Perang Hamas-Israel, Ekonomi Indonesia Diprediksi Bertahan
Dalam jangka pendek, kenaikan harga minyak yang signifikan dibandingkan kenaikan harga batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) bisa berdampak pada potensi peningkatan inflasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang antara Hamas dan Israel berimbas pada kenaikan harga minyak dunia. Faktor peningkatan kebutuhan minyak jelang musim dingin dapat mengerek angka inflasi secara global. Di sisi lain, perekonomian Indonesia diprediksi tetap bertahan dari situasi tersebut.
Perang yang telah berlangsung empat hari hingga mengakibatkan sekitar 1.500 orang meninggal ini, Selasa (10/10/2023), telah menaikkan harga minyak mentah rata-rata sebanyak satu digit. Di pasar minyak mentah Brent, harga minyak naik 3,57 dollar AS per barel atau sebesar 4,2 persen menjadi 88,15 dollar AS per barel. Sebelumnya, Brent menetapkan harga minyak mentah 86,83 dollar AS per barel setelah naik 2,23 dollar AS per barel.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate, Senin (9/10/2023) waktu New York, AS, atau Selasa (10/10/2023) pagi WIB, naik lebih dari 4 persen. Di pasar tersebut, harga minyak naik 4,3 persen, menjadi 86,38 dollar AS per barel. Sebelumnya harga minyak mentah West Texas Intermediate dipatok 85,30 dollar AS per barel setelah naik 2,50 dollar AS per barel (Kompas.id, 10/10/2023).
Pengamat ekonomi Rio Christiawan menganalisis, dalam jangka pendek, kenaikan harga minyak yang signifikan dibanding kenaikan harga komoditas utama lainnya, seperti batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), bisa berdampak pada potensi peningkatan inflasi. Inflasi ini sebelumnya juga sudah berpotensi naik karena efek berkepanjangan fenomena El Nino.
”Maka, antisipasi pengendalian harga ke depan menjadi semakin penting setelah serangan mendadak Hamas terhadap Israel membawa ketidakstabilan baru di Timur Tengah,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Dalam jangka menengah, konflik ini terancam akan melibatkan dua kubu berseberangan Amerika Serikat dan Iran dalam perlindungan terhadap Israel. Iran yang menjadi sumber utama minyak mentah tambahan tahun ini mampu mengurangi pengetatan pasar. Akan tetapi, jika Amerika Serikat memberi sanksi tambahan terhadap Iran, pengiriman minyak mentah berpotensi terbatas.
”Kemudian akan terus terjadi kenaikan (harga minyak) mengingat pasar sangat sensitif terhadap potensi gangguan pasokan,” ujarnya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai, konflik ini tidak akan berpengaruh banyak pada kenaikan harga minyak karena belum dapat dipastikan terkait negara penghasil minyak, seperti Iran. Kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini, menurut dia, juga disebabkan tingginya permintaan negara Barat jelang musim dingin.
”Sekarang harga minyak naik mendekati 90 dollar AS per barel bukan karena perang, melainkan karena mendekati musim dingin. Puncaknya Desember mendatang. Kalau supply tetap, harga akan naik,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Kenaikan harga minyak dunia dipastikan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Kebijakan untuk menaikkan harga sudah terjadi pada triwulan ini sebelum perang di Palestina dan Israel meledak. Awal Oktober ini, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM nonsubsidi di kisaran Rp 700-Rp 1.000 per liter.
Harga pertamax menjadi Rp 14.000 per liter, pertamax green 95 menjadi Rp 16.000 per liter, pertamax turbo menjadi Rp 16.600 per liter, dexlite menjadi Rp 17.200 per liter, dan pertamina dex menjadi Rp 17.900 per liter. Adapun BBM bersubsidi seperti pertalite dan biosolar masih tetap, masing-masing Rp 10.000 per liter dan Rp 6.800 per liter.
”Proporsi BBM nonsubsidi hanya 11 persen. Jadi, tidak akan memengaruhi inflasi dan daya beli. Kalau yang dinaikkan BBM bersubsidi, pasti akan menaikkan inflasi. Tetapi, saya perkirakan Presiden Jokowi tidak akan menaikkan harga karena bisa berisiko bagi situasi sosial dan politik, terutama jelang Pemilu 2024,” tutur Fahmy.
Kendati akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penambahan subsidi BBM akan membantu mencegah kenaikan inflasi. Kenaikan inflasi diketahui dapat diikuti kenaikan suku bunga yang akan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar AS.
Adapun inflasi Indonesia dilaporkan terus menurun sejak Maret 2023. Badan Pusat Statistik mencatat, pada periode September 2023, inflasi periode ada di level 2,28 persen secara tahunan.
Head of Economic and Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, inflasi yang rendah saat ini dipengaruhi permintaan kebutuhan barang dan jasa yang rendah. Meski demikian, perekonomian Indonesia terbilang stabil karena kinerja hilirisasi industri hingga digitalisasi beberapa tahun terakhir. Kondisi ini juga berpengaruh pada nilai tukar rupiah yang terbilang stabil di tengah tren penguatan dollar AS.
”Jadi, karena sektor eksternal kita masih oke, ekonomi domestik yang stabil, seharusnya rupiah juga stabil. Bahkan, kalau kita bandingkan (mata uang asing lain), diferensiasi kita paling kecil,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, kemarin.