Ironi Tata Kelola Air di Perkotaan
Minimnya fasilitas pengolahan air baku serta tingginya tingkat kebocoran pipa penyalur air bersih menunjukkan bahwa cara Indonesia mengelola sumber daya air tertinggal puluhan langkah di belakang Singapura.
Di tengah keheningan subuh, satu jam sebelum azan berkumandang, Zulkarnaini (51), warga RW 004, Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, sudah berada dalam kesadaran penuh untuk menampung air yang disuplai Perumda Air Minum Jaya atau PAM Jaya ke dalam sejumlah ember dan bak penampungan air di kamar mandi rumahnya.
Pada Sabtu (7/10/2023) dini hari tersebut, air yang keluar dari aliran pipanya sangat kecil. Sejak dua tahun terakhir, aliran air PAM di rumahnya memang tidak selalu mengalir dengan lancar. Musim kemarau memperburuk situasi ini. Jika dalam beberapa hari beruntun air tidak keluar, ia harus merogoh kocek untuk membeli air bersih sebesar Rp 5.000 per jeriken.
”Saya harus begadang untuk nunggu kapan airnya ada, biasanya malam hari pukul dua belas sampai sebelum subuh, kadang juga tidak ada sama sekali,” ujarnya.
Ada kalanya, dalam sebulan, aliran air PAM Jaya hanya mengalir satu atau dua hari. Namun, meskipun air PAM Jaya kerap mati, warga harus tetap membayar tagihan air. Tagihan itu mulai dari Rp 8.000 hingga Rp 15.000 per bulan.
Kekurangan ketersediaan air bersih atau krisis air di perkotaan, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), masuk kategori bencana.
Kompas mencatat, sejak 8 September 2023, pelanggan PAM Jaya di wilayah barat dan utara Jakarta mengalami krisis air bersih akibat penurunan kualitas air baku di instalasi pengelolaan air (IPA) hutan kota. Salah satu penyebabnya ialah dampak dari kemarau panjang yang melanda Jakarta.
Pakar bioteknologi dari Universitas Indonesia sekaligus Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali, mengatakan, buruknya pengelolaan sumber daya air membuat sejumlah wilayah di Jakarta terus mengalami krisis air bersih.
”Masalah klasik yakni minimnya fasilitas pengolahan air baku serta tingginya tingkat kebocoran pipa penyalur air bersih, membuat krisis air bersih menjadi penyakit menahun di Ibu Kota,” kata Firdaus kepada Kompas, Jumat (6/10/2023).
Sumber air baku Jakarta mayoritas dipasok dari luar Jakarta, yaitu 96 persen dari Waduk Jatiluhur, 6 persen dari kali di Jakarta, dan 12 persen dari Tirta Kerta Raharja Tangerang. Indonesian Water Institute mencatat, kebutuhan air 14 juta warga yang beraktivitas di Jakarta pada 2022 sebesar 29.098 liter per detik, dengan pasokan yang hanya 20.082 liter per detik.
Kebocoran air
Firdaus menambahkan, lebarnya kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan air di Jakarta diperburuk dengan tingginya tingkat kehilangan air atau non-revenue water (NRW) akibat kebocoran pipa ataupun tindakan ilegal. ”Jadi, ada dua jenis kebocoran, yakni secara teknis dan administratif,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian PUPR, rata-rata tingkat kehilangan air di Indonesia pada 2022 mencapai 40 persen. Di Jakarta sendiri, tingkat NRW mencapai 46,67 persen. Angka tersebut masih cukup jauh dari ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2006. Aturan tersebut menyebutkan, batas maksimal kebocoran air bersih untuk perusahaan air minum adalah 20 persen.
”Kalau kebocoran teknis itu seperti pipa pecah di bawah tanah, lebih karena engine factor. Pipanya sudah tua di bawah tanah, tetapi tidak diganti. Tapi, kalau seluruh 46 persen benar-benar bocor teknis, tanah Jakarta pasti sudah amblas dan tenggelam,” ujarnya.
Menurut Firdaus, kebocoran administratif bisa disebabkan beberapa faktor, seperti kesalahan pembacaan meteran, meteran air berjalan lambat atau rusak, dan sambungan ilegal jaringan air yang biasanya berakhir sebagai kasus hukum di pengadilan. Pelakunya bisa berasal dari perorangan hingga korporasi besar.
Hasil penelusuran di laman Mahkamah Agung, modus sambungan ilegal yang terjadi di Jakarta cukup bervariasi. Dari cara sederhana, yakni memotong jaringan pipa PAM dan memasangnya dengan pipa-pipa kecil yang dialirkan sampai ke rumah warga hingga ada yang menyalurkannya ke pabrik air, mal, dan apartemen.
”Potensi uang yang hilang setiap harinya akibat kebocoran air di Jakarta. Kalau dihitung berdasarkan tarif harga air terbawah, yakni Rp 1.050 per meter kubik, bisa mencapai Rp 6,8 miliar,” kata Firdaus.
Kondisi Singapura
Jika dibandingkan dengan kondisi Jakarta yang masih bisa mengandalkan debit air di Waduk Jatiluhur sebagai sumber air baku, Singapura hampir tidak memiliki sumber air alami. Kendati begitu, negara kota ini dapat memenuhi kebutuhan pasokan air sebesar 18.831 liter per detik untuk 5,45 juta warganya.
