Konsekuensi Hilirisasi Mulai Tekan Penerimaan Negara
Penerimaan bea keluar diproyeksikan terkontraksi akibat dampak kebijakan hilirisasi komoditas mineral. Pemerintah terus mengkaji opsi penerapan pajak ekspor atau bea keluar terhadap produk turunan nikel setengah jadi.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
Demi mendukung kebijakan hilirisasi tembaga, PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan investasi besar dalam pembangunan smelter baru tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Java Integrated dan Industrial Port Estate (JIIPE) di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023). Smelter tembaga Design Single Line terbesar di dunia yang padat karya ini ditargetkan bisa beroperasi pada Mei 2024.
CIANJUR, KOMPAS — Konsekuensi hilirisasi mulai menekan penerimaan negara dari bea keluar. Untuk mengganti potensi hilangnya pendapatan dari larangan ekspor komoditas mentah itu, pemerintah mengkaji opsi penerapan pajak atas ekspor produk turunan setengah jadi, dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan industri.
Lesunya penerimaan negara dari pos bea keluar sudah terasa sejak pemerintah menerapkan kebijakan hilirisasi komoditas mineral dengan sepenuhnya melarang ekspor produk mentah. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, sepanjang tahun 2023, penerimaan bea keluar secara berturut-turut mengalami kontraksi.
Pada Januari-Agustus 2023, penerimaan bea keluar ”terjun bebas” atau terkontraksi 80,3 persen. Jatuhnya penerimaan dari pos bea keluar itu merupakan imbas kebijakan perpajakan untuk mendukung hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan melandainya harga sejumlah komoditas andalan.
Sejauh ini, sudah ada beberapa komoditas mineral yang dikenai larangan ekspor bentuk mentah, seperti nikel dan bauksit. Ada pula lima komoditas lain yang masih diizinkan mengekspor bentuk mentah sampai Mei 2024, yaitu tembaga, besi, timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.
Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Mohammad Alfah Farobi, Selasa (26/9/2023) mengatakan, sampai Agustus 2023, penerimaan bea cukai baru mencapai 56,59 persen dari target di APBN.
Ia memperkirakan, hingga akhir tahun, penerimaan kepabeanan dan cukai hanya akan mencapai Rp 300,1 triliun, lebih rendah dari target awal Rp 317,8 triliun.
”Kondisi bea cukai lagi menantang. Kemungkinan target tahun ini tidak bisa tercapai. Selain harga komoditas yang menurun, tantangan lain yang perlu diantisipasi tahun depan adalah dampak hilirisasi SDA mineral dan progress penyelesaian sejumlah smelter mineral terhadap pemasukan bea keluar,” kata Alfah dalam diskusi APBN 2024 di Cipanas, Jawa Barat.
Meski mampu meningkatkan kinerja ekspor yang bernilai tambah, kebijakan hilirisasi otomatis menggerus potensi pemasukan bea keluar yang selama ini mengandalkan ekspor berbagai komoditas mineral mentah.
Untuk target APBN 2024, pemerintah pun hanya akan mengandalkan pemasukan dari bea masuk dan cukai. Cukai diproyeksikan bisa tumbuh 8,3 persen sebesar Rp 246,1 triliun, bea masuk tumbuh 8,1 persen senilai Rp 57,4 triliun, sementara pertumbuhan bea keluar diproyeksikan turun 11,5 persen sebesar Rp 17,5 triliun.
Menurut Alfah, melemahnya penerimaan itu tidak bisa dihindari sebagai dampak dari upaya mendukung hilirisasi SDA. ”Kita ingin memproduksi barang di dalam negeri dengan tingkatan lebih tinggi dan menahannya dari diekspor,” katanya.
Saat ini, penerimaan bea keluar sudah tergerus pascalarangan ekspor nikel dan bauksit. Tahun depan, penerimaan kembali terancam lesu akibat larangan ekspor produk mentah bagi lima komoditas tembaga yang akan dimulai pada Juni 2024.
