PLTU ”Off-grid” Belum Masuk dalam Target-target JETP
Sejumlah target telah ditetapkan bersama dalam Kelompok Kerja Teknis JETP. Namun, itu belum termasuk permodelan dan analisis terkait pembangkit listrik sistem ”off-grid” atau di luar jaringan kelistrikan PLN.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretariat Just Energy Transition Partnership atau JETP resmi membuka draf rencana investasi untuk mendapat masukan dari publik. Kalangan pengamat menilai ada pekerjaan rumah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara optimal, mengingat target penurunan emisi dalam draf tersebut belum menjangkau pembangkit di luar jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau off-grid.
JETP ialah komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS atau hampir Rp 320 triliun, yang berasal dari dana publik negara-negara maju (International Partners Group/IPG), yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, serta dari swasta. Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP semula akan diluncurkan kepada publik 16 Agustus 2023, tetapi mundur.
Pada Rabu (1/11/2023), Sekretariat JETP membuka draf CIPP JETP kepada publik yang dapat diakses melalui laman www.jetp-id.org. Masukan dari publik akan diserahkan sebelum Selasa (14/11/2023) yang akan diolah untuk menjadi landasan finalisasi dokumen CIPP. Menurut rencana, CIPP akan diluncurkan sebelum Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November 2023.
Dalam ringkasan eksekutif (executive summary) draf CIPP JETP disebutkan bahwa sejumlah target telah ditetapkan bersama dalam Kelompok Kerja Teknis JETP. Namun, itu belum termasuk permodelan dan analisis terkait pembangkit listrik sistem off-grid atau di luar jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Alternatif pembangkit captive itu masih dicari.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan IPG bersepakat fokus pada target-target penurunan emisi gas rumah kaca pada sistem on-grid atau dalam jaringan PLN. Namun, disebutkan bahwa Sekretariat JTP akan tetap melaksanakan studi serta menyiapkan peta jalan yang lebih rinci mengenai pembangkit-pembangkit captive atau off-grid di Indonesia.
Dengan fokus pada on-grid, target yang ditetapkan ialah, pertama, puncak emisi yang tak boleh melebihi 250 juta ton CO2 pada 2030 (setelahnya, emisi harus terus menurun). Kedua, porsi energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan nasional sebesar 44 persen pada 2030. Ketiga, emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada sektor ketenagalistrikan pada 2050.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, Kamis (2/11/2023), mengatakan, dari draf CIPP yang telah dibuka kepada publik, pembangkit-pembangkit captive, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara milik industri, memang belum menjadi prioritas. Ada harapan, swasta menggunakan kemampuan sendiri untuk mengupayakan transisi energi.
”Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi lebih lanjut terkait PLTU-PLTU (captive) ini agar selaras dengan peta jalan transisi energi. Ada juga pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang kapasitasnya kecil-kecil, tapi banyak. Dalam CIPP mungkin tak dimasukkan, tapi dalam matriks penilaian jumlah emisi nasional, bagaimanapun semua itu harus masuk,” ujar Daymas.
Ia menambahkan, kapasitas PLTU captive di Indonesia lebih dari 10 gigawatt (GW). Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perlu memikirkan dan menganalisis ini. Termasuk proyeksi supply-demand listrik nasional yang tak boleh lagi keliru.
Ia menilai, dengan tak mencakup pembangkit captive, bisa jadi akan memengaruhi komitmen pendanaan dari negara-negara donor, lewat program-program transisi energi. Namun, lantaran CIPP bersifat living document (dapat diperbarui), diharapkan pendanaan JETP tetap optimal untuk mendukung transisi energi. ”Transparansi juga perlu terus dikedepankan,” katanya.
Menjauhi PerjanjianParis
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, target 44 persen energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan nasional pada 2030 patut diapresiasi. Target itu lebih tinggi dibandingkan dalam pernyataan bersama (joint statement) JETP, pada November 2022, yakni 34 persen energi terbarukan pada bauran ketenagalistrikan 2030.
Namun, target NZE pada sektor ketenagalistrikan pada 2050 belum selaras dengan Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada 2040. Lalu, belum tercakupnya pembangkit listrik fosil captive membuat target puncak emisi total sejatinya jauh lebih tinggi dari yang diproyeksikan saat negosiasi JETP, tahun lalu.
Selain itu, rencana pengakhiran operasionalisasi PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang ada di draf sebelumnya dihapuskan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari IPG. ”Ini sangat disesalkan dan membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement,” ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai emisi puncak sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030 (target pada joint statement), perlu pengakhiran dini PLTU di jaringan listrik PLN sebesar 8,6 GW. Oleh karena itu, ia mendorong adanya dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi pembiayaan campuran (blended finance), dengan skema dana padanan (matching fund).
Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra, melalui siaran pers, Rabu (1/11/2023), menuturkan, dokumen CIPP JETP merupakan living document yang berarti akan terus diperbarui setiap tahun. Itu agar dapat mencerminkan perkembangan ekonomi global dan prioritas pembangunan dalam negeri.
”Kami mengharapkan keterlibatan publik dalam upaya menyempurnakan dokumen ini sehingga dapat mendukung implementasi kemitraan ini dengan baik. Kami mengharapkan masukan sebanyak-banyaknya dari semua unsur lapisan masyarakat. Komitmen JETP ialah menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi,” ujar Edo.