Insentif Pajak Tak Manjur Gaet Investor Manufaktur
Sejak 2008, pemerintah menerbitkan insentif pajak, namun belum efektif menarik investasi di industri manufaktur.
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah instrumen yang disediakan pemerintah untuk menarik penanaman modal di bidang industri manufaktur tak efektif menarik investor. Saat ini, pemerintah tengah mengevaluasinya.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, perlu ada strategi investasi yang lebih jitu untuk mendorong industrialisasi manufaktur di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan sejumlah insentif pajak, tetapi hasilnya belum signifikan.
Kalau negara lain ngasih keistimewaan sekian, kami kasih yang lebih bagus lagi.
”Itu yang sedang kami evaluasi dan cermati, kenapa misalkan untuk beberapa industri ke negara tetangga dibandingkan Indonesia. Apa kelebihan negara itu. Seperti mobil listrik, kita selalu pakai pembanding negara lain. Kalau negara lain ngasih keistimewaan sekian, kami kasih yang lebih bagus lagi,” ujar Febri di Jakarta, Senin (30/10/2023).
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atau tax allowance.
Skemanya berupa insentif pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 tahun, atau masing-masing sebesar 5 persen per tahun. Dengan ini, diharapkan beban Pajak Penghasilan badan yang disetorkan oleh investor dapat lebih ringan.
Ada pula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Fasilitas tax holiday ini diberikan selama 5-15 tahun, bahkan bisa sampai 20 tahun jika mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Baca juga : Industrialisasi Berkelanjutan Berbasis Manufaktur untuk Generasi Indonesia Maju
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, hingga 31 Desember 2022, realisasi investasi yang memperoleh tax holiday untuk industri pionir hanya Rp 153,20 triliun. Nilai tersebut masih jauh dari target yang tertuang dalam PMK Nomor 35 Tahun 2018 dan PMK Nomor 130 Tahun 2020 sebesar Rp 1.639,89 triliun.
Begitu juga dengan realisasi investasi yang mendapatkan tax allowance untuk industri prioritas tertentu baru Rp 4,34 triliun. Nilai tersebut juga masih jauh dari target berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 dan PMK Nomor 96 Tahun 2020 sebesar Rp 58,58 triliun.
Tabrak lari
Ekonom senior sekaligus salah seorang pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, berpendapat, untuk membangkitkan kembali industri manufaktur, Indonesia butuh kebijakan industrialisasi yang komprehensif dengan pemetaan potensi sektoral yang jelas. Sayangnya, Indonesia belum memiliki strategi industrialisasi yang jelas, melainkan kebijakan hilirisasi yang cenderung tabrak lari.
Ia mencontohkan, hilirisasi nikel saat ini masih sebatas mengolah bijih nikel (ore nickel) menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. ”Lalu, itu 90 persen diekspor ke China. Jadi, hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Kita hanya menikmati 10 persennya saja, 90 persennya ke China,” katanya.
Pemerintah telah menyusun peta jalan industrialisasi baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pemerintah telah menyusun peta jalan industrialisasi baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Strategi baru itu akan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang kini sedang disusun Bappenas.
”Ke depan kita harus memberikan fokus pada industri prioritas. Salah satunya, hilirisasi sumber daya alam yang akan kita lanjutkan, tetapi bukan hanya mineral dan tambang, melainkan industri lain seperti perkebunan, seperti sawit dan hilirisasinya, rumput laut, dan kakao,” kata Amalia.
Pemerintah juga telah memetakan potensi industri prioritas yang fokus pada industri dasar, seperti sektor kimia dasar dan baja. ”Ini penting karena suatu negara akan memiliki industri kokoh jika memiliki basic industry yang kuat juga, seperti kimia dasar dan baja yang menjadi suplai penyedia bahan baku bagi industri lainnya,” ujarnya.
Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kiki Verico mengatakan, apabila sektor manufaktur Indonesia semakin berdaya saing dan masuk dalam rantai pasok global, dampaknya akan signifikan terhadap peningkatan produktivitas dalam negeri serta pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Baca juga : Beban Ganda Industrialisasi di RI
Kiki menilai terdapat lima alasan mengapa pertumbuhan industri manufaktur punya potensi dan peluang untuk mengerek Indonesia mencapai status negara maju. Pertama, daya saing manufaktur meningkatkan produktivitas Indonesia karena akan semakin banyak produk dan barang Indonesia yang dijual di pasar global maupun masuk dalam rantai pasok global.
Kedua, peningkatan proporsi manufaktur akan meningkatkan peran aktivitas formal yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara. Setiap tahun sektor manufaktur selalu tercatat sebagai sektor dengan kontribusi terbanyak terhadap penerimaan pajak negara. Kementerian Keuangan mencatat hingga September 2023, kontribusi industri manufaktur terhadap penerimaan pajak tahun ini mencapai 27,3 persen.
Ketiga, semakin kuat daya saing manufaktur makan akan semakin besar surplus neraca transaksi berjalan. Imbas dari hal tersebut adalah semakin besar pula minat investor untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi mereka sehingga dapat berimbas pada peningkatan serapan tenaga kerja yang membuat kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Keempat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir di setiap wilayah. Artinya, semakin naik daya saing manufaktur maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau dominan seperti Jawa dan Sumatera.
Baca juga : Depresiasi Rupiah Mulai Senggol Manufaktur
Kelima, semakin tersedianya lapangan kerja formal seiring dengan peningkatan daya saing sektor manufaktur akan menurunkan tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi di beberapa provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak, termasuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.
"Bila kelimanya berjalan maka konsumsi rumah tangga akan ikut terkerek naik. Pada akhirnya, tujuan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjadikan Indonesia maju bisa diraih," ujar Kiki.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, investasi sektor manufaktur sudah lebih dominan dibandingkan sektor primer (ekstraktif) dan sektor tersier (jasa dan infrastruktur). Hal itu menunjukkan proses industrialisasi berjalan.
Namun, menurut dia, minat investasi manufaktur itu belum merata antara pengusaha asing dan dalam negeri. Investor asing masih mendominasi di sektor manufaktur, sementara investor dalam negeri lebih berminat di sektor infrastruktur dan jasa.
Ia menduga itu karena faktor pembiayaan yang masih terbatas di dalam negeri. "Investor lokal itu hanya 26 persen yang ke manufaktur, ini mungkin karena kredit perbankan kita tidak cair-cair. Kita mau dorong industri, tetapi kalau perbankan dalam negerinya tidak bisa menangkap peluang ini, ya, susah," katanya.