Ekspor Listrik ke Singapura Perlu Disertai Transfer Teknologi
Rencana kerja sama perdagangan listrik Indonesia dan Singapura dinilai membawa keuntungan, termasuk transfer pengetahuan dan teknologi bagi Indonesia. Regulasi ekspor listrik juga diperlukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Siluet warga di bawah saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) di kawasan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (1/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Rencana kerja sama Indonesia-Singapura terkait jual beli daya listrik sebesar 2 gigawatt dinilai dapat menghadirkan peluang transfer teknologi dan pengetahuan di bidang energi terbarukan. Apabila kerja sama itu terealisasi dengan optimal, akan ada peningkatan daya saing sumber daya manusia Indonesia.
Ahli ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/9/2023), mengatakan, kerja sama Indonesia-Singapura di sektor energi terbarukan diharapkan dapat berdampak pada meningkatnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
”Listrik yang dihasilkan rencananya dari pembangkit energi terbarukan yang dibangun di sekitar Batam (Kepulauan Riau). Secara business to business, ini akan menguntungkan semua pihak. Selain itu, jika memang berjalan, akan terjadi transfer of knowledge serta teknologi dalam pengembangan energi terbarukan. Manfaat ini harus dioptimalkan dan baik untuk SDM kita,” ujar Fahmy.
Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) telah dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dengan Second Minister for Trade and Industry Singapura Tan See Leng di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (8/9/2023) lalu. MOU itu meliputi kerja sama energi rendah karbon dan interkoneksi listrik Indonesia-Singapura.
Singapura akan menyampaikan data mengenai kebutuhan listrik, mencakup kapasitas serta kualitasnya. Indonesia juga akan menyampaikan informasi kemampuan serta potensi yang dimiliki. Tan See Leng, Jumat (8/9/2023), menyebutkan, dari target 4 gigawatt (GW) impor listrik rendah karbon 2035, separuhnya atau 2 GW akan dipasok dari Indonesia.
Kerja sama itu juga beriringan dengan kesepakatan pengembang serta pabrikan panel surya dan baterai yang melibatkan sejumlah perusahaan sehingga nantinya akan bersifat business to business. Akan tercipta ekosistem energi terbarukan dari hulu ke hilir guna menghasilkan listrik rendah karbon yang dapat menunjang kebutuhan energi Indonesia dan Singapura.
Fahmy menyatakan, apabila energi terbarukan itu terus berkembang, hal itu juga akan berdampak positif bagi pengembangan energi terbarukan dan kelistrikan di dalam negeri. ”Hanya, ke depan mungkin akan diperlukan beberapa regulasi yang akan mengatur tentang ekspor listrik tersebut,” kata Fahmy.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menambahkan, kerja sama itu merupakan kesempatan untuk memulai industri manufaktur dalam negeri sehingga tidak lagi bergantung impor. Sebab, bagian kesepakatandalam kerja sama itu ialah adanya industri panel surya dan battery energy storage system yang dibangun di dalam negeri.
”Mudah-mudahan itu membantu memudahkan akses ke modul surya berkualitas dalam negeri, dan juga harga yang lebih murah. Juga diharapkan membantu memenuhi regulasi TKDN (tingkat komponen dalam negeri),” kata Deon.
Dalam diskusi terkait peta jalan energi inklusif yang digelar Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) di Jakarta, Jumat malam lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, konektivitas kelistrikan yang bersumber dari energi bersih menjadi hal yang dipromosikan Pemerintah Indonesia.
Penandatanganan MOU dengan Singapura terkait ekspor listrik pun bagian dari rencana tersebut. ”Ini tindak lanjut dari pertemuan antarmenteri energi di ASEAN (di Bali, Agustus 2023). Konektivitas kelistrikan antarnegara di ASEAN akan dibangun. Dari aspek ekspor listrik berbasis energi bersih, ini akan menjadi yang pertama,” ujar Dadan.
Kebutuhan energi kawasan
Dalam acara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, berdasarkan laporan Bank Pembangunan Asia (ADB), pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara diperkirakan mencapai 4,6 persen pada 2023 dan 4,9 persen pada 2024. Seiring dengan itu, pertumbuhan energi pun diyakini bakal terus meningkat. Dalam memenuhi itu, energi fosil masih akan dominan.
Namun, untuk jangka panjang, negara-negara ASEAN berkomitmen untuk mengembangkan energi terbarukan. ”Sumber daya energi terbarukan di ASEAN lebih dari 17.000 gigawatt, yang sebagian besar berasal dari tenaga surya dan angin. ASEAN berupaya menerapkan transisi energi untuk mencapai NZE (emisi nol bersih) pertengahan abad ini,” katanya.
Dereta panel surya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal di perkampungan nelayan Malahing, Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Sabtu (10/6/2023). PLTS komunal yang mulai beroperasi sejak tahun 2013 itu berhenti digunakan warga sebagai sumber listrik pada tahun 2017 karena kerusakan pada baterai.
Untuk Indonesia, imbuh Arifin, peta jalan transisi energi pun telah dibuat, yang antara lain bertujuan untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat. Dalam peta jalan itu, Indonesia berencana mengembangkan 700 GW energi terbarukan, yang meliputi energi surya, hidrogen, energi laut, panas bumi, serta nuklir.
Ia menambahkan, negara-negara ASEAN juga bersepakat interkonektivitas energi secara berkelanjutan menjadi bagian penting dalam transisi energi. Di samping energi terbarukan, gas juga akan dioptimalkan. Kendati masuk kategori energi fosil, emisi yang dihasilkan dari gas lebih rendah daripada energi fosil lainnya sehingga bisa menjadi jembatan.
Apalagi, cadangan gas di ASEAN sekitar 130 triliun kaki kubik (TCF), antara lain terdiri dari Indonesia 44 TCF, Malaysia 32 TCF, dan Vietnam 22,8 TCF. ”ASEAN Power Grid dan Pipa Gas Trans-ASEAN (TAGP) akan meningkatkan pemanfaatan energi bersih dan energi terbarukan lintas wilayah,” katanya.
Di samping itu, kata Dadan, konektivitas kelistrikan antardaerah di Indonesia juga akan ditingkatkan. Sumber daya energi terbarukan yang melimpah ke depan diharapkan dapat terdistribusikan ke pusat-pusat permintaan (demand) dengan supergrid. ”Termasuk untuk pengembangan smelter, untuk mendukung industri hilirisasi mineral,” ujarnya.