Registrasi Biometrik Syaratkan Kesiapan Operator dan Konsumen
Kebijakan registrasi kartu nomor seluler dengan data biometrik diatur Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inisiatif untuk menerapkan registrasi kartu nomor telepon seluler dengan memakai data biometrik mengemuka. Jika inisiatif ini jadi diberlakukan, keberhasilannya tergantung dari kesiapan infrastruktur Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, operator telekomunikasi seluler, gerai ritel, dan kesiapan gawai yang dimiliki konsumen.
Direktur dan Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Buldansyah, saat dikonfirmasi, Rabu (20/9/2023), di Jakarta, mengatakan, wajib registrasi kartu perdana nomor telepon seluler dengan data biometrik merupakan inisiatif lama. Uji coba mekanisme registrasi seperti itu sudah berlangsung.
Menurut dia, operator telekomunikasi seluler sekarang sedang berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Operator akan mengikuti jadwal pelaksanaan dari pemerintah.
”Kemungkinan, jenis data biometrik yang akan dipakai yaitu pengenalan wajah. Kesuksesan inisiatif mekanisme registrasi seperti ini sangat tergantung dari kesiapan infrastruktur setiap operator telekomunikasi seluler, mitra ritel, dan pemerintah (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil),” ujarnya.
Terkait sasaran kebijakan baru wajib registrasi tersebut, Buldansyah, yang juga anggota Dewan Pengawas Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia, berpendapat, seharusnya ada dua sasaran. Sasaran dimulai dari warga yang ingin mengganti kartu (SIM card) lama dan warga dengan SIM card baru.
Sebelumnya, saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Selasa (19/9/2023), Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Wayan Toni Supriyanto mengatakan, pemerintah akan memberlakukan kebijakan wajib registrasi nomor seluler berbasis data biometrik. Rencana kebijakan ini dianggap sebagai salah satu solusi mengatasi masih maraknya penipuan yang memakai distribusi pesan pendek dan sambungan telepon. Masalah ini terjadi meski wajib registrasi memakai nomor induk kependudukan dan kartu keluarga telah diberlakukan sejak Agustus 2017. Dia bahkan menyebutkan, tiga bulan terakhir terdapat 2.907 nomor telepon seluler yang diblokir karena terindikasi dipakai untuk menipu.
Penerapan kebijakan registrasi kartu nomor seluler dengan data biometrik diatur dalam Pasal 153–175 Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Data biometrik dapat berupa pengenalan wajah (face recognition), sidik jari, dan iris mata.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, saat dihubungi terpisah, mengatakan, pihaknya sepakat jika kebijakan wajib registrasi kartu nomor telepon seluler memakai data biometrik kependudukan jadi diberlakukan. Mekanisme seperti ini, dia nilai, lebih aman bagi konsumen.
Kebijakan wajib registrasi kartu nomor telepon seluler dengan data biometrik kependudukan juga, Tulus nilai, sudah mendesak. Tindakan kriminalitas berupa penipuan melalui pesan pendek ataupun sambungan telepon semakin marak.
”Hanya saja, kebijakan seperti itu berpotensi menyulitkan konsumen. Perangkat pengecekan biometrik ditanggung siapa. Jika jumlah perangkatnya terbatas, itu akan menyusahkan konsumen,” katanya.
Oleh karena itu, Tulus menyarankan agar perangkat akses pengecekan biometrik harus banyak. Namun, risikonya yaitu investasi yang harus dikeluarkan oleh operator telekomunikasi naik.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim berpandangan berbeda. Menurut dia, penggunaan biometrik untuk registrasi kartu nomor seluler itu berlebihan. Selain operator telekomunikasi seluler harus investasi baru, mereka juga harus kembali menyosialisasikan cara registrasi yang berbeda kepada masyarakat.
Masih maraknya penipuan melalui pesan pendek dan sambungan telepon, kata Rizal, semestinya diatasi lewat tata niaga SIM card. Produksi SIM card terus-menerus terjadi sehingga suplai di pasaran melimpah.
”Produksi SIM card baru boleh saja, tetapi jangan jor-joran. Suplai kartu yang terlalu banyak berpotensi mengandung kerentanan-kerentanan (dipakai untuk aksi penipuan),” katanya.
Praktisi hukum dan regulasi telekomunikasi, I Ketut Prihadi, mengatakan, masih ada warga yang tidak atau belum mempunyai ponsel pintar. Kelompok warga seperti ini semestinya masih bisa menggunakan nomor induk kependudukan dan kartu keluarga untuk menunaikan wajib registrasi. Kecuali, jika kelompok ini juga diwajibkan dengan registrasi memakai data biometrik.
Penyalahgunaan identitas kependudukan tanpa hak sebenarnya bisa dicegah, termasuk dalam konteks pengaktifan SIM card sebelum dipakai. Operator punya tanggung jawab terhadap pengaktifan nomor seluler yang tidak mengikuti regulasi.
”Termasuk jika wajib registrasi kartu nomor telepon seluler memakai biometrik jadi diterapkan dan itu pun diterapkan maksimal. Jika ditemui nomor yang diaktifkan tanpa data biometrik, sanksi kepada operator dapat diterapkan,” kata Ketut.