Bursa karbon memperdagangkan unit karbon yang dihasilkan perusahaan penghasil emisi karbon dengan proyek pengurangan emisi dari perusahaan berbasis inovasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah menyiapkan strategi pendanaan pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan secara umum melalui bursa karbon. Mekanisme ini dinilai menjanjikan karena investasi global juga mulai mengarah ke sana.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan, Presiden Joko Widodo akan meluncurkan Bursa Karbon Indonesia, Selasa (26/9/2023). Bursa ini memperdagangkan unit karbon yang dihasilkan perusahaan penghasil emisi karbon dengan proyek pengurangan emisi dari perusahaan berbasis inovasi.
”Ini bertujuan untuk menyediakan mekanisme market yang akan mendukung target NDC pemerintah sekaligus menyeimbangkan transisi ke ekonomi berkelanjutan,” katanya saat membuka acara Forum Penelitian Internasional OJK 2023, di Jakarta, Senin (25/9/2023).
NDC adalah dokumen kontribusi nasional yang menjadi pijakan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dalam rangka mengendalikan perubahan iklim. Dari hasil pembaruan di 2022, target itu ditingkatkan sebesar 31,89-43,2 persen sampai 2030, dengan total pengurangan 3.000 juta ton lebih CO2, dari estimasi emisi di 2010 (Kompas, 26/7/2023).
Dalam skenario itu, lima sektor penghasil emisi yang menjadi target adalah energi, limbah, pertanian, kehutanan, serta penggunaan produk dan pemrosesan industrial. Adapun bursa karbon yang akan mulai dijalankan Indonesia menyasar sektor energi, kehutanan, dan industri.
Mahendra meyakini, Indonesia berada di jalan yang tepat. Selain karena 60 persen emisi karbon di Tanah Air ini berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan, bursa ini juga akan menjadi yang terunik di dunia.
”Perdagangan karbon ini bisa menjadi yang paling unik di dunia karena menawarkan begitu banyak variasi unit karbon dari modal alam (natural capital) ataupun energi berdasarkan kepatuhan atau offset market,” ujarnya.
Dalam diskusi pertama di acara itu, ekonom The London Institute of Banking and Finance, Stanley Yip, menyampaikan, pada 2023 ini, mayoritas pendanaan berkelanjutan di dunia ditujukan untuk restorasi alam, perlindungan hutan, dan agrikultur.
”Proyek dalam konteks restorasi alam, perlindungan hutan, dan agrikultur mengambil 60 persen lebih dari seluruh investasi. Sektor lain, seperti energi terbarukan dan efisiensi energi, mulai berkurang,” tuturnya.
Berdasarkan data Global Carbon Credit Investment Report 2023 dan Trove Research, pada 2021-2025, sebanyak 17 miliar dollar AS atau 80 persen dari total 21 miliar dollar AS pendanaan hijau di dunia didedikasikan untuk inisiatif berbasis alam. Pendanaan itu membiayai 246 inisiatif dengan luas wilayah penerima manfaat sebesar 30 juta hektar lahan yang hampir sebesar negara Italia.Baca juga: Pasar Karbon Mengakselerasi Dekarbonisasi Global
Pendanaan ini berpotensi masuk ke Asia, termasuk Indonesia, sebagai pasar karbon terbesar di dunia. Melihat data 2018-2022, sebanyak 478 proyek atau 55 persen proyek pendanaan hijau global menyasar negara-negara di Asia. Berdasarkan negara, India dan China mendominasi penerima proyek bursa karbon voluntary.
”Mayoritas pendanaan di Asia pada periode itu di sektor energi terbarukan, seperti proyek energi solar dan angin yang masih di tahap awal lebih dari 10 tahun lalu. Sekarang proyek skala besar untuk energi terbarukan mulai turun karena tidak lagi jadi prioritas. Yang akan datang adalah proyek tata guna lahan, agrikultur, dan manajemen limbah,” ucap Yip.
Ia pun meyakini, apa pun strategi pendanaan hijau yang dibuat di Asia, termasuk Indonesia yang telah memiliki bursa karbon, akan menarik pendanaan global. Hal ini karena negara-negara di Asia masih menghadapi perkembangan populasi dan pembangunan urban yang membuka peluang ekonomi sirkular hingga inovasi teknologi untuk pengurangan emisi karbon.
”Selanjutnya adalah bagaimana Asia membuat mekanisme pengurangan risiko dan kepastian proyek jangka panjang, khususnya untuk proyek di sektor berbasis alam. Lalu, bisa menghadirkan kualitas dan transparansi proyek di pasar,” sarannya.