Satria-1 Beroperasi Desember 2023, Satria-2 Mulai Disiapkan
Rencana pengadaan proyek satelit Satria-2 harus dihitung ulang kebutuhannya berdasarkan kapasitas yang ada pada Satria-1 dan pemancar 4G yang terpasang di daerah pelayanan universal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satelit Republik Indonesia atau Satria-1 akan mulai beroperasi penuh pada akhir Desember 2023. Fungsi satelit ini masih sama seperti awal direncanakan, yaitu melayani kebutuhan akses internet instansi layanan publik mulai dari sekolah hingga puskesmas. Sembari Satria-1 bekerja, Pemerintah Indonesia mulai menggagas proyek satelit Satria-2.
Satria-1 diluncurkan dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, pada Minggu (18/6/2023) waktu setempat. Per Selasa (31/10/2023), Satria-1 berhasil memasuki orbit geostasioner dan menempati orbit 146° Bujur Timur. Posisi ini tepat di atas Pulau Papua.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Fadhilah Mathar, Rabu (1/11/2023), di Jakarta mengatakan, sebelum sampai beroperasi penuh pada akhir Desember 2023, Satria-1 harus menjalani tahap integrasi serta pengujian segmen satelit dan ruas bumi. Lalu, Satria-1 perlu menjalani tahapan pengetesan orbit atau in-orbit testing untuk memeriksa performa satelit. Selanjutnya, satelit akan menjalani proses integrasi dengan sistem ground dan uji coba menyeluruh.
Jumlah stasiun bumi untuk Satria-1 mencapai 11 titik lokasi. Sebagai contoh, Batam (Kepulauan Riau), Cikarang (Jawa Barat), Timika (Papua), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Dari sisi Bakti Kemenkominfo, masih ada pekerjaan rumah mempercepat penyediaan perangkat pengendali stasiun bumi (remote terminal ground segment) di lokasi-lokasi layanan publik yang nantinya akan diintegrasikan dengan komponen sistem komunikasi atau space segment Satria-1.
Fadhilah mengklaim, lokasi instansi layanan publik yang akan menerima akses internet dari Satria-1 sudah diterima dan diverifikasi oleh kementerian ataupun pemerintah daerah terkait. Namun, saat dikonfirmasi, dia belum menjelaskan detail lokasi.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penyelesaian dan Optimalisasi Program Penyediaan Infrastruktur Telekomunikasi dan Informasi pada Bakti Kemenkominfo Sarwoto Atmosutarno mengatakan, kelebihan pemanfaatan teknologi satelit telekomunikasi jenis high throughput yang juga dipakai Satria-1 adalah transfer data lebih tinggi. Selain itu, cakupan atau spot beam di lokasi pelayanan relatif fleksibel diatur. Kapasitas data internet per titik lokasi layanan pun dapat ditata.
”Tidak masalah jika ada perubahan titik layanan dalam spot beam berjarak puluhan kilometer. Misalnya, dari lokasi sekolah diubah ke lokasi puskesmas. Stasiun bumi tinggal dipindah,” ujar Sarwoto.
Pembicaraan mengenai Satria-2 sedang berlangsung. (Sarwoto Atmosutarno)
Menurut dia, rencana awal Satria-1 adalah melayani instansi layanan publik, seperti sekolah, puskesmas, dan kantor pemerintah daerah. Rencana ini tidak akan berubah ketika Satria-1 beroperasi penuh. Kapasitas ataupun kecepatan internet di setiap lokasi juga akan disetel fleksibel sesuai kebutuhan.
Pada pertengahan Oktober 2023, Satgas Percepatan Penyelesaian dan Optimalisasi Program Penyediaan Infrastruktur Telekomunikasi dan Informasi pada Bakti Kemenkominfo mengumumkan telah menyetujui pengakhiran lebih awal kontrak hot backup satellite (HBS) dengan Konsorsium Nusantara Jaya. HBS ini mulanya akan dipakai sebagai satelit cadangan bagi Satria-1. Pengakhiran kontrak telah mempertimbangkan urgensi, anggaran negara, kemajuan kontrak, dan risiko operasional Satria-1.
Total nilai proyek HBS sebesar Rp 5,2 triliun. Pembayaran yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia senilai Rp 3,5 triliun ditambah ongkos dan akan dikembalikan ke Konsorsium Nusantara Jaya. Karena slot orbit HBS sebenarnya milik konsorsium, maka tetap akan berfungsi. Pemerintah mengklaim tidak ada kerugian negara karena itu.
Sarwoto menambahkan, Pemerintah Indonesia juga sedang membahas rencana proyek satelit Satria-2. Skema pelaksanaan proyek sama seperti Satria-1, yakni kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Bakti Kemenkominfo akan mewakili pemerintah.
”Sudah masuk greenbook. Proyek satelit ini akan memerlukan waktu 3–4 tahun dari perencanaan sampai meluncur. Pembicaraan mengenai Satria-2 sedang berlangsung,” kata Sarwoto yang juga menjabat Staf Khusus Menkominfo.
Secara terpisah, praktisi hukum dan regulasi telekomunikasi I Ketut Prihadi berpendapat, rencana pengadaan proyek satelit Satria-2 harus dihitung ulang kebutuhannya berdasarkan kapasitas yang ada pada Satria-1 dibandingkan dengan total titik layanan yang berada di wilayah pelayanan universal (USO). Pemerintah juga perlu membandingkan kapasitas layanan telekomunikasi dari pemancar-pemancar 4G yang terpasang di wilayah USO.
”Kalau sudah terpenuhi kebutuhan kapasitas di wilayah USO, proyek Satria-2 seharusnya tidak terpenuhi. Sesuai UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan pelaksanaannya, Bakti memang bukan dan tidak boleh menjadi operator telekomunikasi,” katanya.
Ketut menambahkan, jika Satria-1 jadi beroperasi penuh pada akhir Desember 2023, hal yang perlu diperjelas oleh pemerintah adalah ada tidaknya pembayaran biaya akses layanan telekomunikasi dari Satria-1. Apabila ada pembayaran, pemerintah perlu menegaskan siapa pihak yang berhak menerima pungutan pembayaran itu.