Penempatan Pekerja Migran Terlatih Perlu Ditingkatkan
Pemerintah perlu mendorong agar semakin banyak pekerja migran Indonesia mengisi sektor formal dan terampil. Selain meningkatkan citra positif negara, jumlah remitansi yang akan diterima juga jauh lebih besar.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pascapencabutan moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Timur Tengah, mekanisme pekerja yang akan ditempatkan ke kawasan itu perlu didorong untuk bidang-bidang yang membutuhkan keterampilan. Oleh karena itu, keberadaan balai latihan kerja menjadi krusial.
”Pembukaan moratorium jangan sampai dipahami sebagai ruang untuk mengirim pekerja migran Indonesia sektor domestik menjadi bebas. Sebaliknya, pekerja migran harus dilatih dulu (untuk memiliki keterampilan khusus). Berapa jumlah pekerja yang akan dikirim memperhatikan kapasitas balai ataupun lembaga latihan kerja,” ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Ayub Basamalah, Minggu (3/8/2023), di Jakarta.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Menurutnya, pembukaan kembali penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke negara kawasan Timur Tengah akan sepenuhnya mengikuti mekanisme dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sesuai UU No 18/2017, penempatan pekerja migran Indonesia harus mengikuti ketentuan, antara lain negara tujuan penempatan harus mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing; memiliki perjanjian tertulis dengan Indonesia; dan memiliki sistem jaminan sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing. Selain itu, pemerintah negara tujuan penempatan juga harus sepakat membuat sistem yang terintegrasi dengan Pemerintah Indonesia.
Menurut Ayub, karena kunci penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Timur Tengah pascapencabutan moratorium adalah balai latihan kerja (BLK), pemerintah perlu juga memantau kualitas BLK yang ada. Apjati juga meminta perusahaan penempatan yang tergabung sebagai anggota untuk mengutamakan pekerja terlatih dan jika perlu mereka bisa berinvestasi berupa pendirian BLK tersendiri.
”Kami menilai, pencabutan Kepmenaker No 260/2015 mengharuskan penempatan pekerja migran Indonesia harus kredibel. Kredibel dari sisi mutu pekerja, kredibel dari sisi pengawasan, dan kredibel dari sisi perusahaan penempatan. Kami rasa pemerintah juga harus tegas terhadap perusahaan penempatan yang pernah terlibat penempatan nonprosedural,” kata Ayub.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia Bobi Anwar Ma’arif, saat dihubungi terpisah, mempunyai pandangan senanda. Setelah Kepmenaker No 260/2015 dicabut, pemerintah perlu segera memperbaiki tata kelola penempatan pekerja migran. Tata kelola yang dia maksud adalah restrukturisasi BLK milik pemerintah yang mengakomodasi pelatihan calon pekerja migran Indonesia.
Bentuk perbaikan tata kelola lainnya adalah mempermudah sertifikasi pelatihan kerja bagi calon pekerja migran Indonesia, lalu memperkuat layanan terpadu satu atap di daerah-daerah melalui payung hukum peraturan kepala daerah. Terakhir, publikasi platform SIAP Kerja secara besar-besaran supaya informasi lowongan kerja ke luar negeri tidak dikuasai oleh para calo ataupun mafia tindak pidana perdagangan orang.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani menambahkan, pembenahan tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik penting untuk melibatkan pemerintah daerah mulai dari tingkat desa. Sebab, calo atau sponsor biasanya menawarkan perekrutan sampai ke desa-desa dan banyak informasi penempatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta berpendapat, pencabutan Kepmenaker No 260/2015 dikhawatirkan berorientasi ekonomi alias menambah remitansi dari para pekerja migran Indonesia. Sebab, remitansi dari pekerja di Timur Tengah relatif besar. Akan tetapi, kasus pelanggaran hak kerja layak di kawasan itu juga besar.
”Di tengah kebutuhan untuk meningkatan pendapatan negara yang cukup besar, saya kira wajar jika pemerintah mencoba membuka kembali keran pendapatan dari remitansi pekerja migran Indonesia. Namun, tentunya pemerintah harus benar-benar dapat menjamin catatan-catatan buruk di masa lampau tidak akan terulang kembali,” ucapnya.
Agus juga berpendapat, seiring waktu berjalan, pemerintah perlu mendorong supaya semakin banyak pekerja migran Indonesia mengisi sektor formal dan terampil. Selain meningkatkan citra positif negara, jumlah remitansi yang akan diterima jauh lebih besar.
”Pemerintah tidak boleh hanya mencari jalan mudahnya saja, yaitu dengan mengirimkan para pekerja migran Indonesia tidak terdidik untuk mengisi sektor-sektor informal,” kata Agus.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pada Januari-Juli 2023 terdapat 161.249 penempatan pekerja migran Indonesia. Jumlah ini terdiri dari sektor formal sebanyak 90.625 penempatan dan sektor informal 70.624 penempatan. Dari seluruh penempatan tersebut, di kawasan Asia dan Afrika sebanyak 150.790 penempatan, lalu Eropa dan Timur Tengah 9.491 penempatan, serta Amerika dan Pasifik 968 penempatan.