Pertamina Terbitkan 781 Surat Sanksi untuk Penyalur Elpiji
781 surat sanksi itu terdiri dari 547 surat untuk lembaga penyalur elpiji subsidi dan 15 surat untuk lembaga penyalur elpiji nonsubsidi. Di samping itu, ada 183 SPBE subsidi dan 36 SPBE nonsubsidi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja menata tabung elpiji 3 kilogram di pangkalan elpiji.
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero), per 8 September 2023, menerbitkan total 781 surat sanksi kepada lembaga penyalur dan stasiun pengisian bulk elpiji atau SPBE karena melanggar peraturan terkait distribusi elpiji. Komisi VII DPR menilai diperlukan sanksi lebih tegas dan penguatan sistem dalam pengawasan penyaluran elpiji.
Berdasarkan data Pertamina dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 781 surat sanksi itu terdiri dari 547 surat untuk lembaga penyalur elpiji subsidi dan 15 surat untuk lembaga penyalur elpiji nonsubsidi. Di samping itu, ada 183 SPBE subsidi dan 36 SPBE nonsubsidi yang juga menerima surat sanksi.
Sejumlah pelanggaran yang dilakukan, antara lain, agen tidak melakukan pendataan laporan bulanan di aplikasi Si Melon dan tak melapor adanya perubahan pangkalan. Lalu, agen menjual ke pangkalan dengan harga tidak sesuai ketentuan, pangkalan menjual elpiji 3 kilogram (kg) di atas harga eceran tertinggi, dan adanya temuan verifikasi refill elpiji 3 kg.
Sementara itu, berdasarkan rekapitulasi Kepolisian terkait penyalahgunaan elpiji bersubsidi, hingga kini (tahun 2023), sudah ada 63 kasus, yang terdiri dari administrasi 8 kasus dan pidana 55 kasus. Kabupaten Bogor, Jawa Barat tertinggi dengan 5 kasus, disusul Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta, dengan 4 kasus.
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, di Jakarta, Rabu (13/9/2023), mengatakan, pihaknya menerapkan sejumlah sanksi, mulai dari teguran hingga pemutusan hubungan usaha terkait dengan penyaluran elpiji, baik bersubsidi maupun nonsubsidi.
”(Pelanggaran itu) karena tidak sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian antara Pertamina dan penyalur-penyalur tersebut. Pada SPBE, misalnya, surat teguran terkait dengan kinerja operasional, surat peringatan terkait pemenuhan perizinan, surat skorsing, dan surat klaim loses,” kata Riva.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan, pihaknya menerima masukan dari sejumlah anggota Komisi VII DPR, di antaranya dengan membuat rumusan regulasi dalam pengawasan dan penugasan. ”Yang lebih tegas, tepat sasaran, dan adil,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota Komisi VII DPR mendesak Ditjen Migas Kementerian ESDM, Pertamina, dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas untuk meningkatkan pengawasan, baik dalam penyaluran elpiji maupun bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, termasuk dengan pengelolaan yang terpadu dalam mengawasi berbagai pelanggaran.
”Agar mempersiapkan sistem data untuk pengawasan yang efektif dan memberi sanksi yang lebih tegas. Itu untuk memberi efek jera terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan BBM bersubsidi dan elpiji bersubsidi. Juga agar ada data yang komprehensif,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dony Maryadi Oekon.
Dalam rapat tersebut, Riva mengatakan, realisasi penyaluran elpiji 3 kg atau bersubsidi hingga Agustus 2023 mencapai 5,39 juta ton atau di atas kuota yang 5,34 juta ton. Hal tersebut juga sejalan dengan perkiraan penyaluran pada akhir 2023 yang akan mencapai 8,28 juta ton atau di atas kuota APBN yang 8 juta ton.
”Namun, realisasi CP Aramco (acuan harga elpiji) saat ini berada di bawah acuan asumsi APBN,” kata Riva.
Sejumlah anggota Komisi VII DPR dalam rapat tersebut juga mengusulkan agar ada peningkatan kuota elpiji 3 kg menjadi sesuai prognosis yang 8,28 juta ton pada akhir 2023. Namun, Dirjen Migas Kementerian ESDM tidak bisa memutuskan sehingga penegasan usulan tak dimasukkan dalam simpulan dan akan dibahas dalam rapat terpisah.
Sebelumnya, pengamat ekonomi energi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, mengatakan, distribusi elpiji 3 kg yang belum tepat sasaran diakibatkan kendala dari logistik. Pada akhirnya, di sejumlah daerah, harga di tingkat pengguna akhir kerap tak sesuai dengan HET.
Selain itu, lantaran sebagian besar kebutuhan elpiji masih dipenuhi dengan impor, pemerintah harus menganggarkan anggaran lebih seiring tren peningkatan kebutuhan energi. Ketergantungan impor pun menjadi salah satu kendala.
Tutuka menyebutkan pihaknya terus menggencarkan pendataan konsumen elpiji 3 kg dengan menunjukkan kartu tanda penduduk. ”(Saat ini) tidak tepat sasaran, betul. Namun, kami tangani dengan transformasi subsidi ke orang. Saat ini, dari 235.000 pangkalan, sudah hampir semua menerapkan itu (pendataan konsumen dalam transaksi),” ujarnya.