Pelaku Usaha Menanti Energi Hijau yang Andal dan Terjangkau
Di era transisi energi, yang diarahkan memang penggunaan energi hijau. Namun, pembangkit listrik hijau yang andal belum merata, termasuk pada sejumlah sentra pertambangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasimineral kritis, demi peningkatan nilai tambah komoditas, membutuhkan pasokan energi yang andal dan terjangkau. Namun, sejauh ini, pemenuhan kebutuhan energi yang ekonomis itu hanya dapat dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga uap batubara. Di tengah tuntutan transisi energi, solusi bersama perlu dicari.
Ketua Komite Tetap Mineral dan Batubara (Minerba) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arya Rizqi Darsono, yang dihubungi, Sabtu (4/11/2023), mengatakan, di era transisi energi, yang diarahkan memang penggunaan energi hijau. Namun, pembangkit listrik hijau yang andal belum merata, termasuk pada sejumlah sentra pertambangan.
”PLTA (pembangkit listrik tenaga air) misalnya. Di Jawa Barat ada. Di Poso (Sulawesi Tengah) juga ada milik Kalla Group, tetapi bagaimana dengan daerah lain? Misalnya di Kalimantan Barat untuk hilirisasi bauksit. Yang jelas, posisi kami (pelaku usaha pertambangan) masih sama, yakni berharap adanya energi yang murah serta andal,” ujar Rizqi.
Para pelaku usaha pertambangan sepakat untuk mendongkrak peningkatan nilai tambah komoditas tambang sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Namun, mereka merasa berat jika dituntut juga untuk memikirkan ketersediaan energi, yang hijau, dalam proses pengolahan komoditas.
Rizqi menilai, peluang sebenarnya ada pada penerapan power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan transmisi. Lewat skema itu, produsen listrik swasta dapat langsung bekerja sama dengan perusahaan yang memanfaatkannya, dengan tetap memakai jaringan transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Ada biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan.
Namun, pemerintah telah mengeluarkan skema power wheeling dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), yang saat ini dalam pembahasan pemerintah dan DPR. Namun, rencana penerapan skema itu tetap menjadi bagian dari diskusi.
Yang jelas, posisi kami (pelaku usaha pertambangan) masih sama, yakni berharap adanya energi yang murah dan andal. (Arya Rizqi Darsono)
Alotnya pencarian alternatif PLTU batubara yang berada di luar jaringan PLN atau off-grid juga tampak dari draf rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dibuka ke publik pada Rabu (1/11/2023). Dalam ringkatan eksekutif draf CIPP JETP disebutkan sejumah target penurunan emisi JETP mengacu hanya pada PLTU batubara on-grid atau dalam jaringan PLN.
Artinya, target-target yang tertuang dalam draf CIPP JETP itu belum memasukkan permodelan dan analisis mengenai PLTU mandiri di luar jaringan (off-grid) PLN atau captive. Namun, disebutkan juga bahwa Sekretariat JETP akan tetap melaksanakan studi serta menyiapkan peta jalan yang lebih rinci mengenai pembangkit-pembangkit captive atau off-grid di Indonesia.
Studi mendalam
Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra dalam komunikasi publik draf rencana investasi JETP secara daring, Jumat (3/11/2023), menuturkan, terkait target penurunan emisi dari PLTU off-grid masih memerlukan studi eksploratif yang lebih mendalam. Itu antara lain untuk optimalisasi pemenuhan kebutuhan energi untuk hilirisasi mineral di Indonesia.
Menurut dia, opsi-opsi energi yang lebih hijau terus diupayakan. ”Termasuk melihat opsi teknologi dan seperti apa tantangannya. Jadi, kami akan melihat opsi-opsi yang ada serta bagaimana keekonomiannya. Mungkin juga akan ada kebijakan dari sisi demand (permintaan) yang perlu dilakukan bersama di tingkat gobal, untuk memastikan akselerasinya bisa lebih cepat,” ujar Edo.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat, menuturkan, pihaknya akan mendukung berbagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seoptimal mungkin. Ia pun mendukung sejumlah industri yang sudah mulai mencari energi alternatif dari PLTU batubara, tetapi tetap bernilai ekonomis.
”Sekarang banyak industri yang menggunakan pembangkit sendiri, yang mulai mencari alternatif energi lain, misalnya mencari gas untuk menurunkan emisi yang dihasilkan. Juga pembangkit nuklir small modular reactor (SMR) yang kapasitasnya 200-300 megawatt (MW) per unit. Atau SMR terapung. Mereka pasti akan melakukan analisis keekonomiannya,” ujar Arifin.
Ke depan, kata Arifin, tuntutan penggunaan energi yang lebih bersih akan semakin kencang, terlebih jika sudah ada penerapan pajak karbon. Ia juga akan terus mendorong peningkatan interkoneksi jaringan kelistrikan nasional, agar dapat dimanfaatkan oleh industri, untuk menggantikan PLTU batubara, dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca.