Impor gula konsumsi mau tidak mau harus dilakukan karena produksi gula konsumsi tahun ini diperkirakan turun. Tahun depan, lahan tebu akan dikembangkan di KEK Merauke.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·2 menit baca
–
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mempersilakan pemerintah mengimpor gula konsumsi atau gula mentah untuk diproduksi menjadi gula konsumsi. Namun, impor tersebut harus terukur dengan mengacu pada neraca gula nasional.
Di tengah proyeksi penurunan produksi gula nasional akibat dampak El Nino, pemerintah berupaya mempercepat impor gula konsumsi dan mentah untuk cadangan gula pemerintah. Hal itu mengingat realisasi impor gula yang ditugaskan pada 16 perusahaan masih rendah. Per 5 Oktober 2023, realisasinya baru 249.781 ton atau 24,69 persen dari 1,01 juta ton total kuota impor yang sudah mendapatkan persetujuan impor (PI).
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikun, Sabtu (14/10/2023), berpendapat, impor gula untuk cadangan gula pemerintah (CGP) memang tengah dibutuhkan. Hal itu lantaran produksi gula pada tahun ini diperkirakan turun akibat dampak El Nino sehingga harga gula melambung.
Selain itu, kebutuhan gula pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan diperkirakan bakal meningkat karena ada hari raya Natal dan Tahun Baru. Kondisi itu berpotensi menyebabkan harga gula bisa semakin naik.
”Kalau mau impor gula, oke saja asal impor harus terukur atau sesuai kebutuhan berdasarkan neraca gula nasional,” kata Soemitro ketika dihubungi dari Jakarta.
Kalau mau impor gula, oke saja asal impor harus terukur atau sesuai kebutuhan berdasarkan neraca gula nasional.
Ia menambahkan, musim giling tebu diperkirakan kelar pada akhir Oktober 2023. Jadi, impor gula konsumsi dan mentah yang akan dilakukan menjelang akhir tahun ini tidak akan memengaruhi harga gula petani.
Pada 11 Oktober 2023, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memperkirakan produksi tebu pada 2023 turun menjadi 33 juta-34 juta ton dari 36,5 juta ton pada 2022. Produksi gula juga diproyeksikan turun dari 2,386 juta ton pada 2022 menjadi 2,25 juta ton pada 2023.
Adapun APTRI memperkirakan penuruan produksi tebu bisa sebesar 20 persen, yakni dari 36,5 juta ton pada 2022 menjadi 29,2 juta ton pada 2023. Dengan begitu, produksi gula juga akan turut turun 20 persen dari 2,386 juta ton menjadi 1,908 juta ton (Kompas, 12/10/2023).
Pelaksana Tugas Menteri Pertanian dan juga Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi menjamin impor gula untuk CGP merujuk pada neraca gula nasional. Setidaknya sisa kuota impor gula konsumsi dan mentah yang sudah mendapatkan PI, yakni 762.019 ton, dapat segera terealisasi.
Pemerintah juga sudah menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gula di tingkat petani dari Rp 11.500 per kilogram menjadi Rp 12.500 per kg. Melalui kebijakan itu, petani dapat menikmati harga gula di atas HPP, mulai dari Rp 12.500-Rp 13.500 per kg pada lelang gula di musim giling tebu tahun ini.
”Ke depan, kami tidak akan mengandalkan impor gula konsumsi. Produksi tebu dan gula harus ditingkatkan. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan food estate di Merauke yang akan dijadikan kawasan ekonomi khusus (KEK) padi dan tebu,” kata Arief.
Produksi tebu dan gula harus ditingkatkan. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan food estate di Merauke yang akan dijadikan kawasan ekonomi khusus padi dan tebu.
Pada 10 Oktober 2023, Presiden Joko Widodo meminta Indonesia memiliki KEK pangan. Untuk itu, food estate atau kawasan lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan, akan diubah menjadi KEK padi dan tebu. Dari 2 juta hektar lahan yang tersedia, akan digarap dahulu seluas 200.000 hektar.
Dalam penggarapan proyek itu, pemerintah akan melibatkan perusahaan swasta. Model investasi dan pembiayaannya bisa berskema kemitraan pemerintah-swasta (PPP) atau kerja sama pemeritah dengan badan usaha (KPBU).