Sektor Jasa Keuangan Tetap Resilien di Tengah Guncangan Global
Otoritas Jasa Keuangan menilai sektor jasa keuangan di Tanah Air tetap stabil dan resilien dengan permodalan dan likuiditas yang memadai.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menilai sektor jasa keuangan di Tanah Air tetap stabil dan resilien kendati perekonomian global masih bergejolak. Stabilitas sektor jasa keuangan ditopang oleh permodalan dan likuiditas yang memadai.
”Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada 30 Agustus 2023 menilai stabilitas sektor jasa keuangan nasional terjaga dan resilien dengan indikator prudensial, seperti permodalan ataupun likuiditas yang memadai serta profil risiko yang terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian perekonomian,” ujar Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers secara daring, Selasa (5/9/2023).
Adapun ketidakpastian global yang dimaksud adalah masih tingginya inflasi AS sehingga meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan lebih ketat dalam kebijakan moneter dengan kecenderungan menaikkan suku bunga. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi Eropa pada kuartal II-2023 turun menjadi 0,6 persen secara tahunan. Pelemahan ekonomi juga melanda China.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menuturkan, sektor perbankan tanah air tetap stabil di tengah volatilitas pasar keuangan serta perekonomian Eropa dan China yang cenderung melemah. Hal itu ditunjukkan dengan fungsi intermediasi yang terjaga dan permodalan yang kuat.
Hingga Juli 2023, penyaluran kredit tumbuh sebesar 8,54 persen secara tahunan menjadi Rp 6.686 triliun. Sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) per Juli 2023 menjadi 6,62 persen secara tahunan menjadi Rp 8.064 triliun.
“OJK mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas. Likuiditas industri perbankan pada Juli 2023 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuiditas yang terjaga,” tuturnya.
Selain tercermin dari sektor perbankan, resiliensi sektor jasa keuangan juga tampak melalui perkembangan pasar modal. Hingga 31 Agustus 2023, pasar saham tercatat menguat ke level 6.953,26 poin dari periode Juli 2023 sebesar 6.931,36 poin.
Terkait KTT ASEAN, seharusnya, kita bisa bersinergi lebih lanjut untuk mengurangi ancaman risiko global terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan. Hal itu bisa berupa perjanjian kerja sama, baik dari sisi perdaganagan, perubahan iklim, digitalisasi maupun berbagai kerja sama lainnya yang dapat meningkatkan resiliensi.
Selama periode 2023 berjalan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat sebesar 1,5 persen dengan asing (non-resident) membukukan net sell sebesar Rp 1,18 triliun.
Terpisah, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky berpendapat, secara umum, kinerja sektor jasa keuangan yang ditunjukkan dengan indikator likuiditas dan permodalan memang masih terbilang cukup baik. Hanya saja, yang saat ini menjadi isu bukanlah sektor jasa keuangan, melainkan sektor ril terkait dengan perdagangan.
“Pelemahan pertumbuhan ekonomi China berdampak terhadap volume perdagangan Indonesia. Sebagaimana diketahui, China merupakan mitra perdagangan utama ekspor dan impor Indonesia,” katanya.
Pelemahan pertumbuhan ekonomi China tersebut dapat dilihat dari sejumlah indikator seperti inflasi yang masuk ke zona deflasi dan kinerja eksternal yang terkontraksi. Selain itu, tekanan pada sektor properti di China kembali meningkat seiring munculnya permasalahan pada beberapa pengembang properti besar.
Momentum KTT ASEAN
Selain menjadi tuan rumah dalam hajatan besar Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-43, Indonesia juga menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan. Sebagai gambaran, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II-2023 tercatat sebesar 5,17 persen secara tahunan atau lebih tinggi dibanding Filipina sebesar 4,3 persen, Vietnam sebesar 4,14 persen, serta Malaysia sebesar 2,9 persen, bahkan Singapura hanya sebesar 0,5 persen.
“Terkait KTT ASEAN, seharusnya, kita bisa bersinergi lebih lanjut untuk mengurangi ancaman risiko global terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan. Hal itu bisa berupa perjanjian kerja sama, baik dari sisi perdagangan, perubahan iklim, digitalisasi maupun berbagai kerja sama lainnya yang dapat meningkatkan resiliensi,” lanjut Riefky.
Mahendra menambahkan, dalam forum pasar modal atau ASEAN Capital Market Forum (ACMF), terdapat sejumlah inisiatif, antara lain peluncuran International Financial Accounting Standard (IFRS) dan menyiapkan Transisiton Finance Project yang menekankan prinsip kredibilitas, transparansi, serta transisi yang inklusif. Selain itu, ACMF juga sepakat memperkuat jaringan melalui pertukaran informasi dan pengalaman.
Lebih lanjut, Indonesia turut berperan aktif dalam proses revisi ASEAN Taxonomy Board versi II yang memasukkan aspek sosial dan pembangunan ekonomi yang sama pentingnya dengan pilar lingkungan hidup. Dengan demikian, ketiga pilar utama ini dinilai penting untuk dicapai secara berimbang dalam pembangunan berkelanjutan.
“Tema ASEAN Matters Epicentrum of Growth jelas menunjukkan betapa pentingnya kawasan Asia Tenggara sebagai pusat kekuatan perekonomian dan pertumbuhan global. Dalam konferensi bisnis selama dua hari kemarin, semua yang hadir sepakat bahwa saat ini dan beberapa tahun ke depan, kawasan ASEAN akan menjadi satu-satunya yang dapat mempertahankan pertumbuhannya di tengah perekonomian global yang melemah dan volatile. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa Indonesia merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi tersebut,” lanjut Mahendra.