Jaga Ketahahan Fiskal, Utang Terus Ditekan
Setahun terakhir ini, pemerintah berusaha menekan penerbitan utang baru dan membangun kembali ketahanan fiskal, setelah APBN sempat ”jor-joran” dikerahkan untuk memikul dampak pandemi dan beban pemulihan ekonomi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F17%2F1bbd537d-edd0-4766-a2a9-37b1a7097631_jpg.jpg)
Lanskap kota Jakarta yang dipenuhi bangunan tapak dan gedung pencakar langit, Senin (17/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tahun terakhir masa jabatan, pemerintah terus berupaya menekan penerbitan utang baru dan menjaga ketahanan fiskal. Realisasi pembiayaan utang hingga akhir Agustus 2023 pun turun tajam sampai 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, rasio utang masih jauh di atas posisi sebelum pandemi.
Laporan APBN edisi September 2023 menunjukkan, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sampai akhir Agustus 2023 adalah 37,84 persen. Posisi itu sudah menurun dibandingkan rasio utang pada akhir Agustus 2022, yaitu 38,30 persen. Namun, angka tersebut masih jauh dari posisi rasio utang Indonesia sebelum pandemi, yakni 29,8 persen (tahun 2019).
Rasio utang (debt to GDP ratio) adalah perbandingan antara total nilai utang (outstanding) pemerintah dan PDB. Sederhananya, rasio utang terhadap PDB (selaku representasi tingkat pendapatan negara) dipakai untuk mengukur kemampuan fiskal suatu negara dalam membayar utang-utangnya. Semakin tinggi rasio utangnya, semakin sulit suatu negara melunasi kewajibannya.
Baca juga: Beban Bunga Utang Pemerintah Membesar Lampaui Belanja Lain
Rasio utang Indonesia memang melonjak signifikan akibat pandemi Covid-19. Dari posisi 29,8 persen pada tahun 2019, rasio utang meningkat menjadi 38,68 persen pada 2020 dan menyentuh puncak 41 persen pada 2021. Itu merupakan angka rasio utang tertinggi Indonesia sejak reformasi.
Setahun terakhir ini, pemerintah berusaha menekan penerbitan utang baru dan membangun kembali ketahanan fiskal setelah APBN ”jor-joran” dikerahkan untuk memikul dampak pandemi dan beban pemulihan ekonomi, yang dananya sebagian dari utang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pembiayaan anggaran mengalami penurunan sangat tajam. Sampai akhir Agustus 2023, realisasi pembiayaan utang adalah Rp 198 triliun, turun 40 persen dibandingkan posisi Agustus 2022 sebesar Rp 332 triliun, yang juga sudah menurun 39,9 persen dari tahun 2021. Penerbitan utang sampai Agustus 2023 baru 28,4 persen dari target APBN.
Realisasi utang itu terdiri dari realisasi surat berharga negara (SBN) neto Rp 183 triliun dan realisasi pinjaman (neto) Rp 15,01 triliun. Penarikan pinjaman didominasi oleh pinjaman luar negeri (neto) senilai Rp 11,57 triliun yang terdiri dari penarikan pinjaman (bruto) Rp 59,44 triliun dan pembayaran cicilan pokok pinjaman Rp 47,87 triliun.
Sampai akhir Agustus 2023, realisasi pembiayaan utang adalah Rp 198 triliun, turun 40 persen dibandingkan posisi Agustus 2022.
”Dunia saat ini mengalami kondisi di mana kecenderungan suku bunga tinggi bertahan dalam jangka panjang (higher for longer) sehingga APBN yang sehat bisa menekan risiko yang berasal dari situasi global yang tidak menguntungkan itu,” kata Sri Mulyani saat memaparkan kinerja APBN edisi September 2023 pekan lalu.
Baru-baru ini, bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan menahan suku bunga acuannya di level 5,25-5,50 persen. Namun, The Fed melempar sinyal bahwa tren kenaikan suku bunga akan bertahan hingga beberapa waktu ke depan. Hingga akhir tahun, ada indikasi The Fed akan menaikkan lagi suku bunga sebesar 25 basis poin menyentuh 5,75 persen.
Kebijakan moneter yang ketat itu juga diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2024, berbeda dengan ekspektasi pasar bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya tahun depan. Tren kenaikan suku bunga tinggi dalam waktu lama itu bisa menambah risiko pengelolaan utang RI karena berdampak pada imbal hasil SBN, melemahnya nilai tukar rupiah, serta bertambahnya beban biaya utang (cost of fund) pemerintah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2F35a71651-deba-453b-b049-1520426c59f8_jpg.jpg)
Anggota DPR dari fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto (kiri), menyerahkan berkas pandangan umum fraksi Partai Gerindra terkait Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2024 kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Posisi utang
Sampai dengan akhir Agustus 2023, posisi utang pemerintah tercatat di angka Rp 7.870,35 triliun, terdiri dari instrumen SBN sebesar Rp 6.995,18 triliun dan pinjaman sebesar Rp 875,17 triliun. Utang dalam bentuk SBN itu didominasi oleh SBN domestik sebesar Rp 5.663,94 triliun dan SBN valuta asing (valas) sebesar Rp 1.331,24 triliun.
Posisi utang RI meningkat jauh dibandingkan kondisi sebelum pandemi, yakni Rp 4.778,60 pada tahun 2019. Secara nominal, posisi utang pemerintah tetap naik dibandingkan Agustus 2022 yang sebesar Rp 7.236,61 triliun meski laju kenaikannya mulai melambat.
Baca juga: Kenaikan Harga Minyak Dunia Berpotensi Tambah Beban APBN
Laporan APBN Kita mencatat, pengelolaan utang dilakukan dengan hati-hati dan risiko yang terkendali. Dari sisi mata uang, pembiayaan utang lebih mengoptimalkan sumber pembiayaan dari dalam negeri (rupiah) ketimbang luar negeri (valas). Hal itu untuk meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar yang bisa memengaruhi beban utang pemerintah.
Dari sisi jatuh tempo, pemerintah juga mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang. Per akhir Agustus 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia masih di kategori cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pengelolaan utang pemerintah sejauh ini masih sangat terjaga. Itu juga tergambar dari kinerja APBN yang masih bisa mencatatkan surplus sampai Agustus 2023, menggambarkan kondisi utang yang bisa ditekan signifikan meski sudah mendekati akhir tahun.
”Kalaupun Oktober sampai Desember nanti (APBN) mulai defisit, tetapi defisit itu masih akan terkendali. Apalagi, kita lihat sampai semester I tahun ini harga komoditas relatif tinggi dan pertumbuhan penerimaan masih positif, sehingga belum ada risiko yang cukup tinggi tahun ini,” kata Josua.
Kalaupun Oktober sampai Desember nanti (APBN) mulai defisit, tetapi defisit itu masih akan terkendali.
Kondisi fiskal Indonesia yang terjaga baik itu juga terlihat dari kepemilikan investor asing di pasar SBN yang masih terjaga meskipun The Fed telah menyiratkan tren kenaikan suku bunga untuk jangka waktu lebih panjang.
”Investor asing masih melihat defisit fiskal kita terkendali, rating utang kita juga tidak menurun. Ini memberikan panduan bahwa pengelolaan fiskal dan utang pemerintah masih relatif sangat prudent sehingga tidak mengganggu kepercayaan investor dan itu terefleksi di pasar SBN,” katanya.