Hilirisasi Mulai Berdampak, Besi dan Baja Dominasi Ekspor ke China
Ekspor Indonesia ke China meningkat pada Agustus 2023 yang didominasi besi dan baja. Apabila pemerintah konsisten menjalankan program hilirisasi, struktur ekspor Indonesia dapat berubah.
JAKARTA, KOMPAS — Program hilirisasi mulai terlihat dari peralihan struktur komoditas ekspor ke China. Pemerintah perlu membuat ekosistem hilirisasi yang terjaga.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (15/9/2023), menyebutkan, nilai ekspor pada Agustus 2023, baik dari sektor migas maupun nonmigas, sebesar 22 miliar dollar AS. Angka itu naik 5,47 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Meski secara umum nilai ekspor turun hingga 21,21 persen secara tahunan (yoy), nilai ekspor ke China justru meningkat. Pada Januari-Agustus 2023, nilai ekspor ke China mencapai 40.220,9 juta dollar AS, naik 3,02 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. China menjadi jadi satu-satunya negara tujuan ekspor yang nilainya meningkat di antara 13 negara tujuan utama lainnya.
Secara khusus, ekspor nonmigas Indonesia ke China didominasi besi dan baja sejak 2022. Pada 2022, ekspor besi dan baja mencapai 29,9 persen, berlanjut pada Januari-Agustus 2023 yang mencapai 28,58 persen.
Sebelumnya, ekspor ke China didominasi bahan bakar mineral yang mencapai 29,62 persen pada 2021, lalu turun menjadi 24,40 persen pada 2022, dan 26 persen hingga Agustus 2023. Artinya, ada peralihan struktur ekspor nonmigas Indonesia ke China.
Dalam periode yang sama, nikel dan barang daripadanya juga mulai diekspor ke China. Pada 2022, proporsinya sebesar 7,01 persen, meningkat pada Januari-Agustus 2023 yang mencapai 8,22 persen.
”Hal ini seiring dengan kebijakan hilirisasi dan pembangunan smelter pengolahan bijih nikel,” kata Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Gedung BPS, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Kinerja Ekspor Bakal Berjalan Tersendat-sendat
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, permintaan dari China itu digunakan untuk aktivitas industrinya. Oleh karena itu, program hilirisasi pemerintah perlu terus didorong karena hilirisasi digadang-gadang dapat mengubah struktur ekspor Indonesia yang saat ini mulai terlihat.
”Kalau ini konsisten selama 1-2 tahun ke depan, bisa mengubah struktur ekspor. Hilirisasi tidak hanya sampai ke smelter saja, tetapi olahan barang akhirnya juga harus lebih banyak lagi,” ujar Ahmad.
Ahmad menilai, peningkatan ekspor harus memiliki dampak berganda atau multiplier effect pada perekonomian daerah. Kesejahteraan masyarakat dan lapangan pekerjaan di daerah harus bertambah guna mendongkrak perekonomian daerah yang pada akhirnya berkontribusi pada ekonomi nasional.
Bacajuga: Ekspor RI Turun akibat Pola Musiman dan Pelemahan Permintaan
Oleh karena itu, pemerintah perlu konsisten menjalankan hilirisasi, diikuti dengan strategi yang efektif. Sebab, fokus Indonesia mengoptimalkan nilai tambah, bukan memperlebar pangsa pasar industri.
Pekerja mengolah bijih nikel menjadi feronikel di smelter milik Grup Harita Nickel, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).
Dalam strategi jangka panjang dan pendek, lanjut Ahmad, ekosistem perlu dibentuk. Hilirisasi tidak hanya persoalan pelarangan ekspor bahan baku, tetapi tetap perlu memerhatikan kesiapan tenaga kerja, insentif fiskal, infrastruktur, dan energi. Ekosistem ini yang perlu diciptakan pemerintah.
BPS juga melaporkan, secara bulanan, nilai ekspor dari seluruh sektor masih tumbuh. Kenaikan tertinggi disumbang sektor pertambangan dan lainnya dengan kenaikan bulanan hingga 15,37 persen. Ekspor hasil pertambangan itu didukung komoditas bijih tembaga, liknit, bijih seng, bahan mineral lainnya, dan bijih timbal.
”Secara tahunan, penurunan terjadi, baik pada ekspor migas maupun nonmigas. Penurunan nilai ekspor ini melanjutkan tren sejak awal tahun, terutama disebabkan harga-harga komoditas unggulan di pasar global yang pada tahun ini relatif lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” ujar Amalia. Adapun ekspor nonmigas pada Agustus 2023 mencapai 20,69 miliar dollar AS, naik 5,35 persen dari bulan sebelumnya. Namun, angka itu turun 21,25 persen dibandingkan ekspor nonmigas pada Agustus 2022.
Sementara itu, nilai impor Indonesia sebesar 18,88 miliar dollar AS pada Agustus 2023 menyusut secara bulanan dan tahunan dari seluruh sektor. Nilainya turun 3,53 persen dari Juli 2023, sedangkan tahunan menyusut 14,77 persen dibandingkan dengan Agustus 2022.
Impor migas turun 15,01 persen pada Agustus 2023 dibandingkan bulan sebelumnya terjadi karena impor minyak mentah yang turun. Impor nonmigas menyusut 1,34 persen.
Impor beras terbesar sepanjang Januari-Agustus 2023 berasal dari Thailand dengan volume 802.000 ton atau mencakup 50,36 persen dari total impor beras.
Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beras. Impor komoditas ini sebesar 1,59 juta ton yang didominasi semi-milled or wholly milled rice pada periode Januari-Agustus 2023. Proporsinya mencapai 88,52 persen.
”Impor beras terbesar sepanjang Januari-Agustus 2023 berasal dari Thailand dengan volume 802.000 ton atau mencakup 50,36 persen dari total impor beras,” kata Amalia.
Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia masih surplus sekaligus mempertahankan statusnya selama 40 bulan berturut-turut hingga Agustus 2023. Neraca perdagangan kumulatif sebesar 24,34 miliar dollar AS, naik 1,83 persen dibandingkan dengan bulan lalu, tetapi turun 2,65 persen secara tahunan.
Baca juga: Jangan Tekan Impor demi Target Surplus dengan Thailand dan Laos
Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beras. Impor komoditas ini pada periode Januari-Agustus 2023 sebesar 1,59 juta ton yang didominasi semi-milled or wholly milled rice. Proporsinya mencapai 88,52 persen.
Volume impor beras bulanan selama Januari-Agustus 2023 sekitar 0,2 juta ton. Sepanjang delapan bulan itu, impor terendah terjadi pada Maret 2023 sebesar 0,06 juta ton. Namun, besar-kecilnya volume impor tetap berdasar permintaan pasar.
”Impor beras terbesar sepanjang Januari-Agustus 2023 berasal dari Thailand dengan volume 802.000 ton atau mencakup 50,36 persen dari total impor beras,” ujarnya.
Selain Thailand, impor beras disokong pula dari sejumlah negara, antara lain Vietnam (674.000 ton), India (66.000 ton), dan Pakistan (45.000 ton).