Perilaku Konsumen E-dagang Diprediksi Tidak Berubah
Pelarangan media sosial untuk dipakai memfasilitasi transaksi e-dagang dalam platform akan efektif berlaku ketika revisi Permendag No 50/2020 diundangkan. Keputusan ini tidak akan membuat e-dagang sepi peminat.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Penjual menawarkan barang dagangannya secara daring di media sosial Tiktok secara langsung di kios Blok B Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023). Penjualan secara daring menjadi salah satu strategi pedagang untuk menjangkau konsumen yang lebih luas. Salah seorang pedagang mengatakan, 40-50 persen pendapatannya berasal dari penjualan secara daring. Dalam sebulan, ia bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 50 juta.
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti ekonomi di Center for Strategic and International Studies, Adinova Fauri, mengatakan, keputusan pemerintah melarang media sosial memfasilitasi e-dagang dalam platform atau social commercetidak membuat warga berhenti berbelanja daring. Sebab, model berbelanja seperti ini memiliki sejumlah keuntungan, mulai dari kemudahan berbelanja, pilihan produk, hingga soal harga.
”Warga dipastikan akan tetap berbelanja daring, baik bertransaksi langsung di lokapasar maupun bertransaksi di luar platform media sosial, setelah ada komunikasi dengan penjual di media sosial,” ujar Adinova saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Sebelumnya, pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Inti revisi itu antara lain pemisahan media sosial dengan social commerce. Social commerce hanya boleh untuk promosi barang dan jasa (Kompas, 26/9).
Adinova menambahkan, apabila tujuan pemerintah merevisi Permendag No 50/2020 hanya untuk memulihkan pasar tradisional, seperti Tanah Abang, hal itu akan sulit tercapai. Hal itu disebabkan perilaku konsumen yang berbelanja daring saat pandemi Covid-19 tak berubah ketika pandemi usai.
Ia juga menilai kebijakan revisi itu akan dianggap tidak fair oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang mengandalkan media sosial untuk berpromosi sekaligus berjualan. Ada pula kemungkinan pelaku UMKM berpindah ke platform digital lain agar tetap bisa berjualan dan demi tidak menanggung kerugian terlalu besar.
Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Sahabat UMKM Faisal Hasan Basri. Menurut dia, media sosial sudah jamak dipakai pelaku UMKM ataupun pemilik jenama besar. Mereka biasanya turut menyisipkan tautan katalog produk barang dan jasa hingga tautan bertransaksi secara daring.
”Pemerintah seharusnya mengatur sejak awal supaya polemik social commerce, yang di antaranya dipopulerkan Tiktok Shop, tidak terjadi. Bagaimanapun, perusahaan platform teknologi sebagai entitas bisnis akan selalu mencari celah. Kalau saya boleh bilang, keputusan yang melarang media sosial memfasilitasi e-dagang hanya tindakan reaktif dari pemerintah,” ujar Faisal.
Dari sisi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah melarang social commerce disambut beragam. Ricky Ishak, warga Bandung, Jabar, yang memiliki usaha makanan Rumjo, mengaku sedih mendengar keputusan pemerintah tersebut.
Rumjo memiliki akun di Tiktok Shop sejak setahun lalu dan sekarang merambah ke salah satu lokapasar. Pelarangan itu dipastikan akan berdampak pada pendapatan usaha. Namun, Ricky tetap akan mematuhi keputusan pemerintah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berbincang dengan pelaku UMKM saat meninjau pusat grosir busana Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (19/9/2023). Para pedagang mengeluhkan turunnya omzet mereka karena kalah bersaing dalam harga dengan barang sejenis impor.
Andre Oktavianus, pemilik jenama Kiminori Kids di Jakarta, menuturkan, dirinya cemas bakal ada penurunan omzet dari bisnis penjualan pakaian anak akibat kebijakan itu. ”Dari hasil berjualan di Tiktok Shop, saya mendapat banyak pelanggan baru yang sebelumnya belum pernah belanja secara daring,” ujarnya.
Untuk penjualan luring, Andre mengandalkan mitra pusat perbelanjaan untuk menjual pakaian anak yang dia produksi. Meski telah beroperasi sejak 2007, ia mengklaim bahwa pendapatan lebih besar datang dari penjualan secara daring.
Sementara itu, Adi Pujianto, warga Depok, Jabar, yang memiliki usaha lasagna Chiz n Brul terbiasa mengandalkan Instagram untuk promosi makanan. Di akun Instagram, ia juga mencantumkan konten foto makanan yang dilengkapi dengan harga. Namun, apabila konsumen tertarik membeli, Adi mengarahkan untuk mengontak melalui Whatsapp ataupun langsung ke akun Chiz n Brul di salah satu lokapasar nasional.
”Sejak 2021 mulai usaha. Kalau untuk kesepakatan transaksi jual-beli yang aman, saya setuju jika itu dilakukan melalui platform lokapasar karena lebih tepercaya,” kata Adi.