Anies, Ganjar, dan Prabowo Tidak Tawarkan Kesegaran Ide untuk Industrialisasi
Visi-misi capres-cawapres di bidang perindustrian cenderung sama dan sudah dikerjakan oleh pemerintah saat ini.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiga pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden memiliki visi dan misi untuk memajukan dunia perindustrian. Namun, ide kebijakan perindustrian ketiganya cenderung relatif sama dan sudah dikerjakan pemerintahan saat ini. Dibutuhkan terobosan dan inovasi untuk mendukung industri dalam negeri berperan lebih besar terhadap ekonomi nasional.
Diambil dari dokumen visi-misi mereka, pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ingin mendorong kebangkitan industrialisasi dengan target kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2029 atau saat kepemimpinan mereka berakhir sebesar 22-23 persen. Adapun pada 2022 posisinya adalah 18,34 persen.
Cara yang akan dicapai adalah dengan memberikan insentif bagi pengembangan industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mendorong investasi untuk swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) di industri strategis berbasis teknologi tinggi seperti pertahanan, transportasi, biomedika, telekomunikasi, dan kelautan. Lalu membangun kawasan industri di berbagai wilayah di luar Jawa.
Sementara visi-misi Ganjar Pranowo-Mahfud MD adalah mendorong Indonesia keluar dari jebakan negara kelas menengah dengan bercita-cita menciptakan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun dengan mencatatkan pertumbuhan industri manufaktur 7,5-8 persen per tahun. Untuk mencapai hal itu, pasangan ini akan meningkatkan peran koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemanfaatan infrastruktur, ekonomi hijau, serta ekonomi digital.
Pasangan ini juga memperkenalkan ide industrialisasi 5.0, yakni industrialisasi yang digerakkan inovasi dan kreativitas, karena Indonesia memiliki rantai pasok lengkap dari hulu-hilir, tenaga kerja terampil, dan pasar yang besar. Kondisi tersebut diharapkan bisa mendorong hilirisasi sumber daya alam.
Sementara visi-misi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yaitu melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Menurut mereka, sebuah negara maju harus mampu memaksimalkan potensi sumber daya alamnya untuk kemajuan perekonomian nasional dan rakyat.
Caranya dengan mengembangkan hilirisasi untuk menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selain itu, dengan melanjutkan pembangunan infrastruktur penunjang hilirisasi dan industrialisasi.
Tidak baru
Head of Center of Industry, Trade, Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, visi dan misi ketiga pasangan calon itu belum menawarkan sebuah gagasan inovatif yang baru.
”Ketiganya menawarkan sesuatu yang normatif, sudah lama dipahami, dan sudah dilakukan pemerintahan saat ini,” ujar Andry yang dihubungi Selasa (7/11/2023).
Bahkan, menurut dia, pasangan Anies-Muhaimin yang secara jelas mengatakan akan menawarkan perubahan pun tidak memberikan gagasan yang inovatif. Menurut dia, ide-ide pengembangan industri, seperti memberikan insentif ke industri padat karya dan mendorong investasi ke sektor industri, adalah hal-hal normatif yang sudah semestinya dilakukan sehingga bukan suatu inovasi baru yang segar.
Adapun ide pasangan Ganjar-Mahfud agar pertumbuhan industri bisa mencapai 7,5-8 persen per tahun sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen merupakan target yang amat sulit dicapai. Cara yang ditawarkan yakni menjalankan industrialisasi 5.0 ini juga tidak relevan dan tidak sesuai konsep.
Menurut dia, yang dimaksud industrialisasi 5.0 itu adalah praktik aktivitas ekonomi yang segala proses produksi hingga proses pendistribusiannya ke tangan konsumen seluruhnya sudah tak lagi melibatkan manusia. Praktik semacam ini di negara maju sekalipun masih jauh pelaksanaannya, apalagi di Indonesia yang praktik industrialisasi 4.0 masih belum semua pelaku betul-betul bisa menerapkan.
Sementara ide pasangan Prabowo-Gibran terlihat hanya meneruskan konsep dan kebijakan industrialisasi yang sedang berjalan di pemerintahan saat ini. Hilirisasi barang mentah untuk diolah menjadi barang bernilai tambah itu sudah merupakan keharusan dalam sebuah industrialisasi sehingga itu bukan merupakan prestasi.
Andry mengatakan, kendati sesuai konsep industrialisasi, hilirisasi juga bukan tanpa masalah. Ada persoalan seperti ekses dari hilirisasi tersebut, seperti hilangnya lapangan pekerjaan tradisional di wilayah itu. Lalu bagaimana praktik industri itu bisa memenuhi kaidah dan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environtment, social, governance/ESG) sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan lebih besar sehingga justru membebani ekonomi masyarakat. Hal-hal ini yang semestinya dimunculkan untuk lebih menyempurnakan hilirisasi.
”Lima tahun ini waktunya yang tak banyak. Presiden berikutnya, siapa pun itu, mesti betul-betul bisa serius mendorong perkembangan perindustrian dalam negeri,” ujar Andry.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menambahkan, pengembangan industri sangat penting untuk membantu Indonesia mencapai mimpinya menjadi negara maju pada 2045 atau 100 tahun usia kemerdekaan.
Masalahnya adalah sudah terjadi deindustrialisasi sejak 2002 dan bahkan makin cepat sejak 2008. Sebagai perbandingan, pada 2008 porsi industri manufaktur terhadap PDB nasional masih 27,8 persen. Pada 2010, kontribusinya mulai turun ke 22 persen. Saat pandemi Covid-19, peran sektor pengolahan semakin mengecil ke 19,8 persen pada 2020, turun lagi menjadi 19,25 persen pada 2021, 18,34 persen pada 2022, dan terakhir 18,25 persen pada triwulan II-2023.
”Ini artinya, peran perindustrian terhadap perekonomian ini kian susut,” ujar Yose.
Salah satu dampaknya adalah merosotnya lapangan kerja dari sektor ini. Sebagian pun beralih ke sektor jasa. Namun, kebanyakan sektor jasa informal yang tidak berkualitas.
Ini adalah pekerjaan rumah presiden berikutnya untuk bisa mendorong industrialisasi dan jasa bisa berjalan beriringan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, manufaktur yang kuat juga perlu dorongan sektor jasa lainnya, seperti logistik, telekomunikasi, dan keuangan.