Penetrasi 5G Belum Kunjung Naik, Operator Seluler Desak Penyediaan Frekuensi dan Insentif
Saat ini, biaya regulasi yang harus dibayar oleh operator telekomunikasi seluler dari pendapatan kotor sekitar 13 persen. Biaya ini ini sudah termasuk biaya hak penggunaan frekuensi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak jaringan 5G pertama kali digelar pada Mei 2021, penetrasi ponsel pintar 5G hingga kini masih 5 persen. Tingkat adopsi diperkirakan baru bisa tumbuh di atas 30 persen pada 2027. Pelaku industri telekomunikasi mendorong pemerintah mendukung segera terbentuknya ekosistem layanan berteknologi akses seluler 5G, termasuk ketersediaan lebar pita spektrum frekuensi yang memadai beserta insentif pemakaiannya.
Presiden Direktur & CEO PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) Dian Siswarini, yang ditemui seusai perayaan ulang tahun ke-27 XL Axiata, Senin (9/10/2023), di Jakarta, menyampaikan realitas itu. Menurut dia, minimal lebar pita spektrum frekuensi yang bisa membuat layanan berteknologi akses seluler 5G bisa berjalan optimal yaitu 100 megahertz (MHz).
Jumlah minimal lebar pita ini semestinya dimiliki oleh setiap operator telekomunikasi seluler di Indonesia dan tidak dicampur untuk pemakaian 4G ataupun teknologi dibawahnya.
Oleh karena itu, pemerintah disarankan perlu segera melepas lelang ataupun beauty contest spektrum frekuensi baru. Hanya saja, saat ini di kalangan operator telekomunikasi seluler gencar mengembuskan saran agar pemerintah juga memberikan insentif untuk pemakaian spektrum frekuensi.
Menurut Dian, harga spektrum frekuensi di Indonesia tergolong tinggi. Dibanding negara tetangga, misalnya, dia menilai harga di sana lebih murah dibanding di Indonesia. Tingginya harga spektrum frekuensi akan membuat bisnis layanan telekomunikasi yang memakai teknologi akses seluler baru tidak akan berkelanjutan.
Tender terakhir adalah spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz) dengan lebar pita 5 MHz. Harganya telah mencapai di atas Rp 600 miliar. (Dian Siswarini)
Investasi penggelaran layanan telekomunikasi berteknologi akses seluler 5G butuh biaya besar. Sebab, penggelaran infrastruktur mensyaratkan kabel fiber. Jarak antara menara pemancar satu dan lainnya juga harus dekat sehingga akan butuh banyak menara.
”Tender terakhir adalah spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz) dengan lebar pita 5 MHz. Harganya telah mencapai di atas Rp 600 miliar. Jika mengacu harga itu dan pemerintah mempertahankan formula lama bayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, lalu pemerintah menawarkan lebar 50 MHz untuk kebutuhan 5G, operator berarti harus bayar mahal sekali,” ujar Dian yang juga anggota Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) itu.
Dia mengusulkan kepada pemerintah supaya ada mekanisme cicil bayar BHP spektrum frekuensi.
Anggota ATSI, Rudi Purwanto, yang ditemui dalam acara diskusi ”Sustainability Operator Telekomunikasi Kunci Tangguhnya Ekosistem Digital di Indonesia”, mengatakan, saat ini, biaya regulasi (regulatory charge)yang harus dibayar oleh operator telekomunikasi seluler dari pendapatan kotor sekitar 13 persen. Biaya itu sudah termasuk BHP frekuensi.
Persentase porsi biaya regulasi yang sehat bagi industri telekomunikasi seluler berkisar 5–10 persen dari pendapatan kotor. Dia berpendapat, pemerintah sebenarnya dapat mengganti pendapatan negara bukan pajak (PNBP), termasuk BHP frekuensi, dengan pemerataan jaringan hingga daerah pelosok dan meningkatkan peringkat kecepatan internet di Indonesia yang tertinggal.
Konsultasi publik
Sementara itu, mulai tanggal 3 hingga 16 Oktober 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah membuka konsultasi publik Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio pada Pita Frekuensi Radio 700 MHz dan Pita Frekuensi Radio 26 GHz. Pita frekuensi radio 700 MHz merupakan hasil dari dividen digital yang sebelumnya digunakan oleh televisi analog.
Migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial telah selesai dilakukan sehingga spektrum 700 MHz sudah bisa dipakai untuk penyelenggaraan layanan seluler. Pita frekuensi radio 26 GHz saat ini masih dalam kondisi idle sehingga sudah dapat digunakan untuk layanan seluler.
Pita frekuensi radio 700 MHz memiliki kelebihan dalam memberikan cakupan jangkauan layanan seluler 4G/5G yang lebih luas. Jadi, pita ini sesuai untuk pemerataan akses internet kecepatan tinggi di daerah-daerah rural yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi. Adapun pita frekuensi radio 26 GHz merupakan salah satu pita yang memiliki kapasitas yang sangat besar dan cocok dengan implementasi teknologi 5G yang kecepatan internetnya yang sangat tinggi dan latensi yang sangat rendah.
Rancangan Peraturan Menteri Kominfo itu meliputi sejumlah pengaturan utama yang bisa dipakai landasan lelang ataupun beauty contest pita frekuensi 700 MHz dan 26 GHz. Sebagai contoh, penetapan penggunaan pita frekuensi radio 700 MHz pada rentang 703–748 MHz berpasangan dengan 758–803 MHz dengan moda Frequency Division Duplex (FDD) dan spektrum 26 GHz pada rentang 24,25–25,85 GHz dengan moda Time Division Duplex (TDD) untuk keperluan penyelenggaraan jaringan bergerak seluler. Contoh pengaturan lainnya adalah kebebasan kepada pengguna spektrum frekuensi untuk memilih teknologi.
Direktur Penataan Sumber Daya Kemenkominfo Denny Setiawan mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2023 tentang PNBP yang berlaku pada Kemenkominfo telah diundangkan. Kemenkominfo sedang membahas peraturan turunannya. Lelang spektrum frekuensi untuk kebutuhan 5G sedang disiapkan secepatnya, terutama spektrum frekuensi 700 MHz bersama 26 GHz.
Menurut Denny, Kemenkominfo akan menampung dan mengkaji terlebih dulu usulan ATSI yang kini tengah berkembang. Sebab, bagaimanapun Kemenkominfo juga diberikan target jumlah PNBP.
”Target PNBP jangan sampai tidak terpenuhi, tetapi keberlanjutan bisnis operator telekomunikasi juga penting. Kalau pemerintah memberikan insentif, apakah operator telekomunikasi mau merealisasikan janji-janji pembangunan infrastruktur,” ujarnya.
Direktur PNBP Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo menyampaikan, jumlah PNBP pada Kemenkominfo setiap tahun sekitar Rp 22 triliun. Target PNBP pada Kemenkominfo tahun depan berkisar Rp 22 triliun -Rp 24 triliun. Saat menyusun APBN biasanya pemerintah sudah menghitung peruntukan belanja, selain target pendapatan.
Wawan menjelaskan, secara regulasi, insentif pemerintah yang berupa pembayaran BHP frekuensi dicicil masih memungkinkan. Penggratisan BHP frekuensi bukan tidak mungkin diberlakukan, tetapi pemerintah menekankan bahwa operator telekomunikasi seluler sudah menggunakan spektrum frekuensi sebagai sumber daya terbatas sehingga mereka seharusnya berkontribusi kepada negara.
”Sesuai UUD 1945, sumber daya harus diperuntukkan untuk semua kemakmuran rakyat,” ucapnya.