Mayoritas konsumen Indonesia kini sangat perhatian terhadap situasi keuangan, termasuk akan mengurangi pengeluaran yang tidak penting.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan biaya hidup sehari-hari membuat konsumen memberi perhatian lebih pada pengeluaran mereka, termasuk menekan pengeluaran wisata. Harga hotel, penerbangan, dan destinasi yang lebih terjangkau diperkirakan menjadi preferensi utama para wisatawan.
”Bagi konsumen sekarang, bepergian (wisata) telah menjadi sesuatu hal yang tidak mudah, bahkan jika dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Sekarang, biaya hidup sehari-hari semakin mahal dan waktu terbatas. Bepergian bagi sejumlah konsumen malah menjadi sesuatu yang mewah,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Pauline Suharno, saat menghadiri Tourism and Creative Economy Outlook Forum, Selasa (10/10/2023), di Jakarta.
Sebagai pelaku industri pariwisata, dia merasa tahun 2023 memiliki banyak tantangan. Kendati pandemi Covid-19 telah usai, industri pariwisata dihadapkan pada aneka tantangan, salah satunya inflasi. Ini menyebabkan ongkos wisata ikut naik.
”Wisatawan yang dulunya mau liburan panjang, sekarang lebih memilih durasi pendek. Pelaku usaha hotel di Indonesia, anggota kami, sudah merasakan tingkat okupansi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Pauline.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah GIPI, pada semester I-2023, tingkat okupansi hotel berbintang di Indonesia hanya mencapai 47,17 persen. Sementara pencapaian tingkat okupansi hotel nonbintang pada periode yang sama adalah sekitar 20 persen.
Menyikapi kondisi seperti itu, lanjut Pauline, GIPI mengajak pelaku industri pariwisata agar tetap optimistis sembari melakukan aneka penyesuaian. Penyesuaian produk akan diarahkan pada produk yang memiliki nilai, seperti produk wisata kebugaran,yang menjadi investasi kesehatan bagi wisatawan. Melalui sejumlah pameran perjalanan, GIPI juga mengedukasi konsumen agar mempersiapkan rencana perjalanan jauh-jauh hari supaya masih bisa memperoleh harga yang terjangkau.
Konsumen agar mempersiapkan rencana perjalanan jauh-jauh hari supaya masih bisa memperoleh harga yang terjangkau. (Pauline Suharno)
Menparekraf/Kepala Baparekraf Sandiaga S Uno menyampaikan, pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diprediksi lebih lemah dengan proyeksi 2,7 persen, sementara pada 2023 diperkirakan 3 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi mencapai 5 persen, tetapi masih sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi India.
Ketidakpastian ekonomi dan harga biaya hidup sehari-hari memengaruhi pengeluaran calon wisatawan. Mengutip buku laporan ”Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2023/2024 (September 2023)”, studi Skift Research pada triwulan III-2023 menunjukkan 21 persen konsumen menekan pengeluaran saat berwisata, termasuk untuk makan dan aktivitas wisata.
Lalu, 19 persen menyatakan akan memilih penerbangan yang lebih murah, 19 persen mengambil harga hotel yang lebih murah, 16 persen akan mengunjungi destinasi yang lebih murah, dan 16 persen transportasi alternatif yang lebih murah.
”Mayoritas konsumen Indonesia kini sangat perhatian terhadap situasi keuangan, termasuk akan mengurangi pengeluaran yang tidak penting. Sementara di China, sentimen konsumen yang tidak ingin bepergian ke luar negeri disebabkan penghasilan dan tingginya harga akomodasi/tiket pesawat,” kata Sandiaga.
Dia juga menekankan pentingnya saling meneguhkan optimisme di tengah tantangan industri pariwisata. Pelaku industri tetap bisa kreatif, mengadopsi teknologi, dan mengembangkan destinasi pariwisata yang unik, seperti desa wisata.
Menurut dia, sesuai data pencarian perjalanan ke Indonesia di mesin pencari masih tumbuh positif. Jumlah pencarian diperkirakan 608 juta pencarian pada 2023. Pencarian tersebut berasal dari konsumen yang tinggal di Australia, Amerika Serikat, dan Malaysia.
Direktur Check In Asia, Gary Bowerman, berpendapat, pemulihan industri pariwisata dari pandemi Covid-19 di Asia Pasifik akan berjalan lambat. Dengan berbagai tantangan yang terjadi sekarang, termasuk suasana geopolitik, ekonomi, dan perubahan iklim, tren industri pariwisata menjasi sulit diprediksi.
”Kita belajar dari kejadian pandemi Covid-19 (yang tidak tertebak). Pola pikir rata-rata wisatawan sampai sekarang masih terbawa nuansa pandemi, yakni kesehatan dan keamanan personal. Warga yang memutuskan tetap bepergian, saya rasa mereka akan mengutamakan pencarian nilai-nilai di destinasi,” ucap Gary. Nilai itu berupa pengalaman yang diperoleh selama berwisata, bisa nilai budaya lokal atau investasi pada kesehatan.