Imbal Hasil Obligasi AS ”Terbang”, Minat Investor Membeli SUN Turun
Minat terhadap surat utang negara Indonesia turun karena imbal hasil obligasi di Amerika Serikat mencatatkan rekor kenaikan tertinggi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi Pemerintah Amerika Serikat dalam menaikkan suku bunga relatif cepat berdampak pada imbal hasil obligasi berjangka di pasar mereka. Kebijakan ini secara tidak langsung berdampak pada menurunnya minat investasi pada surat utang negara Indonesia.
Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic, dikutip dari Reuters, Rabu (4/10/2023), mengakui bahwa kenaikan suku bunga pasar yang relatif cepat baru-baru ini berdampak pada obligasi berjangka Amerika Serikat. Imbal hasil obligasi berjangka 10 tahun menyentuh titik tertinggi setidaknya tahun ini di posisi 4,8 persen pada Selasa (3/10/2023).
Tren kenaikan ini juga terlihat ketika The Fed menaikkan suku bunga sebesar seperempat poin pada Juli lalu menjadi 5,25-5,5 persen. Kebijakan ini mengakibatkan lonjakan pada imbal hasil obligasi berjangka 10 tahun dan obligasi 30 tahun sekitar 1 poin terhadap tingkat suku bunga acuan mereka.
Angka ini tertinggi sejak krisis keuangan 2007-2009. Kenaikan sendiri terbentuk sejak akhir 2021 atas sentimen pasar terhadap ekonomi AS pascakrisis awal pandemi Covid-19.
Melihat kondisi ini, Bostic justru tidak mendukung kenaikan suku bunga lebih lanjut. Hal ini agar AS punya waktu untuk menyesuaikan dampak kebijakan pada perekonomian mereka yang masih dibayangi inflasi di atas 3 persen. Bagaimanapun, investor tetap bergairah untuk menaruh uangnya pada produk obligasi AS.
Indikasi ini pun dibaca oleh analis ekuitas PT Indo Premier Sekuritas, Dimas Krisna Ramadhani, dalam keterangan tertulisnya. ”Prospek suku bunga di Amerika Serikat yang masih akan tinggi dalam jangka panjang membuat aliran dana asing keluar atau capital outflow di pasar uang dan pasar saham Indonesia,” ujarnya.
Analisis Samuel Sekuritas Indonesia, hari ini, juga menangkap kepercayaan diri investor pasar global terkait kebijakan ekonomi di AS terhadap suku bunga yang berdampak pada obligasi berjangka. ”Ekonomi AS tidak akan mengalami resesi di semester kedua 2023 dan semester pertama 2024 sebagaimana direfleksikan tren kenaikan imbal hasil obligasi berjangka 10 tahun AS,” tulis mereka.
Terbangnya imbal hasil obligasi di AS menyebabkan penerimaan atas penawaran produk obligasi SUN pekan ini turun. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan penawaran pada Selasa senilai Rp 22,42 triliun, turun dari dua pekan lalu yang mencapai Rp 28,79 triliun.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, penurunan tersebut didorong oleh sikap wait and see investor atas sikap hawkish para pejabat The Fed yang diyakini masih akan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) pada tahun ini dan akan menahan tingkat suku bunganya tetap tinggi dalam jangka waktu yang lama.
”Meskipun demikian, hasil ini masih 1,2 kali lebih tinggi dari target indikatif,” ujar Deni. Pemerintah juga dinilai optimistis karena data inflasi domestik di September berada pada level 2,28 persen secara tahunan. ”Ini menunjukkan kondisi perekonomian domestik yang cukup solid,” ujarnya.
Melihat tren kebijakan ekonomi AS, perusahaan manajemen aset seperti Allianz Global Investors (Allianz GI) Indonesia juga menilai investor di Indonesia masih percaya diri untuk berinvestasi di pasar AS. Hal ini membuat perusahaan itu tidak ragu mengeluarkan produk Reksa Dana Syariah Allianz High Dividend Global Sharia Equity Dollar.
Hal ini disampaikan Eriko Se, Head of Retail Allianz GI Indonesia, dalam acara peluncuran produk reksa dana syariah perdana mereka di Jakarta. Produk itu menawarkan investasi dalam mata uang dollar yang minimal 80 persen akan ditempatkan di efek syariah yang terdaftar di Dow Jones Islamic World Index. Saat ini, mayoritas investasi akan dialokasikan di pasar AS.
”Kalau kita lihat dari suku bunga tinggi, sudah mencapai puncak, dan ada dibilang The Fed akan stay longer ke depan. Namun, kita lihat ekspektasi negatif Amerika masuk dalam hard landing recession kelihatannya enggak akan lari ke sana karena tingkat pengangguran masih rendah dan konsumsi masih cukup tinggi,” ujarnya.
Meski demikian, sebagaimana strategi manajemen yang ditawarkan produk reksa dana mereka, Eriko mengatakan, investasi di pasar global akan lebih aman jika ada diversifikasi, tidak hanya fokus pada sektor bisnis tertentu, regional, bahkan negara tertentu.
”Dalam suasana ketidakpastian ekonomi global, produk dividen yang terdiversifikasi ke market global dapat membantu mengatasi kondisi pasar saat ini, seperti tingkat inflasi tinggi, lalu era kenaikan suku bunga, dan memburuknya ekonomi serta kondisi keuangan yang lebih ketat,” tuturnya.