Berawal dari cuitan yang berisi unggahan foto PLTS terapung di Cirata di Twitter, sejumlah warganet membandingkan pembangkit energi surya dan pembangkit energi nuklir. Termasuk pro-kontra pengembangan PLTN di Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Perbincangan transisi energi bukan hanya monopoli kelompok tertentu di ruang-ruang akademik, seminar, serta kebijakan tingkat nasional dan daerah. Isu energi nonfosil telah menjadi perbincangan warganet di media sosial. Salah satunya tentang perdebatan pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik tenaga nuklir di Twitter.
Ini berawal dari cuitan oleh akun @andrearrasuli di X per 27 September 2023. Akun ini mengunggah foto-foto pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. Sejumlah foto yang diambil menggunakan drone itu menarik perhatian warganet karena menampilkan deretan panel surya yang mengapung di Waduk Cirata.
PLTS terapung milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang berkolaborasi dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar, itu menempati area seluas 200 hektar dan berkapasitas 145 megawatt-peak (MWp). PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara itu menurut rencana diresmikan pada akhir Oktober 2023.
Hingga Selasa (3/10/2023) pukul 10.40, cuitan @andrearrasuli itu telah dilihat sebanyak 7,1 juta kali. Selain itu, sudah ada 26.200 like, 5.935 repost, 1.563 bookmark, dan 507 komentar. Sebagian besar warganet yang berkomentar mengapresiasi unggahan foto-foto PLTS terapung Cirata itu.
Namun, ada pula komentar yang sifatnya membandingkan. Salah satunya datang dari akun @gara_nam, ”Kalo pake nuklir gak perlu lahan segede ini untuk menghasilkan kapasitas listrik yang sama.” Komentar yang telah dilihat sebanyak 2,7 juta kali serta mengundang 8.704 like dan 1.408 komentar itu kemudian membetot warganet lain untuk turut serta berkomentar.
”Lapak” itu lalu menjadi ruang berkomentar, utamanya pro-kontra pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk menjawab kebutuhan energi di masa mendatang. Ada pula yang menilai bahwa membandingkan PLTN dan PLTS tidak apple to apple. Selain itu, ada yang menyinggung vegetasi di dalam air tak mendapat sinar matahari karena terhalang PLTS.
Jenis energi
Mengenai PLTN, beberapa komentar menyebut, meski tidak memerlukan lahan besar dan listrik yang dihasilkan andal, pengembangannya penuh risiko. Standar keamanan agar tak ada kebocoran amatlah tinggi. Sementara itu, warganet lain menilai ketersediaan energi di masa depan sangat penting dan itu dapat dipastikan dengan keberadaan PLTN.
Lantas, bagaimana posisi PLTS dan PLTN dalam pengembangan energi di Indonesia saat ini? Berdasarkan jenisnya, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), energi surya tergolong sebagai energi terbarukan. Sementara nuklir tergolong energi baru. Pemanfaatan energi nuklir juga dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.
Sementara itu, dari segi kebutuhan lahan, pengembangan PLTS membutuhkan area yang luas untuk pemasangan panel surya. Oleh karena itu, salah satu alternatif dari keterbatasan itu ialah memanfaatkan perairan, seperti yang dikembangkan PLN di Waduk Cirata. Sementara PLTN relatif tidak memerlukan area seperti halnya PLTS.
Dari karakteristiknya, PLTN dapat menjadi pemikul beban dasar (baseload) yang berarti andal selama 24 jam, apa pun kondisi cuacanya. Sementara PLTS ialah energi terbarukan variabel yang cenderung intermiten (bergantung pada cuaca) sehingga akan dibutuhkan teknologi tambahan, seperti sistem penyimpanan energi baterai.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, dihubungi pada Minggu (1/10/2023), menuturkan, seiring perkembangan transisi energi, PLTN dapat menjadi solusi penyediaan energi bersih ke depan. Namun, untuk mengembangkan itu, diperlukan perbaikan regulasi.
