Jika bank melihat masalah, mereka akan menaikkan suku bunga. Menurut Joseph, langkah itu tidak tepat dan justru menimbulkan risiko terbesar dalam perekonomian global.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Ekonom AS dan penerima Nobel, Joseph E Stiglitz (tengah), dalam sesi diskusi pada helatan Bloomberg CEO Forum yang diadakan di Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Bagi ekonom Amerika Serikat, Joseph E Stiglitz, langkah bank sentral AS atau The Fed menaikkan suku bunga bukan obat yang tepat untuk menangani laju kenaikan harga atau inflasi yang diakibatkan guncangan pasokan. Langkah itu justru menekan perekonomian global saat ini. Pendapat itu muncul dalam sesi diskusi pada helatan Bloomberg CEO Forum yang diadakan di Jakarta, Rabu (6/9/2023). Berikut petikan wawancara harian Kompas dengan peraih Nobel bidang ekonomi tersebut.
Bagaimana pandangan Anda terhadap proyeksi ekonomi dunia?
Ketidakpastian masih melanda dunia meskipun dampak pandemi Covid-19 saat ini terkendali. Belum berakhirnya invasi Rusia ke Ukraina menjadi salah satu sumber ketidakpastian yang berdampak secara global pada harga pangan dan energi. Ada dua hal pokok yang ingin saya sampaikan. Pertama ialah inflasi yang dipicu oleh pandemi dan perang Rusia-Ukraina beserta dampaknya sekaligus strategi bank sentral mengelola situasi tersebut. Kedua mengenai situasi geopolitik.
Pertama-tama tentang inflasi pada awal pemulihan pandemi. Tingkat inflasi pada saat itu belum pernah kita alami selama beberapa dekade terakhir sehingga menjadi tantangan bagi bank sentral. Bank sentral mesti mengendalikan inflasi. Namun, inflasi kali ini berbeda dengan yang biasanya dihadapi bank sentral. Saya mengakui, sejumlah bank sentral keliru dalam mendiagnosis permasalahan inflasi ini. Saya mengibaratkan, bank sentral adalah tukang kayu (carpenter) yang memiliki satu alat, yakni palu. Satu-satunya instrumen yang dimiliki bank sentral adalah suku bunga acuan. Jika mereka melihat masalah, mereka akan menaikkan suku bunga. Menurut saya, langkah itu tidak tepat dan justru menimbulkan risiko terbesar dalam perekonomian global.
Inflasi karena pandemi dan perang berkaitan dengan gangguan dan guncangan pasokan (supply shock) serta pergeseran permintaan. Sebagai ilustrasi, kenaikan harga mobil pada mula dan pertengahan pandemi. Pada saat itu, para produsen lengah dalam memesan cip untuk produksi mobil. Akibatnya, proses produksi mobil tertunda karena menunggu cip yang rantai pasoknya sedang terganggu. Produksi yang tertunda sementara menyebabkan kenaikan harga.
Di tengah situasi inflasi yang seperti itu, bank sentral seperti The Fed merespons dengan langkah yang seperti biasa, mereka menaikkan suku bunga acuan. Langkah ini bukan resep obat yang tepat. Inflasi memang turun hingga ke posisi 3 persen. Namun, keputusan The Fed menaikkan suku bunga menimbulkan konsekuensi global. Negara-negara di Eropa cenderung menaikkan suku bunga acuan untuk menangani dampak nilai mata uang. Sayangnya, negara-negara di Eropa belum tentu memiliki kapasitas fiskal seperti AS. Contohnya, kebijakan Jerman yang tidak ingin memiliki defisit fiskal. Dampaknya, kemampuan respons fiskal Jerman terbatas, apalagi setelah mengalami defisit untuk penanganan pandemi. Artinya, negara-negara tersebut mengetatkan moneter tetapi minim pelonggaran fiskal sehingga mendekatkan mereka pada jurang resesi. Padahal, perang berada di benua yang sama dan mengakibatkan inflasi tetap tinggi di Eropa. Sejumlah negara di Eropa pun menghadapi kenaikan harga energi.
Situasi yang juga patut dicermati adalah China. Saya berpendapat, pengelolaan pemulihan pandemi di China kurang tepat. Hal ini ditandai dengan tingginya angka pengangguran, khususnya di generasi muda. Generasi muda pun menghadapi kesulitan di pasar properti. Hal ini menimbulkan masalah lantaran permintaan global menurun, apalagi AS berupaya mengurangi permintaan ke China.
