Indonesia Luncurkan Bursa Karbon Pekan Depan
Indonesia akan membuka bursa perdagangan karbon pada 26 September 2023.
–
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia bakal membuka bursa karbon bagi perusahaan di sektor energi, kehutanan, dan industri, pekan depan. Adapun peningkatan pemahaman dan kapasitas tetap dijalankan untuk menguatkan ekosistem penawaran dan permintaan dari perusahaan yang berkomitmen menurunkan emisi karbon penyebab perubahan iklim.
Kabar ini disampaikan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dalam Seminar Nasional OJK di Jambi yang disiarkan secara daring, Senin (18/9/2023). ”Menurun rencana, peluncuran bursa karbon yang perdana perdagangannya itu akan dilakukan pada 26 September ini, jadi minggu depan,” ujarnya.
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon yang tercatat dalam sertifikat pengurangan emisi karbon oleh pelaku usaha ataupun pihak lain. Pihak penjual efek unit karbon adalah perusahaan yang kegiatannya mampu menyerap dan menghasilkan sedikit emisi. Sementara itu, pihak pembeli efek unit karbon adalah perusahaan atau negara yang menghasilkan emisi dalam jumlah tinggi.
Baca juga: Perdagangan Karbon Hanya di Bursa Karbon Indonesia
Dengan peresmian bursa itu, kata Mahendra, berarti negara telah menyiapkan segala mekanisme registrasi, verifikasi, sertifikasinya, hingga perdagangan itu sendiri. Di sisi lain, pemangku kebijakan terkait akan terus melakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas kepada pelaku di ekosistem perdagangan karbon Indonesia.
”Itu adalah rencana dalam minggu depan ini, tapi secara paralel kita bersama harus terus meningkatkan diri dalam pemahaman, pengetahuan, kapasitas untuk benar-benar mengerti terhadap bagaimana membentuk ekosistem tadi,” ujarnya.
Sejauh ini, OJK belum mengumumkan perusahaan penyelenggara bursa karbon yang memenuhi kriteriaSurat Edaran OJK Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Surat edaran itu merupakan aturan teknis dari Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023. Namun, salah satu perusahaan yang telah mendaftar adalah Bursa Efek Indonesia (BEI).
Penyelenggara bursa yang ditunjuk nantinya akan memperdagangkan efek unit karbon berbentuk Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Bagi Pelaku Usaha (PTBAE- PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). PTBAE-PU dan SPE-GRK ditetapkan oleh kementerian penanggung jawab sektor dalam tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon, salah satunya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca juga: Menimbang Potensi Perdagangan Karbon dalam Penurunan Emisi
Efek itu wajib terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) KLHK. Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Pasar Modal OJK Antonius Hari dalam diskusi panel di kesempatan sama menjelaskan, bursa yang dijalankan melalui sistem daring SRN-PPI akan memastikan akuntabilitas dan transparansi dari setiap registrasi dan transaksi untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi karbon.
Sebagaimana tertuang dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) yang ditingkatkan, target penurunan emisi Indonesia sebesar 31,89-43,2 persen pada tahun 2030.
Antonius melanjutkan, SRN-PPI akan menentukan harga unit karbon lewat mekanisme pasar, seperti lelang atau negosiasi. Sistem itu juga bisa menentukan berapa lama sertifikat efek unit karbon ini dapat diperdagangkan. Berbeda dengan saham yang dapat dimiliki seumur hidup, efek unit karbon ditentukan perhitungan penurunan emisi karbon.
”Sertifikat ini seperti obligasi, ada umurnya seperti SUN, misalnya 3 tahun atau 5 tahun. Di sini, kita juga ikut aturan kementerian terkait, jika ada retirement dan sebagainya, ya, itu umurnya. Setting di komputer perdagangan sama. Kami hanya ikuti mendukung pemerintah untuk penurunan emisi,” tuturnya.
Suplai dan permintaan
Antonius mengatakan, saat ini, di indonesia sudah ada perusahaan-perusahaan yang menjadi penjual kredit karbon, yang bahkan secara sukarela bertransaksi di bursa karbon asing. Di sisi lain, ia mengakui pendapatan dari perdagangan karbon belum signifikan jika melihat praktik perdagangan di bursa negara lain. Selain melihat tren bursa karbon lain, ia juga melihat tren pembiayaan hijau masih sepi peminat di dalam negeri.
