Sektor Energi Bersiap Ramaikan Bursa Karbon Nasional
Peluang keikutsertaan perusahaan-perusahaan energi dalam bursa karbon cukup besar. Pasalnya, perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi perlu penyeimbangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana di rig Pertamina di Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, bagian dari Wilayah Kerja Rokan (Blok Rokan), Senin (8/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Sektor energi, sebagai salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, diyakini bakal memanfaatkan bursa karbon nasional, oleh Bursa Efek Indonesia, yang resmi diluncurkan Selasa (26/9/2023). Di sisi lain, sosialisasi perlu dimasifkan oleh semua sektor agar ekosistem perdagangan karbon bisa segera terbangun.
Selepas peluncuran oleh Presiden Joko Widodo, Selasa, Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan, 459.953 ton unit karbon (CO2) senilai Rp 29,2 miliar diperdagangkan dari satu-satunya penjual, yaitu Pertamina New and Renewable Energy (PNRE). Sejumlah bank tercatat sebagai pembeli pertama unit karbon tersebut.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, dihubungi di Jakarta, Kamis (28/9/2023), mengatakan, peluang keikutsertaan perusahaan-perusahaan energi dalam bursa karbon cukup besar. Pasalnya, perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi perlu menyeimbangkannya.
”Keseimbangan akan dibutuhkan (oleh perusahaan penyumbang emisi). Yang akan membeli (unit karbon) tentu sektor-sektor yang menghasilkan emisi. Seperti tujuan perdagangan karbon, hasilnya akan diinvestasikan kembali ke proyek-proyek pengurangan emisi karbon,” ujar Daymas.
Ia mencontohkan industri minyak dan gas bumi (migas) yang berkontribusi pada pelepasan emisi gas rumah kaca. Namun, di sisi lain, migas masih dibutuhkan untuk ketahanan energi sehingga tak bisa dihapus seketika. Oleh karena itu, upaya-upaya perimbangan emisi diperlukan, baik melalui perdagangan karbon maupun lewat teknologi.
Setelah bursa karbon diluncurkan, berikutnya akan lebih banyak perhitungan mengenai seberapa besar emisi yang dihasilkan di setiap sektor. ”Kemudian, nanti akan beriringan dengan pajak karbon. Ini akan menciptakan ekosistem di Indonesia, untuk mengukur dan mengurangi emisi karbon yang sudah ada,” ujar Daymas.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2019, realisasi penurunan emisi sektor energi sebesar 54,8 juta ton dari target 51 juta ton. Setelah itu, realisasi penurunan emisi terus meningkat, hingga pada 2022 mencapai 91,5 juta ton dari target yang 91 juta ton.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dalam peluncuran bursa karbon, Kamis, menuturkan, berdasarkan data Kementerian ESDM dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), ada 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara yang berpotensi ikut perdagangan karbon.
”Jumlah tersebut setara dengan 86 persen dari seluruh PLTU berbasis batubara yang beroperasi di Indonesia. Harapan kami, PLTU mulai bertransaksi melalui bursa karbon, tahun ini juga. Selain itu, juga akan diramaikan oleh sektor kehutanan, pertanian, limbah, migas, industri umum, dan yang akan menyusul, yakni sektor kelautan,” katanya.
Sebelumnya, sebanyak 99 PLTU dari 42 perusahaan, dengan kapasitas total 33,6 gigawatt (GW), memulai perdagangan karbon, yang diluncurkan di Kementerian ESDM, Rabu (22/2/2023). Dari 99 PLTU, ada 500.000 ton CO2 ekuivalen (CO2e) emisi yang akan diperdagangkan di antara mereka pada 2023.
Pelaksanaan itu mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional. Lalu, Peraturan Menteri ESDM No 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Listrik.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu, saat ditanya mengenai kemajuan dan kesiapan PLTU-PLTU untuk mengikuti bursa karbon nasional, hingga Kamis (28/9/2023) malam, belum merespons. Pesan singkat Kompas tertanda dibaca.
Sebelumnya, di Kementerian ESDM, pada Jumat (28/7/2023), ketika ditanya mengenai evaluasi perdagangan karbon antar-PLTU, Jisman menuturkan, ”Itu masih voluntary, ya. Belum ada evaluasi, kami masih konsolidasi data,” katanya.
KOMPAS/RHAMA PUTRA JATI
Ilustrasi Penambangan Batubara
Batubara
Sementara itu, dari sektor pertambangan, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyambut positif diluncurkannya bursa karbon nasional. Pihaknya masih menghimpun data perusahaan anggota Aspebindo yang hendak berpartisipasi dalam perdagangan karbon oleh BEI itu.
”Setahu saya belum ada yang sampai trading. Namun, kan, sebelumnya memang sudah ada peta jalan dan sekarang baru ada bursa karbonnya. Ke depan, saya pikir akan ada implementasi (partisipasi) lewat ini,” ujarnya.
Kendati menyambut positif bursa karbon, pihaknya juga menanti sosialisasi rinci dari pemerintah. ”Ini sudah menjadi komitmen kami, tetapi harapan kami ada pendekatan kepada para pelaku usaha. Juga mungkin ada semacam insentif kepada para pelaku usaha yang melakukan ini,” kata Anggawira.
Para pelaku usaha pertambangan, ujar Anggawira, selama ini berkomitmen dalam menerapkan konsep lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, governance/ESG) dengan cara masing-masing. Dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pun sudah ada koridor dalam pengembalian daya dukung lingkungan.
Daymas mengemukakan, sosialisasi mengenai perdagangan karbon memang menjadi kunci sekaligus pekerjaan terberat mengingat hal itu masih baru di Indonesia. Oleh karena itu, sosialisasi, baik kepada perusahaan, di berbagai sektor, maupun publik secara umum mesti terus dimasifkan.