Ironi Subsidi Motor Listrik dan Bahan Bakar Minyak
Kebijakan subsidi motor listrik idealnya dapat memperkecil keran distribusi bahan bakar minyak bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A
Presiden Joko Widodo menjajal motor listrik buatan dalam negeri, Gesits, di halaman tengah Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Kebijakan subsidi motor listrik idealnya dapat memperkecil keran distribusi bahan bakar minyak bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Sementara itu, keran subsidi kedua obyek tersebut tidak dibatasi sehingga hanya akan membebani keuangan negara.
Setelah mengeluarkan kebijakan subsidi Rp 7 juta untuk konversi motor berbahan bakar minyak (BBM) ke listrik, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Dua membuka subsidi pembelian motor baru dengan nilai sama.
Setiap warga pemilik nomor induk kependudukan (NIK), yang belum mengikuti program subsidi sebelumnya, bisa mendapatkan kuota potongan Rp 7 juta untuk pembelian satu motor listrik. Syarat ini diperluas dari aturan sebelumnya yang membatasi insentif hanya untuk penerima kredit usaha rakyat, Bantuan Produktif Usaha Mikro, penerima Bantuan Subsidi Upah, dan penerima subsidi listrik kurang dari 900 VA.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tulisan produk Indonesia pada bodi sepeda motor listrik produksi dalam negeri merek Selis di dealer resminya di Kota Tangerang, Banten, Senin (12/12/2022).
Sejak diperbarui pada Selasa (19/9/2023), Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Roda Dua atau Sisapira.id mencatat, ada 2.564 pendaftar yang lolos syarat penerimaan bantuan sampai Minggu (24/9/2023) pukul 13.00. Angka itu naik 63 persen dari hanya 1.636 pendaftar pada Rabu (20/9/2023). Perlu diketahui, pendaftaran itu telah dibuka sejak Maret 2023 dengan total kuota 200.000 motor listrik.
”Sejak pertama diluncurkan, Sisapira itu alami lonjakan antrean, sebenarnya diincar setiap kalangan. Kemarin banyak yang japri kita, rata-rata memang incar motor yang lebih mahal karena kriteria tidak ada, semua KTP bisa. Banyak orang yang punya duit incar Sisapira. Tapi, enggak apa-apa, kan, pemerintah targetnya menurunkan (penggunaan) BBM,” kata Peter Kho dari Humas Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) saat dihubungi Kompas, Rabu.
Setelah adanya potongan harga, laman Sisapira menampilkan harga motor listrik mulai dari kisaran Rp 5 juta hingga Rp 40 jutaan untuk kelas premium. Saat ini, baru ada 30-an model motor milik 15 dari 34 perusahaan pemegang merek anggota Aismoli, yang mendapat izin produksi dari Kementerian Perindustrian.
Menilik Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), program ini dipercepat dalam rangka meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, konservasi energi sektor transportasi. Terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan, dan yang terpenting mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Pada implementasinya, tahun 2023 ini pemerintah mengeluarkan anggaran Rp 1,75 triliun untuk subsidi program bantuan bagi pembelian 200.000 motor listrik baru dan 50.000 motor konversi. Subsidi ini diharapkan dapat menghemat Rp 32,7 miliar per tahun dari berkurangnya penggunaan BBM pertalite (Kompas, 7/3/2023).
Sementara itu, sampai saat ini kriteria penerima subsidi pertalite yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun per tahun belum diatur pemerintah. Hal ini karena pemerintah belum juga menerbitkan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
”(Terkait pembatasan pembelian BBM subsidi) kami mau membahas lagi. Mau angkat lagi dengan Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Akan kami matangkan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di sela-sela 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas di Badung, Bali (Kompas.id, 23/9/2023).
Menurut data Kementerian ESDM, konsumsi pertalite hampir 80 persen di antara BBM jenis bensin lainnya, seperti pertamax, pertamax turbo, dan premium. Tahun ini, kuota pertalite mencapai 32,56 juta kiloliter (kl). Angka ini menyesuaikan tren peningkatan penggunaan yang terus melonjak seusai pandemi Covid-19. Menurut data, sebelum pandemi, konsumsi pertalite hanya sebesar 19,4 juta kl di 2019.
Proyeksi kebutuhan pertalite kini dibayangi kenaikan harga minyak dunia. Trading Economics pada Jumat (22/9/2023) malam mencatat, harga minyak mentah merek Brent sebesar 94,67 dollar AS per barel. Itu merupakan angka tertinggi sejak November 2022. Kenaikan kali ini akibat pembatasan produksi minyak oleh negara-negara produsen minyak (OPEC+).
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, kenaikan ini bisa berdampak pada beban subsidi yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan. Sayangnya, 2024 bertepatan dengan tahun pemilu yang secara historis tidak akan dimanfaatkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan sensitif.
”Harga pertalite dan solar tidak akan dinaikkan di tahun politik sampai dengan tahun depan karena ini sangat sensitif, terutama mengakibatkan inflasi dan menurunkan daya beli kalau itu dilakukan. Hanya masalahnya, kalau tidak dinaikkan, beban APBN akan semakin berat,” tuturnya kepada Kompas.
Jika pemerintah tidak menaikkan harga pertalite yang sebesar Rp 10.000 per liter, kata dia, tidak akan ada urgensi untuk masyarakat membeli motor listrik. Hal serupa juga dinilai akan terjadi sekalipun pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM bersubsidi. Ini dikarenakan adanya beberapa variabel yang sulit memengaruhi perilaku masyarakat untuk mulai menggunakan motor listrik.
”Pertama, kendaraan listrik itu belum terbukti keandalannya. Misal, pernah ada sopir ojek mengatakan ketika menanjak berat. Kedua, ketersediaan bengkel belum merata. Ketika konsumen beli, di mana memperbaikinya? Ketiga, kalau konsumen membeli motor atau mobil mempertimbangkan nilai jual barang bekas tinggi atau jatuh,” tutur Fahmy.
Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno dalam keterangannya juga berpendapat, program subsidi motor listrik yang ditargetkan bisa mengurangi konsumsi BBM dan menekan emisi karbon berpotensi jauh panggang dari api.
Ia menilai tujuan pemerintah memberikan insentif untuk pembelian sepeda motor listrik lebih untuk menolong industri yang sudah telanjur berinvestasi dan berproduksi, tetapi pangsa pasarnya masih sangat kecil. Selain itu, program ini juga tidak mewajibkan pembeli kendaraan listrik untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang mereka miliki.
”Yang justru terjadi adalah penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan. Insentif itu jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan,” ujarnya.