Hal kedua adalah soal risiko dari munculnya pola geopolitik baru. Dua partai di AS sepakat menganggap China sebagai masalah. Namun, transisi hijau yang tengah dijalankan di AS menggunakan material dari China. Bahan baku untuk produksi obat-obatan berasal dari China. Artinya, AS dan China saling bergantungan. Ke depan akan muncul beragam tensi dari kedua pihak yang membuat saya tidak senang.
Menurut Anda, apa yang sebenarnya terjadi dalam The Fed sehingga terbentuk keputusan yang demikian?
Saya yakin, pimpinan The Fed memahami guncangan permintaan terjadi hanya sementara. Kita tidak tahu sementara ini berapa lama, sedangkan sejumlah faktor terkait mendorong inflasi. Kami gagal menjelaskan risiko-risiko yang terjadi jika menaikkan suku bunga sangat cepat dan tinggi, termasuk dampak terhadap perekonomian global, khususnya pada negara berkembang yang memiliki utang demi menangani pandemi Covid-19. Utang mereka pun ikut naik (karena bunga yang harus dibayar). Belum lagi persoalan perubahan iklim. Perubahan iklim membutuhkan banyak investasi. AS memang mampu mendapatkannya. Namun, negara berkembang seperti Indonesia belum tentu bisa memperolehnya. Bayangkan ketika negara-negara tersebut meminjam uang untuk transisi hijau, tetapi tertekan oleh tingginya bunga yang mesti dibayar.
Di tengah situasi seperti itu, seperti apa posisi jaring pengaman keuangan (financial safety net) dan peran lembaga penjamin simpanan (deposit insurance institution)?
Secara umum, tidak ada konsensus di antara ekonom terkait kebutuhan terhadap lembaga penjamin simpanan. Peraih Nobel tahun lalu mengembangkan model perbankan yang berjalan tanpa penjamin simpanan namun memberikan kepercayaan dalam mencegah kebangkrutan. Kebangkrutan bank dapat merugikan perekonomian secara besar-besaran.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Pengunjung berbelanja kue Lebaran dalam Bazar Ramadhan yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Barat di pelataran parkir Kantor Gubernur Sumbar, Kota Padang, Selasa (11/4/2023). Bazar yang digelar 11-14 April ini diikuti 200 peserta yang menjual produk UMKM, pakaian, bahan pokok, dan sebagainya. Bazar diharapkan bisa menekan laju inflasi di Sumbar.
Di sisi lain, terdapat analisis menarik. Risiko bank mengalami kebangkrutan tetap ada. Namun, jika ada lembaga penjamin simpanan yang menyentuh langsung masyarakat, kita tidak perlu cemas karena sistem keuangan tetap berjalan. Di titik inilah saya pikir lembaga penjamin simpanan sangat penting.
Selain itu, pastikan terdapat regulasi terhadap penjaminan. Apabila Anda memberikan jasa penjaminan simpanan, pastikan bank tidak terlibat dalam gambling dan inside trading. Pada prinsipnya, seorang nasabah menyetorkan uangnya untuk disimpan di bank. Nasabah mengharapkan dapat menarik uangnya kembali ketika membutuhkan. Dalam hal ini, penjamin simpanan perlu mengawasi simpanan tersebut karena merupakan salah satu kepentingan publik.
Kejadian yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB) sangat tepat mengilustrasikan kejadian tersebut. Sebagian nasabah SVB adalah usaha rintisan sehingga berperan strategis dalam budaya wirausaha AS. Saya pun memiliki keterkaitan pribadi dengan peristiwa tersebut. Putri saya merupakan seorang CEO perusahaan teknologi finansial yang menjadi salah satu nasabah SVB. Dia baru saja mendapatkan suntikan dana jutaan dollar AS dan menyimpannya di SVB semalam sebelum bank itu bangkrut. Ketika bangkrut, putri saya bertanya, ”Bagaimana aku menarik uang dari sana? Aku ingin menarik semua uang.” Dia tidak bisa menarik uangnya. Dia tidak dilindungi oleh lembaga penjamin.
Bagaimana pandangan Anda terhadap bahaya moral dalam sistem penjaminan?
Bahaya moral terdapat di regulasi pengawasan. Dalam kasus yang saya ceritakan, saya dan putri saya sebagai nasabah tidak mungkin memantau para pengawas. Pemerintah melalui pihak pengawas dapat memiliki waktu penuh meninjau kinerja perbankan. Nasabah tidak mengawasi perbankan. Jadi, menurut saya, bahaya moral dalam kasus itu terletak di sisi pengawas.