Akomodasi Komitmen Transisi, OJK Tambahkan Warna Kuning di Taksonomi Sektor Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan tengah menggodok Taksonomi Pembangunan Berkelanjutan. Selain kategori merah dan hijau, ditambahkan kuning untuk mengakomodasi komitmen transisi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar (tengah) dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menyampaikan konferensi pers di ASEAN Capital Market Forum 2023 di Padma Resort Legian, Badung, Bali, Selasa (17/10/2023).
BADUNG, KOMPAS — Indonesia menyiapkan panduan aktivitas ekonomi pembangunan yang mendukung perlindungan lingkungan dalam Taksonomi Pembangunan Berkelanjutan Indonesia sebagai revisi Taksonomi Hijau Indonesia. Salah satu kebaruannya adalah menyediakan kategori kuning, selain hijau dan merah, yang berkaitan dengan transisi proyek pembangunan berkelanjutan.
Revisi ini masih digodok Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Taksonomi Pembangunan Berkelanjutan Indonesia akan menyesuaikan taksonomi yang berlaku di ASEAN dan berlandaskan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Dalam pembangunan berkelanjutan itu, faktor-faktor dinilai lebih menyeluruh, baik aspek berkait perubahan iklim atau lingkungan hidup maupun yang berkemajuan dari pembangunan ekonomi dan tujuan sosial.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dalam acara ASEAN Capital Market Forum (ACMF) 2023 di Kabupaten Badung, Bali, Selasa (17/10/2023), mengatakan, dokumen ini menyediakan pendekatan ASEAN yang mendorong aspek pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
”Dalam pembangunan berkelanjutan itu, faktor-faktor dinilai lebih menyeluruh, baik aspek berkait perubahan iklim atau lingkungan hidup maupun yang berkemajuan dari pembangunan ekonomi dan tujuan sosial,” katanya kepada media.
OJK pun, Mahendra melanjutkan, masih melakukan pendalaman dan dialog dengan sejumlah pemangku kepentingan di bidang keuangan dan sektor riil untuk melakukan revisi taksonomi versi kedua ini.
”Taksonomi revisi ini untuk sektor-sektor lain juga yang terkait komitmen Indonesia, apakah transisi di industri, pertanian, forestry and land use. Sektor lainnya akan bertahap, menyesuaikan progres di bidang-bidang itu oleh lembaga kementerian terkait dan kawasan internasional,” katanya.
Penggarapan taksonomi baru ini akan menyesuaikan karakteristik dan kepentingan Indonesia baik yang berkaitan dengan pemenuhan komitmen internasional perubahan iklim Nationally Determined Contribution (NDC) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada kesempatan sama, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menambahkan, taksonomi Indonesia versi kedua ini akan mengikuti versi ASEAN yang menambahkan kategori transisi amber atau kuning.
Dengan demikian, status transisi tidak lagi hanya berwarna merah atau belum bersih atau berkelanjutan atau hijau ketika sudah sepenuhnya melakukan aktivitas usaha yang ramah lingkungan. Kategori kuning menandakan suatu usaha tengah bertransisi dari merah ke hijau. Contohnya adalah sumber energi pabrik yang menggunakan gas atau biomassa.
”Taksonomi ASEAN memberi satu step lagi, bukan hanya merah dan hijau. Namun, ada satu tambahan kuning. Ini untuk pendanaannya,” kata Inarno.
Pengategorian ini, menurut dia, juga membantu agar aktivitas seperti pembangkit listrik bersumber batubara bisa bertransisi secara bertahap. ”Tidak berarti semua coal project harus diterminasi. Namun, kita beri posisi amber, ada energi terbarukan untuk bertransisi. Contoh, yang tanggal 23 Oktober akan kita launch sebagai penjual di bursa karbon ada PLTU di sekitar Jakarta yang pakai energi terbarukan, tadinya coal (batubara) jadi gas,” tuturnya.
Pengategorian usaha ini akan dilakukan konsultan terstandar, seusai panduan yang ditetapkan ASEAN, terhadap perusahaan yang perlu pendanaan untuk melakukan transisi berkelanjutan. ”Perusahaan bisa menetapkan dia berada di mana, progres, target bagaimana, sehingga investor global tahu posisinya terkait kebutuhan dana hijau yang cukup besar. Jadi, itu membuka investor masuk ke dalamnya,” ujarnya.
Keterangan itu juga disampaikan untuk menanggapi aksi protes aktivitis lingkungan terhadap OJK. Akhir September 2023, sekelompok aktivis dalam gerakan bertajuk ”Koalisi Selamatkan Kalimantan Utara” meminta OJK untuk tidak mengizinkan pembiayaan industri hijau yang menggunakan pembangkit listrik bersumber batubara.
Proyek yang dimaksud adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara, yang menerima pembiayaan berorientasi lingkungan. KIHI akan menjadi tempat hilirisasi beragam industri dari smelter aluminium hijau hingga baterai kendaraan listrik.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira dalam keterangannya berharap, OJK yang berwenang mengatur pembiayaan agar lebih bijak dalam merevisi taksonomi. Hal ini agar pedoman yang dibuat dapat menarik investor untuk membiayai kebutuhan transisi energi lebih dari Rp 500 triliun.
”Kami khawatir jika OJK bersikukuh mendorong pembiayaan PLTU batubara atas nama hilirisasi dengan label ’hijau’, banyak lembaga keuangan yang tidak tertarik mendanai energi terbarukan. Lalu, target emisi karbon jelas akan meleset jauh,” ujarnya.