Penyederhanaan RKAB untuk Perbaikan Tata Kelola Tambang
Penyederhanaan penyusunan dan persetujuan RKAB dinilai perlu agar ada perbaikan tata kelola serta efisiensi. Di sisi lain, integritas juga terus dikedepankan pada bidang pertambangan minerba.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Truk-truk berukuran besar lalu-lalang di areal tambang batubara di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Rabu (18/2/2015). Sistem penambangan terbuka (surface open-cut mining) yang diterapkan perusahaan-perusahaan tambang batubara di Kalsel menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan menerbitkan rancangan peraturan menteri terkait rancangan kerja dan anggaran biaya atau RKAB mineral dan batubara. Regulasi itu akan menyederhanakan proses persetujuan RKAB sehingga diharapkan ada perbaikan tata kelola di bidang mineral dan batubara.
Pada Rabu (6/9/2023) di Jakarta, digelar konsultasi publik rancangan peraturan menteri tersebut. Kegiatan yang juga disiarkan secara daring itu dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari perwakilan pelaku usaha bidang pertambangan mineral dan batubara (minerba) hingga pemerintah daerah.
Koordinator Hukum Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Syafriansyah Yanwar menjelaskan, rancangan peraturan menteri itu merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Salah satu hal yang akan diatur ialah masa penyusunan dan persetujuan RKAB yang terbagi dua. Pertama, tahap kegiatan eksplorasi yang disusun untuk kegiatan selama satu tahun. Kedua, tahap kegiatan operasi produksi yang disusun untuk kegiatan dalam jangka waktu tiga tahun.
Kemudian, ada sanksi administratif kepada pemegang izin berupa pencabutan izin tanpa pengenaan sanksi peringatan tertulis dan sanksi penghentian sementara. Hal itu diberikan apabila pemegang izin melakukan kegiatan usaha pertambangan tanpa memiliki persetujuan RKAB.
”(Itu) dalam rangka perbaikan tata kelola dan efisiensi dalam pelayanan perizinan pertambangan minerba. (Sehingga) Perlu dilakukan pengaturan kembali konsep penyusunan, evaluasi, dan persetujuan RKAB,” kata Syafriansyah.
Ia menambahkan, dengan terbitnya peraturan menteri tersebut kelak, untuk 2024 sudah bisa diajukan RKAB untuk tiga tahun ke depan (untuk tahap operasi produksi). Adapun waktu pengajuan untuk 2024 dimulai Oktober 2023 hingga pertengahan November 2023.
Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sulawesi Tenggara Hasbullah memandang positif akan diterbitkannya rancangan peraturan menteri ESDM untuk penyederhanaan RKAB itu. Menurut dia, pengaturan diperlukan, terutama terkait prosedur serta sumber dan jumlah cadangan minerba terkait.
Di samping itu, ia meminta peninjauan kembali terkait penerbitan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang diatur Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba. Khususnya untuk mineral bukan logam dan batuan, pada jenis laterit dan peridotit. Jika tidak diperbaiki, menurut dia, bisa menjadi bom waktu.
”Laterit itu tanah merah, tapi praktiknya (mereka) menambang nikel. Kami (pemda) yang kena karena kami dianggap menerbitkan sesuatu yang menjadi potensi pelanggaran. Padahal, di OSS (Online Single Submission) ada, feasibilty study-nya juga ada, tetapi praktiknya menambang nikel. Menurut kami, ini pekerjaan rumah yang mendesak,” tuturnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, berpendapat, rancangan peraturan menteri ESDM itu memang dimaksudkan agar ruang diskresi pejabat dalam mengeluarkan keputusan atau persetujuan RKAB tidak disalahgunakan. Juga memitigasi terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara atau unsur korupsi lainnya.
Saat sudah diterbitkan kelak, diharapkan ada sistem yang lebih baik dalam pengurusan serta penyusunan RKAB. ”Dari sistem yang lebih baik tersebut, kita harapkan penyalahgunaan wewenang (terkait dengan RKAB) tidak terjadi,” kata Akmaluddin saat dihubungi, Rabu.
KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Salah satu lokasi penambangan bauksit di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, saat dipotret dari udara, Minggu (1/5). Maraknya penambangan bauksit di Pulau Bintan menimbulkan kerusakan lingkungan. Di antaranya, pembabatan hutan dan bakau, sedimentasi di kawasan pantai, dan pencemaran lingkungan akibat limbah pencucian bauksit.
Jangan ada suap
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Suswantono menuturkan, banyak permasalahan di bidang minerba. Setelah kewenangan perizinan ditarik dari daerah ke pusat, Ditjen Minerba Kementerian ESDM, dengan personel terbatas, harus menghadapi 6.000-7.000 perizinan. Padahal, sebelumnya 300-400 perizinan.
Pihaknya berkomitmen mengoptimalkan pelayanan terkait dengan perizinan. ”Tetapi mohon semua (badan usaha) harus melalui prosedur. Tidak ada yang potong kompas (ambil jalan pintas). Saya juga menyampaikan kepada jajaran agar tidak ada lagi yang main suap dan gratifikasi. Ini akan membuat tata kelola buruk,” ujar Bambang, yang juga purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Laut.
Menurut Bambang, pihaknya akan menggandeng semua pemangku kepentingan, termasuk aparat penegak hukum. Setelah bertemu dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia juga akan berbicara dengan pihak Kejaksaan Agung RI. Koordinasi juga dilakukan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Djoko Widajatno dari Indonesia Mining Associaton berharap Ditjen Minerba meningkatkan intensitas komunikasi dengan dunia usaha. ”Mohon dibuka pintu adanya komunikasi sehingga tak lagi satu garis komando. Dunia usaha ini butuh dialog sehingga ada penyelesaian bersama berdasarkan keadaan yang dialami ASN (aparatur sipil negara) ataupun kami di dunia usaha,” ucapnya.
Sebelumnya, pertambangan dalam negeri menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung menahan mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin pada Rabu (9/8/2023). Penahanan itu diduga terkait dengan pengambilan kebijakan dalam kasus Blok Mandiodo di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang menyebabkan kerugian negara.