”Ada pengalaman kita di beberapa efek, kita pernah launching green bond, itu sudah cukup lama tapi enggak banyak yang menerbitkan. Kita juga pernah launching derivatif keuangan, ternyata sampai sekarang juga enggak banyak. Kami tidak ingin seperti itu sebenarnya. Jadi, mohon bantuannya teman-teman stake holder untuk meramaikan bursa,” tuturnya.
Sementara itu, ia juga berharap bursa ini akan diminati pembeli efek dari perusahaan sektor energi, kehutanan, dan industri, yang diakomodasi. Ia mengatakan, pemulihan lingkungan yang selama ini sulit didanai negara berpotensi untuk diciptakan bursa karbon serta mekanisme ekonomi lain, seperti pajak karbon yang tengah disusun.
”Menteri Keuangan pernah bilang, untuk menangani lingkungan, perlu Rp 8.000 triliun. Duitnya dari mana? Salah satunya mungkin dengan menerapkan ini. Ada dana yang bisa dikontribusikan oleh orang-orang yang mencemari lingkungan dengan beli efek karbon. Kalau itu enggak bisa, ya, carbon tax, dimahalin daripada mereka berupaya mencegah emisi karbon,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Direktur Mobilisasi dan Sumberdaya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Wahyu Marjaka mengatakan, jelang pembukaan bursa karbon, pihaknya telah menyiapkan empat Lembaga Validasi dan/atau Verifikasi (LVV) Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang diakreditasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Komisi Akreditasi Nasional (KAN). Lembaga ini bertugas memverifikasi dan memvalidasi aksi mitigasi lingkungan yang dihitung badan usaha pembeli atau penjual efek.
”Aksi mitigasi clear dan harus surplus. Kalau tidak surplus, harus ada aksi tambahan atau beli (efek) karbon, bukan menjual. Untuk ini, perlu tim independen untuk verifikasi dan validasi atau LVV NEK. Indonesia saat ini sudah dan kita yakinkan minggu ini selesai nilai LVV NEK, yang sementara baru ada empat, memang di belakangnya masih antre untuk prospek ke depan,” ujarnya.Baca juga: Perdagangan Karbon Masih Beri Celah Perusahaan Terus Melepas Emisi
Mekanisme perdagangan karbon di Indonesia oleh pemerhati lingkungan dinilai mudah diimplementasikan daripada harus membatasi emisi bagi pihak pencemar. Namun, Senior Campaign Strategist Greenpeace International Tata Mustasya menilai, implementasi ini memiliki hasil atau dampak yang kecil dibandingkan dengan upaya penurunan emisi lainnya.
”Secara prinsip, implementasi perdagangan karbon tidak memadai karena memiliki semacam lisensi untuk tetap mencemari dengan membeli dan menyeimbangkan jejak karbon. Mendorong perdagangan karbon masih jauh berada di jalur yang tepat untuk memitigasi krisis iklim,” ucapnya (Kompas, 7/9/2023).
Ia berpendapat, dari aspek kebijakan, upaya menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim seharusnya dilakukan dengan reformasi fiskal, yakni menerapkan transisi hijau dari sektor ekonomi pencemar ke sektor bersih. Adapun implementasinya dapat berupa kebijakan yang konsisten untuk disinsentif untuk sektor pencemar dan insentif untuk sektor bersih.
”Disinsentif untuk sektor pencemar, misalnya, pajak karbon atau pajak produksi untuk kegiatan pertambangan,” katanya.
Menurut Tata, saat ini beberapa perusahaan besar di dunia juga sudah memiliki kesadaran untuk meninggalkan skema penyeimbangan jejak karbon dan beralih ke pengurangan emisi dalam operasionalisasi perusahaan. Cara ini dipandang lebih efektif dan fundamental dalam mengurangi emisi dibandingkan dengan mendorong perusahaan melakukan perdagangan karbon.
”Peran negara sangat besar dan penting untuk mendorong atau mengarahkan hal ini, bukan justru menyerahkannya ke market dalam bentuk perdagangan karbon,” ujarnya.