”Selain itu, komunikasi kepada publik perlu diperhatikan guna meningkatkan penerimaan masyarakat. Sebab, banyak yang belum memahami ini. Namun, ke depan, ini menjadi keniscayaan Indonesia dapat menggunakan PLTN sebagai diversifikasi energi,” kata Fahmy. Ia juga menyebut pengembangan teknologi baterai penting dalam energi surya.
Pemerintah dan DPR sebelumnya sepakat memasukkan nuklir dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang kini masih dibahas. Nuklir akan dimasukkan sebagai energi baru dalam RUU inisiatif DPR tersebut.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi, di Jakarta, Senin (2/10/2023), menuturkan, nuklir masih dalam pembahasan Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU EBET oleh pemerintah dan DPR. Pasal-pasal terkait nuklir sebagai energi baru disiapkan.
Adapun pembentukan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) yang sebelumnya dicanangkan masih disiapkan pemerintah. ”Tapi, nanti akan kami lihat. Kan, ada konsultasi juga. Apakah itu bentuk tersendiri, yang mungkin akan menambah ordinasi. Tapi, menurut kami, sesuai saran dari kiri-kanan, mungkin tak menambah ordinasi baru. Tetapi, fungsinya yang ada,” ujar Yudo.
Regulasi yang ada masih menempatkan nuklir sebagai pilihan terakhir.
Ketua Masyarakat Energi Baru Nuklir Indonesia (MEBNI) Arnold Soetrisnanto, dalam diskusi yang digelar Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), secara hibrida, Jumat (29/9/2023), menuturkan, regulasi yang ada masih menempatkan nuklir sebagai pilihan terakhir.
”Hanya di PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN. Setelah itu enggak ada lagi (aturan), baik di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional), RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional), apalagi RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Namun, ke depan diharapkan (aturan tentang nuklir) ini akan bunyi,” ujar Arnold.
Arnold menambahkan, teknologi nuklir sejatinya sudah terbukti karena telah menyediakan 10 persen dari listrik dunia. Negara-negara maju pun sudah memiliki PLTN. India, misalnya, memiliki 22 unit PLTN dan China 54 unit. Bangladesh juga termasuk negara baru yang mengembangkannya. Sementara Indonesia belum ada. "Ke depan, kita mesti lebih maju."
Sebelumnya, pakar energi yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari pemangku kkepentingan, Herman Darnel Ibrahim, dalam pendapat pribadinya pada diskusi oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Rabu (29/3/2023), mengatakan, PLTN butuh pembiayaan besar. Dari risetnya di Eropa, biaya investasi PLTN bisa mencapai 10 miliar dollar AS per 1.000 megawatt (MW).
Hal itu, menurut dia, termasuk dengan potensi penundaan konstruksi enam tahun. Dalam membangun PLTN, umumnya semua berjalan ketat serta akan selalu ada tahapan untuk ditinjau ulang dan disetujui sehingga investasinya mahal.
T eknologi nuklir sejatinya sudah terbukti karena telah menyediakan 10 persen dari listrik dunia.
Apabila upaya masif melalui solusi teknologi yang ekonomis belum berhasil dalam mengejar target emisi nol bersih (NZE), baru bisa menggunakan PLTN. ”PLTN akan jadi kuda hitam jika nanti harga listrik PLTN terbukti bisa lebih murah. PLTN dapat dikembangkan hanya kalau dapat diyakini LCOE (harga listrik yang diratakan)-nya bisa lebih rendah,” katanya.
Herman menambahkan, dalam membangun PLTN juga akan dibutuhkan komisi tenaga nuklir yang independen, seperti dari konsumen dan unsur yang berpengalaman di ketenagalistrikan. Artinya, berbagai unsur ada dalam komisi untuk membuat keputusan atas kajian-kajian yang dilakukan.
Hangatnya diskusi mengenai energi rendah karbon guna memenuhi kebutuhan energi di masa depan menjadi sinyal positif karena masyarakat terlibat aktif dalam pengembangannya. Pro-kontra akan selalu ada. Terpenting, segala masukan mesti jadi pertimbangan dan transparansi mesti dikedepankan. Seperti jargon yang belakangan mengemuka, ”tak boleh ada yang tertinggal dalam transisi energi”.