Saat ini tengah disusun rancangan perpres tentang ”carbon capture, utilization, and storage” (CCUS). CCUS ke depan dinilai akan menjadi bisnis tersendiri di industri minyak dan gas bumi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana salah satu penandatanganan MOU pada International & Indonesia CCS Forum 2023, yang diikuti secara daring oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Senin (11/9/2023). CCS atau teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dinilai sebagai kebutuhan di masa mendatang seiring komitmen dekarbonisasi, termasuk di industri minyak dan gas bumi.
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS dinilai akan dibutuhkan ke depan, bahkan menjadi bagian dari daya tarik investasi. Apalagi, Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan hingga 400 gigaton CO2. Adapun pemerintah tengah menyusun peraturan presiden yang akan mengatur tentang CCS.
Carbon capture, and storage (CCS) ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. CO2 dari industri minyak dan gas bumi atau lainnya, ditangkap untuk diinjeksikan ke dalam reservoir atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi) sehingga CO2 akan larut ataupun tersimpan secara permanen.
Dalam carbon capture, utilization, and storage (CCUS), karbon yang ditangkap dimanfaatkan, salah satunya untuk peningkatan produksi migas. Saat ini, ada 15 studi terkait CCS/CCUS di Indonesia. Sementara yang sudah mulai berjalan dan terdepan ialah CCUS Tangguh di Papua Barat, oleh bp, yang ditargetkan diimplementasikan pada 2027.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center (ICCSC) Belladonna Troxylon Maulianda, di sela-sela International & Indonesia CCS Forum 2023 di Jakarta, Senin (11/9/2023), mengatakan, sejumlah perusahaan yang hendak berinvestasi di Indonesia tak lagi sebatas membicarakan profit. Lebih jauh, ialah terkait apakah CCS dapat diterapkan atau tidak.
”Sebab, mereka tidak mau menambah lagi emisi dalam portofolio mereka. Sudah ada di tahap: bisa atau tidak CCS dilakukan di Indonesia? Kalau tidak, mereka enggak mau investasi. Contoh ini, dengan nilai miliaran dollar AS, ada di depan mata. Jadi (penerapan) CCS sudah menjadi pertimbangan untuk investasi,” kata Belladonna.
Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menuturkan, hal penting yang dibutuhkan dalam pengembangan CCS di Indonesia ialah kerangka kerja (framework). Oleh karena itu, penyusunan rancangan perpres terkait CCS dilakukan dan ditargetkan terbit tahun ini.
Salah satu yang dibahas dalam penyusunan rancangan perpres itu adalah soal CCS lintas batas (cross border). Artinya, CO2 dari negara-negara lain bisa diinjeksikan di reservoir di Indonesia. ”Indonesia bisa menjadi hub. Akan ada industri-industri turunan yang berkembang. Juga transfer teknologi dan penciptaan lapangan pekerjaan,” katanya.
Tanpa menyebut nama perusahaannya, Jodi menuturkan, salah satu perusahaan besar global tertarik untuk berinvestasi di bidang petrokimia di Indonesia. Dengan adanya potensi CCS di dekat lokasi produksi mereka, akan bisa dihasilkan produk petrokimia dengan emisi nol. Hal itu meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia.
Sebelumnya, telah terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Peraturan tersebut untuk memenuhi kebutuhan emisi, untuk ditangkap dan diinjeksikan dalam mendukung produksi migas serta pengurangan emisi karbon dioksida.
Petugas lapangan memantau proses injeksi karbon dioksida (CO2) di Sumur JTB-161 lapangan Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (26/10/2022). Injeksi CO2 ini merupakan penerapan dari hasil studi bersama antara PT Pertamina (Persero) dengan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation. Penerapan metode ini diharapkan dapat meningkatkan produksi minyak dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Tantangan
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, dalam penerapan CCS, ada sejumlah tantangan. Dari sisi teknis, misalnya, perlu ada jaminan bahwa setelah diinjeksikan, CO2 tidak keluar lagi atau bocor. Selain itu, saat CO2 berhubungan dengan air, maka akan bersifat korosif sehingga ada potensi kebocoran.
Sementara dari segi keekonomian, tantangannya ialah biaya tinggi untuk menginjeksikan CO2. ”Bagaimana agar biayanya tetap ekonomis. Pemerintah akan membantu. Kalau diperlukan, pemerintah akan mengevaluasi, lalu kemudian memberikan insentif,” kata Tutuka.
Tutuka menambahkan, dengan terjadinya perubahan iklim, ke depan, CO2 yang dihasilkan harus disimpan agar tak membuat temperatur bumi meningkat. Di sisi lain, hal itu juga akan menjadi bisnis tersendiri. Misalnya, industri migas tak hanya bisnis migas, tetapi bisnis fasilitas untuk penyimpanan CO2.
”Contoh, ada negara tetangga yang tidak punya reservoir migas. (CO2) mau disimpan mana? Kalau dibuang keluar, akan dikenakan pajak oleh negaranya sendiri. Jadi, migas dapat diperlebar untuk carbon management,” kata Tutuka.
Reservoir Engineering Discipline Lead Asia Pacific bp Frans Silitonga menuturkan, proyek Tangguh LNG (liquified natural gas) di Papua Barat, yang mulai berproduksi 2009, sejak awal sudah memikirkan untuk mengelola CO2 yang dihasilkan. Namun, ketika itu regulasinya belum ada. Selain itu, teknologinya pun masih dalam tahap berkembang.
”Jadi, proyek ini untuk tahap selanjutnya (dari proyek LNG Tangguh). CO2 di Tangguh kami tangkap untuk kemudian diinjeksikan. Status CCS Tangguh sudah mendapat persetujuan POD (plan of development) dari pemerintah pada 2021 dan saat ini dalam proses FEED (front-end engineering design). Ditargetkan (implementasi) pada 2027,” kata Frans.