Relaksasi izin ekspor barang mentah itu untuk sementara diterapkan ke lima komoditas dan lima perusahaan yang progress pembangunan smelter pengolahannya sudah di atas 50 persen. ”Kalau smelter-smelter itu selesai tahun depan, kita akan full melarang ekspor mentah, yang berarti ada tantangan tambahan terhadap penerimaan bea keluar yang bisa lebih kecil lagi,” ujarnya.
Hilirisasi setengah jadi
Untuk menutup potensi kehilangan pendapatan akibat larangan ekspor barang mentah itu, pemerintah awalnya berwacana menerapkan bea keluar atau pajak ekspor terhadap produk turunan nikel setengah jadi, seperti feronickel dan nickel pig iron (NPI), pada tahun ini. Namun, hingga menjelang akhir tahun, belum ada tanda-tanda kebijakan itu akan dieksekusi. Wacana itu juga mengundang resistensi dari pelaku usaha.
Menurut Alfah, rencana itu masih tetap dikaji oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Kementerian Perindustrian. Namun, penerapannya kemungkinan bukan tahun ini. Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah tetap menerapkan bea keluar, tetapi dengan tarif yang lebih rendah agar tidak memberatkan industri.
Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah tetap menerapkan bea keluar, tetapi dengan tarif yang lebih rendah agar tidak memberatkan industri.
”Ini memang masih kita kaji terus, karena jangan sampai membunuh industri. Apakah industri kita sudah siap? Apakah akan merugikan ekspor kita? Kami dari Kemenkeu terus menghitung berapa kira-kira persenan tarif bea keluar untuk ekspor produk setengah jadi itu,” katanya.
Kepala Center of Trade, Industry and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai bea keluar terhadap produk mineral olahan setengah jadi sudah sepantasnya diterapkan. Bukan hanya akan berdampak pada peningkatan pemasukan negara, kebijakan itu juga bisa mencegah hilirisasi yang ”tanggung”.
Ia mencontohkan, karena tidak ada penerapan bea keluar, olahan nikel setengah jadi seperti feronickel dan NPI yang kini mendominasi akhirnya tetap diekspor dengan nilai tambah yang tidak terlalu tinggi. Sementara, hilirisasi yang lebih utuh di dalam negeri, seperti pemanfaatan hasil olahan nikel untuk mengembangkan industri stainless steel, justru tidak berkembang.
”Penerapan bea keluar bisa jadi disinsentif untuk mencegah ekspor produk setengah jadi, sekaligus insentif untuk mengembangkan industri yang lebih hilir, bukan hanya industri baterai listrik terus. Perdebatan ini harus disudahi, mengingat saat ini sudah terjadi eksploitasi nikel yang cukup besar dan cadangan nikel kita terus menurun. Kita berburu dengan waktu,” ujarnya.
Menurut dia, hilirisasi dan penerimaan negara tidak selalu harus menjadi trade off yang saling menegasikan satu sama lain. Namun, akibat gencarnya pemberian insentif fiskal kepada industri smelter nikel seperti dalam bentuk tax holiday, penerimaan perpajakan dari hilirisasi pun ikut tersendat.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Pekerja memeriksa produk feronikel hasil pengolahan bijih nikel di pabrik PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/5/2011). PT Antam merupakan satu-satunya perusahaan tambang yang memiliki pabrik feronikel dari puluhan perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Sultra.
”Seharusnya memang turunnya penerimaan bea keluar itu dikompensasi oleh penerimaan perpajakan yang berasal dari usaha baru hasil hilirisasi. Tetapi ini belum terlihat karena masih banyak insentif fiskal yang kita berikan. Pemerintah perlu lebih berani untuk mengevaluasi kembali sejumlah insentif yang sudah diberikan itu,” kata Andry.
Sementara itu, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, trade off antara hilirisasi dan penerimaan pajak memang tidak bisa dhindari. Untuk menutup potensi hilangnya penerimaan negara itu, ekspor dari industri lain perlu lebih dikembangkan.
”Sebenarnya lumrah jika penerimaan turun ketika ada hilirisasi, apalagi harga komoditas dunia juga sedang turun. Oleh karena itu penting ada diversifikasi ekspor supaya bisa mengimbangi potensi penerimaan lain yang turun,” ujarnya.