Harga Minyak Tinggi, Perbaikan Penyaluran Subsidi Jadi Pilihan
Mengenai potensi jebolnya subsidi untuk BBM akibat kenaikan harga minyak mentah, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah akan terus memantau. Juga akan menghitung dampak pada keekonomian harga pertalite.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Tingginya harga minyak mentah global yang mencapai 93 dollar AS-94 dollar AS per barel direspons pemerintah dengan mengangkat kembali rencana untuk mengarahkan subsidi menjadi tepat sasaran. Hal itu menjadi pilihan ketimbang harus menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi dan kompensasi di tahun politik.
Berdasar data Trading Economics, harga minyak mentah merek Brent, hingga Jumat (22/9/2023) malam, ialah 94,67 dollar AS per barel. Itu merupakan angka tertinggi sejak November 2022. Kenaikan secara signifikan tahun ini mulai Juli 2023.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di sela-sela 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas di Badung, Bali, Jumat, mengatakan, pemerintah mencermati dinamika harga minyak mentah. Sebab, itu bisa berdampak pada beban yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
”(Terkait pembatasan pembelian BBM subsidi) kami mau membahas lagi. Mau angkat lagi dengan Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Akan kami matangkan,” kata Arifin.
Mengenai potensi jebolnya subsidi untuk BBM akibat kenaikan harga minyak mentah, Arifin mengatakan, pemerintah akan terus memantau. Pihaknya juga akan menghitung terus pengaruh kenaikan harga minyak mentah pada keekonomian harga produk BBM subsidi/kompensasi.
”Terkait crude oil, dihitung misalnya (kenaikan harga) 1 dollar AS itu berapa dampaknya ke pertalite, solar, dan minyak tanah,” kata Arifin.
Ketika dikonfirmasi apakah pembatasan yang dimaksud revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, Arifin tidak menjawab tegas. Namun, dia membenarkan arah pemerintah, yakni menjadikan penyaluran subsidi menjadi tepat sasaran.
Sebelummya, revisi perpres yang mengatur kriteria konsumen yang berhak membeli pertalite itu telah disusun oleh Kementerian ESDM. Namun, selanjutnya tak ada kepastian kapan akan diterbitkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menuturkan, kenaikan harga minyak mentah sebenarnya membawa keuntungan atau windfall profit di sisi hulu. Namun, hal tersebut juga bisa menjadi beban di sisi hilir karena Indonesia masih mengimpor bensin ataupun minyak mentah untuk diproses di kilang-kilang yang ada.
”Jadi, dilihat perbandingan windfall profit yang kita dapat dengan (anggaran) subsidi yang harus kita keluarkan. Kalau harga di hilirnya naik, karena ini tahun politik, tidak mungkin menyesuaikan (harga BBM bersubsidi). Kita lihat dulu perbandingannya. Mudah-mudahan masih positif,” ujar Djoko.
Djoko tak memungkiri ada potensi beban yang dikeluarkan untuk menanggung subsidi akan lebih besar. Sebab, saat ini, produksi minyak dalam negeri menurun dari tahun ke tahun. Sementara tingkat konsumsi BBM di hilir meningkat pascapandemi Covid-19 dan tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
DEN, imbuh Djoko, terus mendorong berbagai upaya agar ketergantungan impor energi ditekan. ”Kurangi semaksimal mungkin. Kendaraan bensin kita dorong untuk beralih ke kendaraan listrik. Juga dengan mengoptimalkan green fuel (bahan bakar nabati),” ucapnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dalam upaya membuat distribusi BBM bersubsidi menjadi lebih tepat sasaran, dibutuhkan regulasi. Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 sebenarnya sudah ditunggu-tunggu mengingat selama ini distribusi pertalite bersifat terbuka. Artinya, kalangan mana pun bisa membelinya.
”Kondisi di lapangan akan sulit jika regulasinya belum ada. Pertamina tidak akan berani melakukan pembatasan karena itu menjadi domain pemerintah. Kalau mereka melakukan itu, tidak ada kekuatan hukumnya,” kata Komaidi.
Kini, perbaikan distribusi BBM bersubsidi itu menjadi pilihan meskipun seharusnya sudah dilakukan sejak awal. Sebab, lanjut Komaidi, menaikkan harga BBM bersubsidi selalu menjadi pilihan terakhir di tahun politik atau menjelang pemilu.