Melansir dari situs resmi pemerintahan, Singapore’s National Water Agency, terdapat empat sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga Singapura. Hampir 40 persen air itu diimpor dari Malaysia. Sisanya didapat dari pengelolaan air hujan di 17 reservoir, NEWater atau pengolahan air limbah, dan desalinasi air laut.
Pemerintah Singapura mengimpor air baku dari Sungai Johor, Malaysia. Impor air baku dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemerintah Kota Johor dan Singapura. PKS pertama telah berjalan tahun 1962 hingga 2011, kemudian kerja sama dilanjutkan dengan PKS kedua yang berlangsung tahun 2011 hingga 2061.
Langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan air adalah membuat area tangkapan air. Air hujan dikumpulkan dan disimpan dalam sebuah waduk besar (drain) seluas 7.000 meter persegi. Lalu drain ini akan mengalirkan air hujan ke 17 reservoir di sekitar Singapura.
Dua per tiga lahan Singapura digunakan sebagai lokasi penyimpanan air. Area ini dilindungi dari alih fungsi dan penggunaan lahan lainnya dengan tujuan untuk menangkap setiap tetes air hujan di Singapura. Melalui drainase permukaan, sungai, dan reservoir, air hujan kemudian masuk ke instalasi pengolahan untuk diolah menjadi air bersih.
Selain mengimpor dan mengandalkan air hujan, sebanyak 10 persen kebutuhan air bersih Singapura diperoleh dari penyulingan air laut atau desalinasi dan sebanyak 30 persen sisanya memanfaatkan pengolahan air limbah menjadi air bersih atau disebut NEWater.
Mengolah limbah
NEWater memanfaatkan pemisahan saluran drainase air hujan dan air limbah. Saluran air limbah itu bermuara ke tiga prabik pengolahan air limbah nasional, yaitu Kranji, Bedok, dan Changi. Selanjutnya limbah tersebut difiltrasi sebagai tahap pertama proses daur ulang air.
Penyaringan dilakukan menggunakan teknologi microfiltration (MF), yaitu menyalurkan air melalui lapisan khusus sehingga partikel padat dan protozoa dapat tersaring. Hasil dari filtrasi ini merupakan air yang hanya mengandung larutan garam dan molekul organik.
Tahapan selanjutnya, air mengalami proses filtrasi reverse osmosis (RO). Berbeda dengan proses filtrasi, pada tahap RO digunakan membran berpori sangat kecil sehingga hanya dapat dilalui oleh partikel air. Zat-zat seperti bakteri, virus, logam berat, sulfat, nitrat, klorida, dan hidrokarbon tersuspensi di membran ini.
Di tahap akhir, air murni tersebut kemudian didesinfeksi dengan sinar ultraviolet (UV) untuk memastikan telah melampui kualitas yang ditetapkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan sedikit penambahan unsur alkali untuk mengembalikan keseimbangan pH, NEWater pun siap untuk disalurkan kepada konsumen.
Air nonsubsidi
Pemerintah Singapura tidak memberikan subsidi kepada warganya untuk mendapatkan akses air bersih. Pihak perorangan, industri, dan bangunan komersial tetap harus membayar air yang dipakai dengan harga yang sama.
Berdasarkan situs resmi Singapore Water Agency, harga air yang harus dibayarkan penduduk Singapura di tahun 2023 adalah 2,74 dollar Singapura (Rp 31.443) per meter kubik, sudah termasuk pajak. Harga ini akan meningkat menjadi 3,69 dollar Singapura (Rp 42.345) per meter kubik jika penggunaan air bulanan melebihi 40 meter kubik.
Harga tersebut jauh lebih tinggi daripada tarif air bersih yang diberlakukan operator air bersih di Jakarta. Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 91 Tahun 2017 tentang tarif air minum, harga tarif air bersih di Jakarta Rp 1.050 per meter kubik untuk permukiman penduduk dan di rentang Rp 3.500 hingga Rp 12.000 per meter kubik untuk daerah industri dan bangunan komersial.
Menurut Firdaus, kebijakan Singapura tersebut cukup ekstrem apabila melihat banyak negara-negara lain yang menerapkan subsidi bagi warganya untuk mendapatkan air bersih. Namun, cara Pemerintah Singapura mengelola air bersih siap minum di tengah keterbatasan sumber air baku memang memerlukan teknologi dan biaya tinggi untuk mengumpulkan sumber air baku.
Firdaus merasa wajar jika Singapura sejak awal memutar otak mencari cara untuk mengumpulkan air bersih mengingat kapasitas air alami negara itu hanya 139 meter kubik per kapita per tahun. Kapasitas ini jauh di bawah Indonesia yang mencapai 12.749 meter kubik per kapita per tahun.
Hal yang menjadi ironi, menurut Firdaus, adalah level keamanan sumber daya air (water security level) Indonesia berada di bawah, yakni urutan 100 negara di dunia. Ini berbeda dengan Singapura yang tercarat ada di jajaran lima besar negara dengan tingkat keamanan sumber daya air terbaik di dunia.
”Apa yang dilakukan Singapura bisa kita lakukan. Kita terlambat membangun itu. Makanya, kita itu ibarat negara dengan curah hujan tinggi, tetapi kita mati kehausan di tengah kolam renang mewah, atau ibarat anak ayam mati di lumbung padi,” kata Firdaus.