Ekspor Melandai, Ekonomi RI Kembali Bertumpu pada Permintaan Domestik
ADB memperkirakan ekonomi RI tahun ini akan tumbuh kuat dengan tingkat inflasi sesuai target Bank Indonesia dan pemerintah. Namun, masih ada risiko yang perlu dikelola, yakni penurunan ekspor dan kenaikan harga pangan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Kapal tunda dan kapal pandu membantu kapal pengangkut peti kemas meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, seusai bongkar muat peti kemas, Kamis (20/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Normalisasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia tengah terjadi. Setelah ekspor melandai, ekonomi Indonesia kembali bertumpu pada permintaan domestik atau konsumsi rumah tangga. Pengendalian inflasi akibat kenaikan harga pangan dan bahan baku impor jadi tantangan.
Sejumlah poin itu mengemuka dalam webinar ”Asian Development Outlook September 2023” yang digelar Bank Pembangunan Asia (ADB), Rabu (27/9/2023). Dalam acara itu, ADB merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi Indonesia pada 2023 dan 2024.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi RI pada 2023 dinaikkan menjadi 5 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,8 persen. Adapun proyeksi inflasi RI pada 2023 diturunkan menjadi 3,6 persen dari 4,2 persen. Pada 2024, pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi RI diperkirakan masing-masing 5 persen dan 3 persen.
Senior Country Economist ADB Henry Ma menjelaskan, Indonesia tengah mengalami normalisasi pertumbuhan ekonomi. Peran ekspor yang selama pandemi Covid-19 menjadi penopang pertumbuhan mulai melandai. Hal itu seiring dengan tren penurunan harga komoditas global dan perlambatan ekonomi negara dan kawasan tujuan utama ekspor RI, seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Kendati begitu, ekonomi Indonesia tetap akan tumbuh kuat pada 2023 dan 2024 karena ditopang peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik mulai kembali ke masa sebelum pandemi dan akan mengambil alih peran ekspor. Belanja atau konsumsi masyarakat terus meningkat dan terdistribusi rata ke permintaan barang dan jasa.
Permintaan domestik mulai kembali ke masa sebelum pandemi dan akan mengambil alih peran ekspor.
Inflasi, lanjut Henry, juga diperkirakan berada di rentang target Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, yakni 2-4 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga relatif stabil meskipun saat ini berada di Rp 15.000. Meskipun begitu, RI tetap perlu mencermati kenaikan harga pangan di dalam negeri akibat dampak El Nino.
Selain itu, RI juga perlu berhati-hati dengan perlambatan pertumbuhan ekspor karena surplus neraca perdagangan semakin mengecil dan diperkirakan akan mengalami defisit kecil juga di bulan-bulan tertentu. Hal itu juga akan menyebabkan neraca transaksi berjalan RI kembali defisit.
”Ini bukan hal yang buruk karena ke depan permintaan domestik akan kembali mengambil alih peran ekspor,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan RI pada Agustus 2023 surplus 3,12 miliar dollar AS. Meskipun telah membukukan surplus selama 40 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, surplus itu kian mengecil. Per Agustus 2023, surplus neraca perdagangan itu turun 2,65 persen secara tahunan kendati meningkat 1,83 persen secara bulanan.
Sementara itu, BI mencatat, neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2023 defisit 1,9 miliar dollar AS atau sebesar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan I-2023, neraca transaksi berjalan tersebut masih surplus sebesar 3 miliar dollar AS atau 0,9 persen dari PDB.
Neraca transaksi berjalan itu mulai berbalik arah ke defisit sejak membukukan surplus pada 2021 dan 2022. Total surplus neraca transaksi berjalan pada 2021 sebesar 3,51 miliar dollar AS dan pada 2022 sebesar 12,67 miliar dollar AS.
Ekonom Senior PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dian Ayu Yustina juga berpendapat senada. Risiko global, terutama perlambatan ekonomi China dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), masih berpengaruh terhadap ekspor dan aliran modal keluar dari Indonesia.
Saat ini, neraca perdagangan RI memang masih surplus. Namun, seiring dengan peningkatan permintaan domestik, impor juga akan meningkat sehingga berpotensi menyebabkan defisit neraca perdagangan.
”Neraca transaksi berjalan Indonesia juga sudah mulai berbalik arah dari surplus menjadi defisit pada triwulan II-2023,” kata Dian.
Kendalikan inflasi
Selain itu, Dian juga menyebutkan, tren belanja masyarakat terus naik. Indeks frekuensi belanja pada awal September 2023 sebesar 386,8 dan indeks nilai belanja 164,9. Indeks frekuensi dan nilai belanja itu meningkat dari Juli 2023 yang masing-masing sebesar 360 dan 163,5.
Belanja kelompok bawah justru lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok menengah dan atas. Indeks belanja kelompok masyarakat kelas bawah sebesar 246,9, kelas menengah 148,9, dan kelas atas 116,9.
Berbarengan dengan itu, inflasi pangan di dalam negeri, terutama akibat kenaikan harga beras, dan kenaikan harga sejumlah bahan baku impor dapat memengaruhi belanja masyarakat dan kenaikan biaya industri. ”Jika ingin mempertahankan tren kenaikan belanja masyarakat, inflasi harus dikelola dengan baik,” katanya.
Jika ingin mempertahankan tren kenaikan belanja masyarakat, inflasi harus dikelola dengan baik.
Aktivitas pusat perbelanjaan di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (7/9/2023). Sampai Juli 2023, tren belanja masyarakat mencatat angka 168,1 atau tumbuh 31,8 persen secara tahunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Laju belanja masyarakat itu diperkirakan akan terus meningkat di sisa tahun ini, mendekati masa kampanye pemilu.
Dalam forum tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Falianty menegaskan, konsumsi rumah tangga memang akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi RI di kala kinerja ekspor menurun. Jika ingin mendorong konsumsi rumah tangga, berarti inflasi harus dikelola dengan baik dengan menjaga stabilitas harga pangan.
Saat ini, BI mengalami dilema antara menjaga inflasi di dalam negeri atau menstabilkan nilai tukar rupiah. Tren inflasi memang mulai turun, tetapi kenaikan harga pangan, terutama beras, yang saat ini terjadi, bakal mendongkrak inflasi.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga masih lemah. Salah satu faktor utamanya adalah banyak aliran modal asing yang keluar dari pasar uang Indonesia akibat kecenderungan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga acuannya.