Perbankan Siap Dukung Transisi Energi secara Bertahap
Indonesia memerlukan pendanaan Rp 4.000 triliun untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 2030. Korporasi swasta seperti perbankan sangat diharapkan mendukung pembiayaan ini.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendanaan dalam transisi energi untuk mencapai target penurunan emisi menjadi isu krusial. Industri perbankan saat ini memiliki kapasitas untuk mendukung pembiayaan ini. Namun, pendanaan untuk alih sumber energi ini hanya memungkinkan dilakukan bertahap.
Laporan Pembaruan Dua Tahunan (Biennial Update Report/BUR) menyebut, Indonesia memerlukan pendanaan hingga lebih dari Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030, termasuk untuk agenda transisi energi. Nominal itu mencapai dua kali lipat dari pendapatan domestik bruto Indonesia yang sebesar Rp 2.000 triliun di 2022.
Ekonom Senior United Overseas Bank Limited (UOB) Enrico Tanuwidjaja berpendapat angka tersebut hanya bisa diwujudkan dengan kolaborasi antarpihak. Sejak 2021, dunia pun menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, ia tidak memungkiri, program ini dalam beberapa kasus di negara lain berjalan lambat karena rendahnya bantuan anggaran.
”Jadi, apa yang diperlukan? Strategi memang harus transisi, tetapi harus hidup berdampingan sementara dengan energi tidak terbarukan. Misalnya, ketika kita sekarang mulai bangun smelter nikel untuk sumber energi listrik, kita tetap pakai kelistrikan dari sumber yang sudah siap. Sembari itu, kita mulai bangun sumber energi terbarukan,” tuturnya dalam konferensi pers UOB Gateway to ASEAN Conference 2023, di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Direktur Utama UOB Indonesia Hendra Gunawan mengatakan, perbankan juga melihat strategi itu sebagai hal yang relevan bagi mereka untuk menyalurkan pendanaan transisi energi. Menurut dia, tidak bertanggung jawab jika mereka langsung memangkas pendanaan di perusahaan penghasil energi tidak terbarukan yang sudah berjalan dan beralih pada perusahaan ramah lingkungan.
”Kalau kita pangkas langsung, harga bahan bakar naik, siapa yang terdampak? Bukan orang kaya, melainkan orang yang enggak mampu menjangkau energi mahal. Jadi, kita perlu mengatur baseline tertentu agar kita bisa menstablisasi harga. Pada saat yang sama, ketika perusahaan berbasis bahan bakar fosil melakukan ekspansi, kita (perbankan) membantu mereka memperluas ke opsi yang lebih hijau, tanpa memotong apa yang sudah kita punya,” jelasnya kepada beberapa wartawan kemarin.
UOB sebagai perbankan regional berbasis di Singapura mengaku masih terlibat dalam pendanaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Indonesia. Namun, mereka juga telah masif mengembangkan pendanaan ramah lingkungan atau hijau untuk nasabah mereka.
”Kami punya pendanaan untuk memungkinkan konsumer bertransisi dari bisnis berkarbon tinggi. Contoh, perusahaan tambang batubaru kami bantu berinvestasi di area baru yang lebih hijau. Kami bantu perusahaan membangun midstream industri di pemrosesan nikel karena ini materi penting untuk baterai listrik. Kami bantu masyarakat pasang solar sistem, dan sebagainya,” tutur Hendra.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto sepakat, negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak perlu tergesa-gesa dalam mewujudkan komitmen penurunan emisi dan melakukan transisi energi.
Namun, kolaborasi dan komitmen anggaran tetap perlu diwujudkan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain mengandalkan anggaran pendapatan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD), pendanaan swasta juga sangat dibutuhkan.
”Semua target pembangunan tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan pendanaan APBN atau APBD. Sementara kapasitas pendanaan dari pemerintah untuk penurunan emisi hanya 34 persen. Oleh karena itu, perlu juga peran perbankan meskipun hal ini sangat bergantung pada kondisi taksonomi hijau yang harus diatur,” katanya (Kompas.id, 6/10/2023).