Pertambangan sebagai lokomotif perekonomian nasional, dampak ekonominya harus menetes pada sektor-sektor lain. Implementasi hilirisasi harus terintegrasi dengan pembangunan industri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komoditas tambang strategis Indonesia berpotensi menjadi modal mewujudkan visi Indonesia Maju 2045. Syaratnya, nilai tambah potensi mineral itu meningkat hingga ekosistem industri pendukungnya. Kolaborasi dari hulu ke hilir oleh antarpemangku kepentingan amat dibutuhkan.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, nikel, timah, bauksit, dan tembaga termasuk komoditas mineral strategis dengan cadangan melimpah.
”Dengan hilirisasi yang menghasilkan produk-produk turunan, ada nilai tambah lebih tinggi, yang juga akan meningkatkan daya saing RI terhadap negara-negara lain. Hilirisasi menjadi salah satu fundamen dasar strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Seto dalam diskusi ”Tantangan dan Kebijakan Hilirisasi di Indonesia”, di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Selain Seto, hadir dalam diskusi menjelang Indonesia Mining Summit 2023 itu, Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau dan Presiden Direktur PT Kalimantan Aluminium Industry Wito Krisnahadi. Hadir pula Vice President Government Relations and Smelter Technical Support PT Freeport Indonesia Harry Pancasakti dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman.
Hilirisasi, menurut Seto, mesti dikembangkan sebagai bagian ekosistem industri, bukan komoditas per komoditas. Ekosistem itu menjadi arah kebijakan pemerintah sehingga muncul keterhubungan dan keberlanjutan antara produk turunan tambang dan industri penyerapnya.
Kendati terus dipacu, hilirisasi mineral menghadapi sederet tantangan. Dari sisi pasokan energi untuk smelter, misalnya, masih perlu disesuaikan dengan karakteristik Indonesia di tengah transisi energi. Begitu juga kepastian serapan pasar domestik saat satu komoditas sudah dikembangkan hingga lebih hilir dan skala produksinya meningkat pesat.
Namun, tantangan paling krusial pastinya kualitas sumber daya manusia. Seto menyebutkan, saat ini dalam hal teknologi pemrosesan mineral, China menjadi yang paling maju. Misalnya, dalam hal efisiensi, belanja modal, dan biaya operasi. Indonesia perlu belajar dari ”Negeri Tirai Bambu”.
Rachmat menilai, pemerintah sudah optimal dalam mengembangkan smelter guna meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri. Namun, kelanjutannya pun harus dipikirkan. Contohnya pada tembaga yang akan menjadi peluang bagi Indonesia karena pada 2028-2029 produksi di dunia akan lebih dari permintaan (demand). Namun, serapan domestik hanya berkisar 25-30 persen, sisanya diekspor.
”Oleh karena itu, bagaimana caranya industri yang di dalamnya ada tembaga ini dapat kita bawa ke Indonesia agar produksi tembaga dalam negeri termanfaatkan. Pada nikel, ekosistemnya sudah teridentifikasi atau terbentuk. Namun, untuk tembaga, kami melihatnya, belum,” kata Rachmat.
Terkait dengan produk hilir tembaga, Harry menuturkan, secara keseluruhan, Indonesia kini menghasilkan 300.000 ton katoda tembaga per tahun. Pada 2024, produksi nasional akan menjadi 1 juta ton per tahun, sedangkan industri domestik hanya mampu menyerap sekitar 25 persen.
”Perlu ada kebijakan hulu-hilir yang pas agar produksi yang melimpah pada beberapa tahun mendatang ini bisa terserap optimal di pasar dalam negeri. Jadi, perlu disesuaikan antara kebutuhan domestik, ekspor, dan produksi,” ucapnya.
Agar strategi dari hulu ke hilir optimal, Wito berpendapat, kolaborasi antarpemangku kepentingan sangat penting. Menurut dia, strategi hilirisasi dan penciptaan ekosistem industri tidak cukup dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi lewat kerja sama semua pihak.
”Mau atau tidak, kolaborasi menjadi sangat penting dan kunci dari keberhasilan hilirisasi,” kata Wito.
Dampak kesejahteraan
Rizal menuturkan, di satu sisi, pertambangan adalah sektor yang memberikan nilai tambah dan berkontribusi pada peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) di lokasi tambang. Namun, dalam praktiknya, masih ada ketidakseimbangan antara pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah lokasi pertambangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, PDRB per kapita Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, (sentra nikel) pada 2022 ialah Rp 831,8 juta atau lebih tinggi dibandingkan dengan 13 kabupaten/kota yang memiliki sumber daya tambang. Namun, tingkat kemiskinan kabupaten itu pada 2022 mencapai 12,58 persen atau di atas rata-rata nasional yang 9,57 persen.
”Jika pertambangan akan menjadi lokomotif perekonomian nasional, dampak ekonominya juga harus menetes pada sektor-sektor lain. Implementasi hilirisasi harus terintegrasi dengan pembangunan industri. Saat ini belum tampak karena masifnya investasi nikel relatif masih baru. Namun, ini tetap perlu menjadi catatan ke depan agar hilirisasi ini dapat berdampak pada sektor industri lainnya,” ujar Rizal.