Hibah Hanya 1,4 Persen, Transisi Energi Berpotensi Terhambat
Dari total komitmen pendanaan kerja sama transisi energi sebesar 21,5 miliar dollar AS, porsi hibah hanya 300 juta dollar AS atau 1,4 persen. Afrika Selatan yang memiliki porsi hibah 4 persen saja juga mendapat kritik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Porsi hibah dalam Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership/JETP untuk sementara ini hanya 300 juta dollar AS atau 1,4 persen dari total komitmen pendanaan yang mencapai 21,5 miliar dollar AS. Porsi hibah yang jauh lebih kecil dari pinjaman dinilai berpotensi menjadi beban dalam implementasi JETP.
Dalam komunikasi publik mengenai draf rencana investasi JETP yang digelar Sekretariat JETP secara daring pada Jumat (3/11/2023) lalu disebutkan bahwa komitmen pendanaan JETP saat ini total sebesar 21,5 miliar dollar AS. Dana itu terbagi atas dana privat/swasta sebesar 10 miliar dollar AS dan dana publik 11,5 miliar dollar AS.
Dari 10 miliar dollar AS dana publik, porsi hibah (grant) hanya 300 juta dollar AS. Sisanya adalah pinjaman dengan persyaratan lunak (conssessional) senilai 6,9 miliar dollar AS, penjaminan (guarantee) 2,1 miliar dollar AS, pinjaman nonconssessional 1,6 miliar dollar AS, ekuitas/investasi 400 juta dollar AS, dan belum terdefinisikan sebesar 300 juta dollar AS.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat, JETP sebenarnya bisa mempercepat upaya transisi energi sambil mengatasi dampak sosial ekonomi. Juga bisa memperkuat tata kelola dan mendorong pendanaan ke negara-negara berkembang (global south).
”Namun, perlu dilakukan cost and benefit analysis dan simulasi mikro untuk melihat dampaknya. Jika persentase hibah minim dibandingkan pinjaman, itu dapat menimbulkan beban keuangan yang signifikan pada organisasi atau BUMN yang terlibat dalam transisi energi,” ujar Media, Rabu (8/11/2023).
Hal tersebut dapat memengaruhi kemampuan organisasi atau BUMN terkait untuk berinvestasi baik dalam teknologi, infrastruktur, maupun praktik berkelanjutan. Kewajiban pembayaran pinjaman justru menarik mundur progres transisi energi karena membatasi kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan situasi.
Ia menambahkan, kecilnya porsi hibah dibandingkan pinjaman juga akan menghadapi tantangan dalam meraih dukungan serta persetujuan dari pemangku kepentingan, advokat lingkungan, dan masyarakat umum. Sebab, kondisi itu dianggap lebih mendukung kepentingan sektor perbankan atau keuangan global (free riders) daripada tujuan lingkungan atau sosial.
”(Apabila demikian), kesepakatan dan prinsip kolaborasi akan sulit tercapai,” ujarnya.
Ia pun membandingkannya dengan JETP Afrika Selatan yang memiliki porsi hibah sebesar 4 persen, yang sebenarnya juga mendapat berbagai kritik. ”Oleh karena itu, tahapan penyerapan aspirasi publik dan negosiasi awal amat penting,” ucapnya.
Adapun komitmen pendanaan JETP diarahkan pada lima fokus area investasi(investment focus area/IFA). Pertama, yang disebut IFA 1, ialah pembangunan transmisi. IFA 2 ialah pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. IFA 3 adalah akselerasi energi terbarukan yang dapat dikontrol dan konstan (dispatchable). IFA 4 adalah akselerasi energi terbarukan yang bersifat variable (bergantung cuaca). Adapun IFA 5 ialah peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Kecilnya porsi hibah dibandingkan pinjaman juga akan menghadapi tantangan dalam meraih dukungan serta persetujuan dari pemangku kepentingan, advokat lingkungan, dan masyarakat umum. (Media Wahyudi Askar)
Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra menuturkan, yang akan diupayakan dioptimalkan lebih dulu adalah IFA 1 dan IFA 2. ”Menurut kami, IFA 1 dan IFA 2 yang membutuhkan apakah itu hibah, pinjaman conssessional yang tinggi, ataupun struktur pembiayaan campuran (blended finance). Pendekatan (prioritas) ini yang kami pilih,” katanya.
Edo menekankan, Sekretariat JETP tidak mengelola dana, tetapi hanya mengoordinasikan serta studi analisis. Indonesia memiliki satuan tugas (task force) transisi energi serta country platform yang akan menentukan satu proyek dianalisis. ”Jadi, ketuk palunya (proyek) ada di pemerintah lewat country platform dan satgas,” katanya.
Proyek transisi energi
Sementara itu, analis senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Wiranegara menuturkan, proses pengadaan pembangkit energi terbarukan kerap menemui berbagai kendala. Di antaranya acap kali terbentur dengan persiapan proyek, termasuk studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan urusan izin-izin sebelum proses lelang.
”Di Indonesia, hal ini masih menjadi tanggungan pengembang, yang membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh ’pemain-pemain’ tertentu. Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan dalam pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” ujarnya.
Selain itu, aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat juga krusial dalam Dokumen Perencanaan dan Kebijakan Investasi Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) JETP. Dari hasil kajian IESR, mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batubara penting. Hal itu, antara lain, dengan peningkatan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah serta diversifikasi ekonomi ke arah ekonomi yang berkelanjutan.
Sebelumnya, awal November, Sekretariat JETP membuka draf CIPP JETP ke publik yang dapat diakses melalui laman www.jetp-id.org. Masukan dari publik akan diserahkan sebelum Selasa (14/11/2023) dan akan diolah untuk menjadi landasan finalisasi dokumen CIPP. Menurut rencana, CIPP akan diluncurkan sebelum Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November 2023.