mereka akan merugi jika HAP gula konsumsi masih Rp 14.500-Rp 15.500 per kg. Apabila pasokan gula di pasar ritel modern terbatas, harga gula, termasuk di pasar tradisional, bakal semakin tidak terkendali.
"Kebijakan relaksasi HAP itu juga akan berpengaruh ke harga gula di pasar tradisional. Harga gula di pasar tersebut bisa sama atau sedikit lebih rendah dari HAP yang telah direlaksasi pemerintah," ujarnya.
Kebijakan relaksasi HAP itu juga akan berpengaruh ke harga gula di pasar tradisional. Harga gula di pasar tersebut bisa sama atau sedikit lebih rendah dari HAP yang telah direlaksasi pemerintah.
Namun bagi petani, lanjut Soemitro, relaksasi harga itu tidak terlalu berdampak signifikan. Hanya segelintir petani tebu yang masih memiliki stok gula yang menikmati keuntungan dari kenaikan dan relaksasi harga gula saat ini.
Gula mereka ditawar pedagang rata-rata Rp 15.000 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga tertinggi lelang gula petani pada musim giling tahun ini yang mencapai Rp 13.900 per kg.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per Jumat siang (10/11/2023), harga rata-rata gula konsumsi secara nasional Rp 16.260 per kg atau naik 12,42 persen secara tahunan. Harga gula tertinggi berada di Papua dan Papua Barat, yakni Rp 20.800 per kg, sedangkan terendah di DKI Jakarta Rp 15.000 per kg.
Soemitro berpendapat, kenaikan harga gula pada tahun ini memang tidak bisa dihindari. Selain akibat dampak El Nino, kenaikan harga komoditas tersebut juga dipengaruhi lonjakan harga gula di tingkat internasional.
Agar hal itu tidak terulang ke depan, pemerintah harus memiliki cadangan gula sendiri yang dikelola oleh ID Food atau Perum Bulog sebanyak 1-1,5 juta ton. Cadangan gula pemerintah (CGP) itu diharapkan bisa dipenuhi dari gula petani, bukan dengan cara mengimpor.
"Pemerintah bisa menyerap gula petani di saat harga lelang gula berada di bawah harga acuan pembelian gula petani Rp 12.500 per kg," kata Soemitro.
Agar hal itu tidak terulang ke depan, pemerintah harus memiliki cadangan gula sendiri yang dikelola oleh ID Food atau Perum Bulog sebanyak 1-1,5 juta ton.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, kebijakan relaksasi HAP gula konsumsi di tingkat konsumen itu hanya berlaku di pasar ritel modern. Gula yang dijual di jaringan ritel tersebut merupakan gula yang diproduksi pabrik-pabrik gula swasta dan milik negara yang mendapatkan penugasan pemerintah untuk mengimpor gula konsumsi dan gula mentah.
"Kami mengambil kebijakan relaksasi ini karena harga gula dunia masih tinggi dan harga gula konsumsi di dalam negeri sudah berada di atas HAP Rp 14.500-Rp 15.500 per kg. Kebijakan ini akan terus dievaluasi secara berkala sampai harga gula kembali ke level wajar," katanya ketika dihubungi dari Jakarta.
Kebijakan ini akan terus dievaluasi secara berkala sampai harga gula kembali ke level wajar.
Pada tahun ini, pemerintah menugaskan 16 perusahaan swasta dan milik negara untuk mengimpor gula mentah dan konsumsi sebanyak 1,01 juta ton. Gula impor itu guna memenuhi CGP yang akan digunakan pemerintah dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Dua perusahaan mendapatkan kuota impor gula konsumsi sebanyak 215.800 ton dan 14 perusahaan memperoleh kuota impor gula mentah 796.000 ton. Perusahaan yang mendapatkan impor gula mentah akan mengolah gula tersebut menjadi gula konsumsi.
Namun, per 9 November 2023, realisasi impor gula mentah masih minim, yakni baru sebanyak 180.000 ton atau 22,61 persen dari kuota. Begitu juga dengan realisasi impor gula konsumsi yang baru sebanyak 126.941 ton atau 58,82 persen dari total kuota.
Beberapa perusahaan bahkan ada yang sama sekali belum merealisasikan impor meskipun sudah mengantongi persetujuan impor. Hal ini terjadi lantaran harga beras dunia masih tinggi, sehingga tidak mungkin dijual seharga HAP Rp 14.500-Rp 15.500 per kg.
Arief meminta agar perusahaan-perusahaan tersebut segera merealisasikan impor gula karena pemerintah sudah memberikan fleksibilitas HAP. "Mereka yang telah memegang persetujuan impor, seharusnya segera merealisasikannya. Jangan seenaknya sendiri dan hanya mau mengimpor saat harga gula rendah," katanya.
Pada tahun ini, Impor gula tersebut sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas stok dan harga gula di dalam negeri. Produksi gula di dalam negeri pada tahun ini diperkirakan turun akibat dampak El Nino. Bapanas menyebutkan, produksi gula tahun ini yang semula diperkirakan sebanyak 2,6 juta ton turun menjadi 2,2-2,3 juta ton.