Transaksi Masih Sedikit, Bursa CPO Lakukan Penyesuaian
Penyesuaian dilakukan agar Bursa CPO bisa segera membentuk referensi harga pada triwulan pertama 2024, dengan jumlah transaksi setidaknya sebesar 10-20 persen dari total perdagangan dalam negeri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua minggu setelah dibukanya Bursa Berjangka Penyelenggara Pasar Fisik Minyak Sawit Mentah atau Bursa CPO, transaksi yang dilakukan pembeli dan pedagang masih sangat sedikit. Beberapa penyesuaian pun dilakukan untuk meningkatkan gairah perdagangan di bursa tersebut.
Penyelenggara Bursa CPO, Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX), mencatat, sampai dengan Rabu (1/11/2023), volume transaksi di bursa itu tercatat 250 ton. Nilai itu naik 2,5 kali lipat dibandingkan transaksi perdana pada pembukaan di hari pertama perdagangan pada Jumat (20/10/2023) sebesar 100 ton minyak sawit mentah.
”Harga di hari perdagangan kemarin ditutup Rp 11.100 per kilogram,” kata Yohanes F Silaen, Vice President Bursa CPO, Kamis (2/11/2023).
Harga tersebut lebih rendah dibandingkan harga pembukaan pada hari perdagangan perdana, yakni Rp 12.485 per kg untuk minimal pembelian 1 lot atau 25 metrik ton minyak sawit mentah. Pergerakan harga ini juga belum didukung peningkatan peserta bursa. Sampai hari ini, jumlah peserta baru bertambah dua menjadi 20 peserta yang terdiri dari pembeli dan penjual.
Yohanes mengatakan, bursa kini melakukan beberapa penyesuaian pada tata cara perdagangan. Jika sebelumnya minimal pembelian adalah 1 lot yang setara 25 metrik ton minyak sawit, kini diubah menjadi hanya 5 metrik ton per lot.
Sesi perdagangan juga dikurangi menjadi hanya dua sesi, yakni pukul 09.30-17.00 dan pukul 20.00-22.00. Di awal, sesi perdagangan dibuka tiga sesi, dengan masing-masing sesi satu jam di pagi, siang, dan malam hari. ”Kami juga buat penyelesaian menjadi cash settlement atau penyelesaian secara tunai,” tutup Yohanes.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) periode 2022-2023, Didid Noordiatmoko, mengaku belum gembira dengan perkembangan Bursa CPO hingga saat ini. Selaku pengawas bursa, ia menyebut penyesuaian-penyesuaian terus mereka lakukan untuk meningkatkan partisipasi dan nilai transaksi perdagangan.
”Transaksinya masih sangat sedikit. Saya belum happy untuk itu. Namun, ya memang saya mengibaratkan ini seperti bayi dalam inkubasi. Sudah lahir, tetapi perlu perhatian luar biasa. Kami masih terus-menerus minta data per hari untuk tahu kira-kira apa yang harus dilakukan dan diperbaiki,” tuturnya di Jakarta usai resmi mengakhiri tugas sebagai Kepala Bappebti, Rabu.
Pria yang kini memutuskan menjadi dosen itu pun mengatakan, ia telah meminta jajarannya untuk melakukan perbaikan dalam peraturan tata tertib bursa. ”Bukan untuk mencari kesalahan, melainkan bagaiamana supaya Bursa CPO bisa berjalan lebih cepat lagi. Tujuannya ke sana,” ujarnya.
Sebelumnya, ia menargetkan agar Bursa CPO bisa membentuk referensi harga pada triwulan pertama 2024. Untuk mencapai target itu, ia menyebut, jumlah transaksi di Bursa CPO setidaknya harus sebesar 10-20 persen dari total perdagangan dalam negeri, baik transaksi fisik maupun derivatif. Mengacu pada produksi CPO Indonesia, jumlah yang diperdagangkan di dalam negeri sebesar 24 juta ton dari total 48 juta ton di 2022.
”Jadi, perdagangan di bursa kira-kira harus mencapai 2,4 juta ton. Nah, itu baru bisa menjadi bursa CPO yang kredibel dan valid sebagai referensi harga,” kata Didid.
Ditemui pada kesempatan sama, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya menjelaskan, akhir Oktober lalu pihaknya meminta ICDX kembali membuka perdagangan kontrak berjangka CPO berdenominasi rupiah (CPOTR). Ini membuat Bappebti menyesuaikan spesifikasi kontrak ke ukuran yang lebih kecil.
”Harapan kami lebih banyak pihak yang bisa bertransaksi karena jumlah ton per lot tidak terlalu besar,” kata Tirta.
Jika transaksi terus meningkat, baik dari transaksi fisik maupun derivatif, akan semakin mudah bagi Bappebti untuk mengumpulkan data sebagai acuan pembentukan referensi harga. Bappebti menargetkan, data itu bisa dibentuk hingga akhir tahun 2023.